Selamat dari Keburukan dan Kerugian

Selamat dari Keburukan dan Kerugian

Selamat dari Keburukan dan Kerugian ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafidzahumullahu Ta’ala.

Lihat sebelumnya: Ayat Tentang Sabar Diatas Gangguan Dalam Jalan Ilmu, Amal dan Dakwah

Kajian Tentang Selamat dari Keburukan dan Kerugian

Menit ke-3:14 Bismillahirrahmanirrahim.. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Para pemirsa dan pendengar Radio Rodja yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada pertemuan yang lalu kita setelah membahas tentang tafsir Surat Al-Ashr, dan kita juga sudah membahas tentang ayat pertama surat Al-Ashr dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum bersumpah.

Lihat di sini: Ayat Tentang Sabar Diatas Gangguan Dalam Jalan Ilmu, Amal dan Dakwah

Kemudian lanjutan dari ayat ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Sesungguhnya semua manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.” (QS. Al-Ashr[103]: 2-3)

Dan bahwasanya tidak akan selamat dari kalangan manusia kecuali yang mempunyai sifat yang empat ini. Dan barangsiapa yang tidak melaksanakan dan tidak memiliki empat sifat ini maka dia akan merugi.

Oleh karena itu pengarang kitab ini Rahimahullah, menyebutkan bahwasannya hal ini wajib untuk dipelajari oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu ilmu, amal, dakwah dan sabar.

1. Orang-orang yang beriman

Yang pertama dari sifat-sifat ini disebutkan dalam surat Al-Ashr, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا

“Orang-orang yang beriman,” yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mana iman kepada Allah ini merupakan pokok dari pokok-pokok keimanan dan pondasi dari pondasi-pondasi agama. Mereka beriman kepada Allah dan semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk diimani. Mereka beriman dengan iman yang kuat dan tidak ada keraguan sedikitpun pada keimanan tersebut.

Dan keimanan tidak disebut dengan iman kecuali apabila keimanan itu tidak bercampur dengan keraguan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا…

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada RasulNya kemudian mereka tidak ragu...” (QS. Al-Hujurat[49]: 15)

Yaitu mereka yakin dan tidak ragu sedikitpun. Jadi makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الَّذِينَ آمَنُوا (orang-orang yang beriman), yaitu orang-orang yang mempunyai keimanan yang kuat, keyakinan yang mantap yang tidak ada keraguan sedikit pun. Mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk diimani.

Dan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup tiga perkara. Yaitu:

  1. Beriman kepada keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyahNya,
  2. Beriman kepada keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam asma’ wa shifatNya,
  3. Beriman terhadap keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam uluhiyahNya.

Dan agama Islam disebut dengan agama tauhid karena dibangun di atas keimanan dan keimanan terhadap keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyahNya, dalam nama-nama dan sifat-sifatNya dan juga keimanan terhadap uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu penetapan dan keyakinan dari seorang hamba bahwasanya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan, hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberi rezeki, yang mengatur alam ini, tidak ada sekutu bagiNya dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia, tidak ada yang sama dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan juga bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berhak disembah, tidak ada yang berhak disembah selain Dia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ…

Mereka tidak diperintahkan kecuali agar mereka beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Bayyinah[98]: 5)

Juga kita diperintahkan untuk beriman terhadap semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dari pokok-pokok keimanan yang terkumpul dalam hadits Jibril ktika Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang iman, maka beliau berkata:

أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ

“Beritahukan kepadaku tentang iman.”

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-RasulNya, kepada hari kiamat dan beriman terhadap takdir yang baik dan takdir yang buruk.” (HR. Muslim)

Menit ke-12:01 Para pendengar dan pemirsa Rodja yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau ketika menyebutkan perkara-perkara keimanan dan menyebutkan bahwasanya hal-hal yang wajib kita imani adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, kepada Rasul, yaumul akhir, dan beriman kepada takdir yang baik dan buruk, ini adalah pokok-pokok kaimanan yang barangsiapa tidak beriman dengan pokok-pokok keimanan ini atau ragu kepada pokok-pokok ini atau sebagiannya, maka berarti dia telah merugi dan pasti dia merugi meskipun dia melakukan amalan-amalan shalih yang sangat banyak, walaupun dia melakukan banyak ketaatan, maka ketaatan-ketaatan tersebut tidak akan memberikan manfaat kepadanya sedikitpun apabila dia tidak beriman terhadap apa-apa Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada hambaNya.

Karena ini merupakan asas dan pondasi keselamatan dari kerugian. Dan apabila pondasi itu rusak, maka akan rusaklah bangunannya. Dan apabila pondasi itu dibatalkan, maka batal pula apa yang dibangun diatasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٥﴾

Dan barangsiapa yang kufur terhadap keimanan, maka amal-amalnya telah batal dan di akhirat nanti dia termasuk orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah[5]: 5)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّـهِ وَبِرَسُولِهِ…

Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterima sedekah-sedekah mereka kecuali disebabkan karena mereka kafir terhadap Allah dan terhadap RasulNya.” (QS. At-Taubah[9]: 54)

Maka kekufuran adalah sebab kerugian di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu yang pertama dan yang paling utama yang harus diperhatikan oleh seorang muslim dan pintu utama menuju keselamatan adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman terhadap semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan.

Dan juga di sini kita juga mengambil faedah yang besar dalam bab keselamatan dari kerugian, yaitu kita memperhatikan masalah tauhid, masalah keimanan, kita berusaha mempelajari masalah ini dan memahaminya dengan baik. Karena masalah iman dan masalah tauhid adalah fiqhul akbar, yang pertama kali masuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuknya, maka Allah akan pahamkan ia terhadap agamanya.” (HR. Muslim)

Maka fiqih yang terbesar dan yang paling penting adalah masalah tauhid, masalah iman, dan iman terhadap semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk kita imani. Maka seorang muslim harus memperhatikan masalah ini.

Dan sesungguhnya perlu diketahui bahwasanya kebutuhan seseorang terhadap iman kepada Allah dan beriman kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk beriman untuk diimani adalah lebih besar dari kebutuhannya terhadap makanannya, lebih besar kebutuhannya daripada minumnya, bahkan lebih besar dari kebutuhannya terhadap udara. Karena apabila makanan, minuman dan udara terputus, maka yang akan mati hanyalah badan. Adapun jika iman yang terputus dari hati manusia, maka hatinya akan mati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ…

Apakah yang dahulu mati kemudian Kami hidupkan?” (QS. Al-An’am[6]: 122)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّـهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ…

Wahai orang-orang yang beriman, jawablah seruan Allah dan seruan RasulNya terhadap apa yang Dia serukan untuk kalian pada hal yang membuat kalian hidup.” (QS. Al-Anfal[8]: 24)

Keimanan Anda adalah kehidupan Anda yang sebenarnya. Oleh karena itu manusia tanpa keimanan, maka kehidupan yang seperti kehidupan binatang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang orang-orang kafir dengan FirmanNya:

…إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ…

Mereka tidak lain kecuali seperti binatang ternak.” (QS. Al-Furqan[25]: 44)

Maka apabila seorang manusia tidak memiliki keimanan, kehidupannya seperti binatang ternak yang hanya hidup untuk makan, minum dan menghirup udara.

Maka kaum muslimin dan muslimat yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, kebutuhan manusia terhadap keimanan adalah kebutuhan yang sangat besar. Dan kebutuhan seorang hamba untuk menambah keimanan dan memperhatikan masalah ini adalah sesuatu yang sangat penting dan lebih penting dari segala kebutuhan dia. Karena kebutuhan terhadap keimanan adalah kebutuhan yang paling besar dan ini adalah asas dan pondasi yang dibangun diatasnya keselamatan. Dan tidak mungkin seorang selamat dari kerugian dan tidak mungkin terealisasi suatu keberuntungan di dunia dan di akhirat kecuali dengan keimanan ini.

Menit ke-18:56 Para pendengar yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا

Kecuali orang-orang yang beriman.”

Di sini ada peringatan terhadap pentingnya ilmu. Dan ini adalah masalah pertama yang disebutkan oleh pengarang kitab ini. Hal ini disebabkan karena kita mengetahui bahwasanya seseorang tidak mungkin dapat beriman dan tidak mungkin seorang dapat beramal dengan benar kecuali dengan ilmu.

Maka ilmu yang bermanfaat adalah pintu yang darinya seorang manusia masuk kepada keimanan yang benar, kepada amal yang lurus dan dengan itu seorang mengetahui bagaimana bisa mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah:

اقْرَأْ…

Bacalah!” (QS. Al-Alaq[96]: 1)

Perintah pertama yang turun kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah perintah untuk membaca. Maka wahyu dan keimanan serta ilmu dan agama tidak mungkin diketahui kecuali dengan ilmu.

Maka wajib bagi seorang untuk belajar agar dia bisa beriman, agar bisa dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia bisa beramal dan melakukan ketaatan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan yang dia mencari ilmu pada jalan tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)

Menit ke-21:54 Para pendengar yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, surga tidak akan didapatkan kecuali dengan iman dan amal  shalih. Iman dan amal shalih tidak akan dapat diketahui kecuali dengan seorang belajar. Belajar mempelajari ilmu yang bermanfaat. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap hari setelah shalat subuh beliau senantiasa membaca doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

“Ya Allah, aku mohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, amalan yang diterima dan rezeki yang baik.” (HR. Ibnu Majah)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai doanya dengan meminta ilmu yang bermanfaat. Karena tanpa ilmu yang bermanfaat seorang tidak mungkin mampu membedakan antara amalan yang shalih dengan amalan yang tidak shalih, tidak mampu membedakan antara rezeki yang baik dan rezeki yang buruk, juga tanpa ilmu seorang tidak mampu membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, aqidah yang benar dan aidah yang salah. Dengan ilmu seseorang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Ilmu adalah cahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا…

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari perintah Kami. Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab, apa itu iman, akan tetapi Kami jadikan ia sebagai cahaya yang Kami beri petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami.” (QS. Asy-Syura[42]: 52)

Ilmu adalah cahaya untuk pemiliknya dan kebodohan adalah kegelapan. Maka dalam ayat ini ada dalil pentingnya seorang menuntut ilmu. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا

Kecuali orang-orang yang beriman.”

Tidak ada jalan untuk mengetahui keimanan dan tidak ada jalan untuk mengetahui hakikat agama, syariat-syariat Islam, kecuali dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

2. Orang yang beramal shalih

Menit ke-26:14 Para pendengar yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ…

Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”

Beramal shalih ini adalah perkara yang kedua. Dan yang dimaksud dengan amal shalih yaitu ibadah-ibadah yang mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amal shalih adalah apa yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang Allah perintahkan hamba-hambaNya. Oleh karena itu perlu kita ketahui bahwasanya tidak ada amal shalih yang mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali amal yang disyariatkan oleh Allah dan RasulNya.

Maka barangsiapa yang mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan satu amalan yang menurut dia baik akan tetapi tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka amal tersebut tidak akan diterima dan tidak akan dianggap sebagai amalan shalih yang mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena amalan shalih (amal yang benar) adalah yang disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun selain yang tertera di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dibuat-buat oleh manusia, maka tidak termasuk amal shalih, bahkan termasuk dosa. Yang mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyebutkan bahwasanya:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yaitu amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun dia beribadah siang dan malam dengan amalan tersebut, amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia akan termasuk orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا ﴿١٠٣﴾

Katakanlah: ‘Maukah aku beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang merugi amalannya?’

Yaitu mereka yang beramal akan tetapi mereka merugi.

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا ﴿١٠٤﴾

Yaitu orang-orang yang menyangka bahwasanya perbuatan mereka adalah baik, padahal perbuatan mereka adalah perbuatan yang buruk yang mereka senantiasa beramal dan melakukan pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi amalan tersebut ditolak dan dia termasuk orang-orang yang merugi karena amalan tersebut tidak memenuhi syarat diterimanya amalan.” (QS. Al-Kahfi[18]: 104)

Dan perlu kita ketahui bahwasanya amalan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Dan tidak akan dianggap amalan tersebut sebagai amalan yang shalih kecuali dengan dua syarat ini; syarat yang pertama yaitu ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang kedua adalah mengikuti contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Menit ke-30:20 Pemirsa dan pendengar Radio Rodja yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan doa:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu dan beribadah dengan baik kepadaMu.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Ibadah tidak akan diterima kecuali apabila ibadah itu baik. Dan baiknya suatu ibadah hanya akan tercapai apabila dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu Fudhail bin Iyadh Rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلً

Untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk[67]: 2)

Beliu mengatakan:

أخلصه وأصوبه

“Yang paling ikhlas dan yang paling benar.”

Ditanyakan kepada Fudhail bin Iyadh:

يا أبا علي ما أخلصه وأصوبه؟

“Wahai Abu ‘Ali, amalan apakah yang paling ikhlas dan yang paling benar?”

Beliau mengatakan:

أن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم تقبل

“Sesungguhnya satu amalan apabila dikerjakan dengan ikhlas akan tetapi benar, tidak sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka tidak akan diterima.”

وإذا صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، حتى يكون خالصاً صواباً؛ والخالص أن يكون لله، والصواب أن يكون على السنة

“Dan apabila amalan tersebut benar, sesuai dengan sunnah, akan tetapi tidak ikhlas, juga tidak akan diterima sampai amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Dan yang ikhlas artinya ditujukan hnay kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ibadah yang benar yaitu apabila sesuai dengan sunnah.”

Menit ke-33:36 Para pendengar yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini adalah perkara kedua yang menyebabkan seseorang dapat selamat dari keburukan dan dari kerugian, yaitu amal shalih. Seorang manusia mengerjakan amalan-amalan shalih yang mendekatkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ikhlas dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia tidak menyembah kecuali kepada Allah dan tidak beribadah kecuali dengan apa yang disyariatkan yang telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan amalan-amalan shalih ada yang diwajibkan dan ada yang disunnahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits Qudsi berkata:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ…

“Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu lebih Aku cintai daripada dia mengerjakan apa-apa yang Aku perintahkan. Dan senantiasa hambaKu mendekat kepadaKu dengan amalan-amalan yang sunnah sampai Aku mencintainya. Dan apabila Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia melihat dengannya, Aku akan menjadi tangannya yang ia memukul dengannya dan kakinya yang dia melangkah dengannya. Dan apabila dia meminta kepadaKu, maka sungguh Aku akan memberikan. Dan apabila dia berlindung kepadaku sungguh Aku akan memberinya perlindungan.” (HR. Bukhari)

Yakni yang dimaksud di sini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meluruskannya dan memberinya taufik dalam pendengarannya, penglihatannya, tangannya, langkahnya, maka semua perkara-perkara yang dia lakukan dan semua amalan-amalan yang dia lakukan akan sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufik dan kelurusan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menit ke-37:17 Para pendengar yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita lihat dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan antara amal dengan iman. Padahal amal merupakan bagian dari iman. Ini menunjukkan pentingnya amalan. Karena kadang-kadang sesuatu disandarkan dan digandengkan dengan sesuatu yang lain padahal dia bagian dari sesuatu tersebut karena besarnya perhatian terhadap hal ini. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ…

Jagalah shalat-shalat kalian dan shalat pertengahan (yaitu shalat ashar).” (QS. Al-Baqarah[2]: 238)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلَّـهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ …

Barangsiapa yang memusuhi Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-RasulNya dan Malaikat Jibril…” (QS. Al-Baqarah[2]: 98)

Padahal Jibril adalah salah satu dari malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi penyandaran seperti ini menunjukkan pentingnya hal tersebut. Dan kita dapati faedah dari ayat ini pentingnya suatu amalan dan besarnya kedudukan amalan dalam agama kita. Dan kita ketahui bahwasanya amalan adalah sebab seseorang selamat dan melalaikan amalan adalah sebab kerugian. Dan orang yang melalaikan amalan maka dia pasti akan merugi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ…

Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih…

Maka di sini ada perhatian khusus terhadap masalah amalan. Maka wajib bagi kita untuk memperhatikan masalah ini dan senantiasa menjaga amalan-amalan shalih dan terus-menerus melakukannya.

Kemudian perkara yang berikutnya adalah tentang:

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ

Saling berwasiat dalam kebenaran.”

Dan perkara yang keempat yaitu:

وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Saling berwasiat dalam kesabaran.”

Ini akan kita akan kita lanjutkan pada pertemuan yang berikutnya.

Lihat pertemuan 6# Berwasiat diatas Kebenaran dan Kesabaran

Kita cukupkan pertemuan kita sampai disini. Kita berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa menambahkan taufikNya kepada kita dan menambahkan ilmuNya kepada kita. Dan kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa membimbing kita menuju kebaikan. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Menerima doa.

Selanjutnya: Berwasiat diatas Kebenaran dan Kesabaran

Baca dari awal yuk: Mukadimah Kajian Al-Ushul Ats-Tsalatsah

Mp3 Kajian Tentang Selamat dari Keburukan dan Kerugian

Sumber audio: Tafsir Surat Al-‘Ashr – Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah (Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq Al-Badr)

Mari turut menyebarkan catatan kajian “Selamat dari Keburukan dan Kerugian” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: