Transkrip Dauroh HSI Abdullah Roy Tentang Wasiat Perpisahan Rasulullah ﷺ

Transkrip Dauroh HSI Abdullah Roy Tentang Wasiat Perpisahan Rasulullah ﷺ

Ini adalah transkrip Dauroh HSI Abdullah Roy Tentang Wasiat Perpisahan Rasulullah ﷺ yang kami catat dari dauroh tematik HSI Abdullah Roy yang disampaikan langsung oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. Hafidzahullah.

Mukaddimah Daurah Wasiat Perpisahan Rasulullah (Pertemuan 1 HSI Abdullah Roy)

Materi yang akan kita sampaikan adalah penjelasan dari sebuah hadits yang agung, diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan hadits ini disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah di dalam kitab beliau Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية), sebuah kitab yang masyhur dikarang oleh Al-Imam An-Nawawi, berisi tentang 42 hadits yang merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.

Disebutkan hadits ini pada hadits yang ke-28, dan ini menunjukkan tentang kedudukan hadits ini di mata para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah karena di dalamnya disebutkan tentang diantara pokok ajaran agama Islam. Dan senantiasa para ulama, mereka terus menggali dan mendalami hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang merupakan wahyu yang Allah turunkan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ﴿٤﴾

Dan tidaklah Muhammad berbicara dari hawa nafsunya, apa yang dia ucapkan adalah wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (QS. An-Najm[53]: 3-4)

Sehingga para ulama terus menggali apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengambil faidah, merenungi apa yang diucapkan oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan insyaAllah apa yang akan kita sampaikan ini adalah bagian dari usaha kita menyebarkan sunnah dan mengenalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umat.

Beliau mengatakan Rahimahullah:

الحَدِيْثُ الثَّامِنُ وَالعِشْرُوْنَ

“Hadits yang ke-28”

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Penjelasan hadits:

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ

“Dari Abu Najih (ini adalah kunyah) Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘Anhu.”

Beliau adalah seorang sahabat yang mulia, semoga Allah meridhai beliau. Beliau menceritakan:

وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan nasihat.”

Kemudian disifati nasihat yang disebutkan atau yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan dua sifat. Yang pertama:

وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ

“Nasihat tersebut menjadikan hati-hati kami bergetar (takut).”

وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ

“Dan menjadikan mata kami berlinang air mata.”

Makna موعظة (Mauidzah)

Yang dimaksud مَوْعِظًةً di dalam bahasa Arab adalah nasihat yang isinya:

  1. dorongan untuk melakukan sesuatu dinamakan dengan الترغيب (targhib). Disebutkan misalnya pahala yang besar, dinamakan dengan targhib. Atau,
  2. didalamnya ada الترهيب (tarhib) yaitu menakut-nakuti dari sesuatu. Disebutkan tentang ancaman di dunia atau ancaman di neraka.

Inilah yang dinamakan dengan mauidzah. Dan dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan mauidzah ini dilakukan secara jarang oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, beliau tidak melakukan mauidzah ini setiap hari. Mauidzah yang isinya adalah dorongan dan juga nasihat yang isinya adalah menakut-nakuti supaya takut dengan maksiat, takut dengan neraka dan seterusnya, ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan dalam hadits:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjarangkannya.”

Kenapa demikian? Karena yang namanya hati ini bisa bosan. Apabila setiap hari diberikan mauidzah, maka yang namanya hati bisa bosa. Sehingga hikmah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan nasihat ini kepada para sahabatnya secara jarang. Dan sebagian sahabat dahulu memberikan mauidzah sepekan sekali.

Disifati mauidzah yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di sini dengan dua sifat, yang pertama:

وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ

“Mauidzah tersebut menjadikan hati-hati kami menjadi takut.”

Berarti apa yang disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tadi adalah masuk ke dalam hati para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sehingga hati-hati mereka benar-benar terpengaruh dan menjadikan hati mereka takut kepada Allah, takut dengan adzabNya.

Sifat yang kedua:

وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ

“Nasihat tersebut menjadikan mata kami berlinang.”

Ini menunjukkan bahwasannya mauidzah yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tadi adalah nasihat yang dalam. Disebutkan dalam sebuah riwayat:

مَوْعِظَةً بَليغَةً

Nasihat yang sangat dalam dan penasihatnya menggunakan kata-kata yang fasih, kata-kata yang ringkas, kata-kata yang singkat tetapi mengena pada hati manusia. Oleh karena itu seseorang apabila ingin menasihati dengan makna yang tadi kita sebutkan, diutamakan dia memilih kata-kata yang bisa mengena dan bisa mempengaruhi orang yang mendengarnya. Sebagaimana ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan ini menunjukkan tentang bagaimana lembutnya hati para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sehingga mudah hati mereka bergetar ketika mendengarkan nasihat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mudah mata mereka menangis ketika mendengarkan nasihat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan Allah telah memuji di dalam Al-Qur’an orang-orang yang beriman dimana mereka apabila mendengar ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bergetar hati mereka. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّـهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ…

Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah maka takut hati mereka…

…وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا…

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ayat-ayat tersebut menambah keimanan di dalam hati mereka.” (QS. Al-Anfal[8]: 2)

Dan Allah juga menceritakan sebagian orang beriman yang lain yang apabila mereka mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada NabiNya, mereka menangis. Sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ…

Engkau melihat mata-mata mereka mengalir air mata. Yaitu apabila mereka mendengar apa yang Allah turunkan kepada RasulNya, maka engkau melihat bahwasanya mata mereka mengalir dengan air mata.” (QS. Al-Maidah[5]: 83)

Maka ini menunjukkan bagaimana para sahabat Radhiyallahu ‘Anhu memiliki hati yang lembut. Dan hati yang keras adalah orang yang susah mereka untuk menangis karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila seseorang melihat dia susah untuk menangis karena Allah, dan susah hatinya untuk bergetar ketika mendengar nasihat, maka hendaknya dia segera mengoreksi hatinya, memperbanyak istighfar dan hendaklah dia sadar bahwasanya ini semua tidak terjadi kecuali karena banyaknya dosa yang dia lakukan.

Seperti nasihat orang yang akan berpisah

Kemudian ketika mendengar nasihat ini, maka kami berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ

“Ya Rasulullah, sepertinya nasihat ini adalah adalah nasihat seorang yang ingin berpisah.”

Ketika mendengar nasihat ini dan di dalam nasihat tersebut beliau mengucapkan nasihat yang dalam, seakan-akan beliau sebentar lagi meninggalkan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga sebagian mereka mengatakan: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang akan berpisah.” Dan ini adalah perkiraan sahabat melihat dari kata-kata yang digunakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

فَأَوْصِنَا

“Maka berikanlah wasiat kepada kami.”

Yang dimaksud dengan wasiat adalah nasihat yang dikuatkan, bukan nasihat biasa. Kenapa mereka meminta wasiat? Karena mereka melihat kata-kata yang digunakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengira bahwasannya beliau sebentar lagi akan meninggalkan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan biasanya orang yang akan berpisah, maka dia akan berwasiat dengan wasiat-wasiat agung, karena dia tahu bahwasanya setelah ini dia tidak akan bisa memberikan nasihat, maka dia memilih tentunya wasiat-wasiat yang paling penting bagi orang-orang yang dia cintai yang sebentar lagi akan ditinggalkan.

Maka fikih para sahabat di sini mereka melihat dan mengira kata-kata tersebut adalah kata-kata orang yang mau berpisah, akhirnya mereka meminta wasiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Wasiat Untuk Bertakwa Kepada Allah (Pertemuan 2 HSI Abdullah Roy)

Kemudian akhirnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena diminta untuk memberikan wasiat, akhirnya beliau pun memberikan wasiat. Beliau mengatakan:

Bertakwa kepada Allah

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ

“Aku wasiatkan kalian dengan bertakwa kepada Allah.”

Ini adalah wasiat yang pertama yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat saat itu dan ini adalah wasiat untuk kita semuanya.

Wasiat yang paling agung, dan tidak ada wasiat yang lebih agung dari wasiat ini. Yaitu wasiat untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dia adalah adalah sebab kesuksesan kita di dunia dan di akhirat, sebab kita mendapatkan seluruh kebaikan di dunia dan juga di akhirat. Seluruh kebaikan di dunia adalah dengan sebab takwa. Dan seluruh kebaikan di akhirat adalah dengan sebab takwa. Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan wasiat ini menjadi wasiat yang pertama sebelum yang lain. Dan inilah wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk orang-orang yang terdahulu dan juga orang-orang yang akan dantang. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

…وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّـهَ…

Dan sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang ahlul kitab sebelum kalian dan juga kalian (kaum muslimin) supaya kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. An-Nisa[4]: 13)

Ini adalah wasiat Allah untuk orang-orang terdahulu dan juga yang akan datang. Oleh karena itu didahulukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum wasiat yang lain. Karena orang yang bertakwa dia akan mendapatkan kebaikan di dunia dan juga di akhirat.

Diberikan jalan keluar dalam setiap permasalahan

Diantara keutamaan bertakwa yaitu diberikan dia jalan keluar dalam setiap permasalahan. Allah mengatakan:

…وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan diberikan dia jalan keluar.” (QS. At-Talaq[65]: 2)

Permasalahan apa saja, sepelik apapun, kalau dia bertakwa kepada Allah, maka Allah akan berikan jalan keluar.

…وَاللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٨٩﴾

Allah maha mampu untuk melakukan segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran[3]: 189)

Barangsiapa yang ingin mendapatkan kemudahan di dalam setiap urusannya, urusan keluarganya, utusan kantornya, urusan masyarakatnya, maka hendaklah dia berpegangan dengan takwa kepada Allah.

Takwa sebab seseorang mendapatkan rezeki

Dan takwa adalah sebab seseorang mendapatkan rezeki dari arah yang tidak dia sangka. Sebagaimana firman Allah:

…وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ…

“…Dan Allah akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka…” (QS. At-Talaq[65]: 2)

Barangsiapa yang ingin diberkahi rezekinya, diberikan rezeki dari arah yang tidak dia sangka, maka hendaklah dia berpegang dengan ketakwaan. Dan menjanjikan bagi sebuah daerah atau negeri yang mereka bertakwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan berkah dari langit maupun dari bumi bagi negeri tersebut. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ…

Seandainya penduduk negeri, mereka bertakwa dan juga beriman, niscaya Kami akan bukakan bagi mereka berkah-berkah dari langit maupun dari bumi…” (QS. Al-A’raf[7]: 96)

Dan masih banyak disana keutamaan-keutamaan bertakwa.

Demikian pula keselamatan seseorang di akhirat, sebabnya adalah ketakwaan yang dia miliki di dunia. Mulai dari semenjak dia sakaratul maut, takwa ini berpengaruh, masuk ke dalam alam kubur, maka takwa ini juga memiliki peran, ketika dia dibangkitakan, ketika dia dikumpulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, ketika dihisab, ketika dihitung timbangannya, ketika dia melewati jembatan di atas Jahannam, maka semuanya akan kita lihat bahwasannya ketakwaan di sana sangat berpengaruh. Allah mengatakan:

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا ﴿٣١﴾

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa kesuksesan atau keberuntungan.” (QS. An-Naba'[78]: 31)

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ ﴿٤٥﴾

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, mereka di dalam surga-surga dan di dalam mata air-mata air.” (QS. Al-Hijr[15]: 45)

Menunjukkan bahwasanya yang akan masuk ke dalam surga adalah orang-orang yang bertakwa. Intinya, kebaikan di dunia dan akhirat didapatkan dengan takwa.

Apa yang dimaksud dengan takwa?

Para ulama telah memberikan definisi yang banyak tentang ketakwaan ini. Dan definisi takwa yang banyak dipuji oleh para ulama adalah ucapan طلق بن حبيب (Talq bin Habib) ketika beliau mengatakan bahwa takwa adalah:

أن تعمل بطاعة الله، على نور من الله، ترجو ثواب الله، وأن تترك معصية الله، على نور من الله ، تخافو عذاب الله

Engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah, menjalankan perintah, melakukan kewajiban, melakukan perkara yang mustahab di atas cahaya dari Allah (maksudnya adalah dengan dalil dari Al-Qur’an maupun dari hadits), engkau mengharap pahala dari Allah. Berarti menjalankan perintah berdasarkan dalil. Kalau tidak berdasarkan dalil, bukan takwa namanya. Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan meskipun menurut manusia baik, tetapi kalau tidak ada dalilnya, maka bukan termasuk takwa.

Engkau mengharap pahala dari Allah. Menjalankan perintah berdasarkan dalil dan niatnya dalam hati adalah menharapkan pahala. Kalau niatnya bukan mengharapkan pahala dari Allah, berarti bukan takwa. Seperti orang yang beramal shalih tapi niatnya ingin pujian dari manusia, ini bukan takwa.

Takwa yaitu menjalankan perintah berdasarkan dalil, kemudian dia mengharap pahala dari Allah, yaitu melakukannya dengan ikhlas.

Kemudian beliau mengatakan: “Dan engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan dalil.” Yaitu tidak boleh seseorang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Ketika dia meninggalkan kemaksiatan, maka juga harus berdasarkan dalil, yaitu mengetahui bahwasanya amalan ini diharamkan, maka dia tinggalkan, atau amalan ini dimakruhkan, maka dia tinggalkan karena itu makruh. Tidak boleh seseorang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Mengatakan ini haram padahal tidak ada dalil yang mengharamkan, maka ini bukan takwa namany. Takwa adalah meninggalkan kemaksiatan dengan dalil.

Kemudian yang ketiga, meninggalkan kemaksiatan tersebut karena takut dari adzab Allah, bukan karena malu kepada manusia atau supaya dikatakan sebagai orang shalih atau alim. Tapi karena dia tahu bahwasannya kalau akan ada adzab bagi orang yang melakukan kemaksiatan tadi sehingga dia meninggalkan. Ini baru dikatakan sebagai takwa, kalau tidak demikian maka tidak dikatakan sebagai takwa.

Ini menunjukkan bahwasannya orang yang ingin bertakwa maka dia harus belajar. Karena disebutkan tadi melaksanakan perintah berdasarkan dalil, meninggalkan larangan berdasarkan dalil. Berarti harus belajar. Tidak mungkin seseorang bisa mewujudkan takwa kepada Allah kecuali apabila dia belajar agama.

Ini wasiat yang pertama, yaitu wasiat bertakwa. Dan banyak di dalam Al-Qur’an Allah menyuruh orang-orang yang beriman untuk bertakwa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٠٢﴾

Dan Allah mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾ يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴿٧١﴾

Dan Allah juga menyuruh manusia secara umum untuk bertakwa kepada Allah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ…

Dan Allah juga mengatakan kepada NabiNya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّـهَ …

Wahai Nabi, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah…” (QS. Al-Ahzab[33]: 1)

Kenapa? Karena dibalik takwa ini ada kebaikan yang banyak di dunia maupun di akhirat.

Wasiat Untuk Mendengar dan Taat Kepada Penguasa  – (Pertemuan 3 HSI Abdullah Roy)

Wasiat yang kedua adalah:

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

Mendengar dan taat, maksudnya adalah kepada penguasa. Yaitu orang yang sudah Allah jadikan dia pemimpin kita, penguasa kita, pemerintah kita, maka kita diperintahkan untuk mendengar dan taat. Dan ini adalah wasiat dari Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari sekian banyak perintah, maka beliau menjadikan mendengar dan taat kepada penguasa ini sebagai wasiat setelah bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini menunjukkan keutamaan mendengar dan taat kepada pemerintah dan juga penguasaan dan juga pemimpin.

Ini adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah menyimpang di dalamnya sebagian aliran. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mendengar dan taat kepada penguasanya. Sebagaimana ini tercantum di dalam kitab-kitab aqidah. Apabila antum membaca kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dari zaman dahulu maupun sampai sekarang, maka mereka para ulama akan menyebutkan di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mendengar dan taat kepada penguasa yang sah.

Dalil untuk mendengar dan taat kepada penguasa

Dalil-dalilnya banyak. Diantara adalah hadits ini. Dan di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ…

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allah dan hendaklah kalian taat kepada Rasul. (Kemudian Allah mengatakan) dan ulil amri diantara kalian…

Para Salaf (sahabat) Radhiyallahu ‘Anhum, ketika mereka menafsirkan Ulil Amri, ada diantara mereka yang menafsirkan sebagai Al-Ulama, karena mereka memegang urusan agama kita. Dan ada diantara mereka yang menafsirkan Ulil Amri dengan Al-Umara karena mereka memegang urusan dunia kita. Dan pendapat yang kuat adalah yang menggabungkan diantara dua pendapat ini. Yaitu yang mengatakan Ulul Amri mencakup Umara dan juga Ulama. Dan inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Bahwasannya Ulul Amri di sini mencakup keduanya.

Ini menunjukkan bahwasanya kita sebagai seorang rakyat diperintahkan untuk mendengar. Yaitu mendengar apabila mereka berbicara. Dan kita diperintahkan untuk mentaati, yaitu apabila mereka mengeluarkan perintah atau peraturan. Maka ini adalah masalah yang besar dan kebaikan yang banyak apabila rakyat mau mendengar dan taat kepada penguasanya.

Tidak mungkin negara bisa teratur melaksanakan aktivitasnya dengan baik (baik pendidikan, ekonomi, bahkan termasuk agama) kecuali apabila rakyatnya mau mendengar dan taat kepada penguasanya. Apabila mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa, maka yang ada adalah keamanan yang stabil. Dan dari keamanan tersebut akan bergerak dan berjalan aktivitas yang lain. Pendidikan akan berjalan, ekonomi akan terus lanjut dan berkembang, manusia melakukan kegiatan dan aktivitasnya dengan aman.

Seandainya yang terjadi adalah sebaliknya, ada rakyat dan ada pemerintah tetapi rakyat tidak mau mendengar dan taat kepada penguasanya, maka mudzarat yang terjadi adalah besar. Tidak akan ada di sana kestabilan di dalam masalah keamanan, peperangan, saling mencurigai satu dengan yang lain, saling mendzalimi satu dengan yang lain, rakyat tidak mau diatur, akhirnya yang terjadi adalah pendidikan akan terhenti. Bagaimana seseorang akan tenang melakukan perjalanan ke sekolah apabila keadaan dalam keadaan kacau? Dan orang tua mana yang membiarkan anaknya sekolah sementara keadaan dalam keadaan tidak aman? Demikian pula para pedagang, para penjual, apabila keadaan kacau mereka tidak akan berani berjualan. Dan siapa yang akan membeli dan keluar dari rumahnya apabila keadaan sebuah daerah kacau balau. Dan seluruh aktivitas, bahkan termasuk urusan agama. Apabila sebuah daerah sudah tidak ada kerukunan antara rakyat dengan pemerintah, maka agama mereka juga terancam. Tidak bisa mereka melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah. Apabila sewaktu-waktu dia keluar dari rumahnya terancam. Dan tidak mungkin kita bisa berkumpul dengan tenang, menghadiri majelis ilmu, mencatat, mengambil faedah, konsentrasi didalam mendengarkan apabila di luar sana terjadi baku tembak. Seandainya di luar sana sedang terjadi kekacauan, maka di sini tidak bisa tenang di dalam menuntut ilmu.

Jadi pengaruhnya kepada dunia seseorang dan juga agamanya. Makanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan ini adalah wasiat beliau yang sangat beliau tekankan. Bahkan disebutkan oleh beliau setelah wasiat bertakwa.

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ

Hendaklah kalian mendengarkan dan juga taat kepada penguasa kalian. Kebaikannya untuk kalian sendiri.

Mendengar dan taat kepada pemerintah termasuk ketakwaan

Dan sebagian ulama mengatakan bahwa mendengarkan dan taat kepada pemerintah sebenarnya termasuk dari takwa. Karena takwa disebutkan menjalankan perintah dan jug amenjauhi larangan. Jadi ketika beliau mengatakan:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ

Masuk di dalamnya taat kepada penguasa. Kenapa beliau sendirikan? Diulang dan disendirikan dan mengatakan: “Dan mendengar dan taat kepada penguasa”. Ini menunjukkan tentang pentingnya perkara ini. Sehingga oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dinampakkan dan dijelaskan dan disendirikan padahal dia adalah masuk di dalam makna takwa.

Meskipun yang menjadi penguasa adalah budak

Kemudian beliau memperkuat lagi dengan mengatakan:

وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

“Meskipun yang menjadi penguasa/pemerintah kalian adalah seorang budak.”

Dan termasuk syarat menjadi seorang penguasa adalah merdeka, bukan termasuk seorang budak. Apabila engkau muslimin dalam keadaan biasa, dalam keadaan lapang, dalam keadaan aman, kemudian mereka mengangkat seorang penguasa, maka tidak boleh berasal dari budak, harus dari orang yang merde. Tapi seandainya itu terjadi, seorang budak yang tentunya statusnya lebih rendah dari orang yang merdeka, dia adalah bagian dari harta seseorang, bisa dijual, bisa dibeli, bisa dihadiahkan kepada orang lain, disuruh tanpa kita harus membayarnya, kedudukannya rendah dimata manusia. Tapi sandinya qaddarullah dia ternyata menjadi seorang pemerintah atau penguasa, apa kewajiban kita? Mendengar dan taat kepada penguasa tersebut. Kalau dia memang sudah menjadi pemerintah dan penguasa, maka kita harus mendengar dan taat kepada dirinya dan kita harus meminggirkan dan mengundurkan hawa nafsu kita atau gengsi kita. Jangan karena dia adalah seorang budak kemudian kita tidak mau mendengar dan taat kepada budak tersebut. Allah telah mentakdirkan dia menjadi penguasa. Maka kita mengikuti perintah Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ…

Dan mengikuti wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ

Kita dahulukan keridhaan Allah dari pada hawa nafsu kita, dari pada gengsi kita. Dan di sini ada maslahat yang besar bagi semuanya. Meskipun dia adalah seorang budak, tapi kalau rakyat memberontak, maka kejelekan yang banyak dan mafsadah yang besar. Oleh karena itu wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ini adalah ada yang mengatakan bahwa beliau ingin menekankan sekali tentang pentingnya mendengar dan taat kepada penguasa. Sehingga beliau mengatakan: “Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.”

Di dalam sebuah riwayat:

عَبْدٌ حَبَشِيٌّ

“Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah (Ethiopia).”

Jadi para budak, mereka bertingkat-tingkat kualitasnya. Dan yang paling rendah diantaranya adalah budak dari Ethiopian. Seandainya dia memang jadi penguasa bagi kalian, maka hendaklah kalian mendengar dan taat kepadanya.

Dan banyak di sana dalil yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa. Di antaranya adalah ayat tadi dan kemudian juga sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

على المرء المسلم السمع والطاعة في عسره ويسره

“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mendengar dan taat, yaitu kepada penguasa baik dalam keadaan mudah maupun dalam keadaan susah.”

ومنشطه ومكرهه

“Baik dalam keadaan dia semangat maupun dalam keadaan dia terpaksa.” Kalau ini adalah perintah dari penguasa dan pemerintah, maka hendaklah dia mendengar dan taat.

Tidak boleh taat pada perkara maksiat

Kemudian di dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ

“Kecuali apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat.”

فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh dia mendengar dan taat.” (HR. Muslim)

Ini keterangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasannya perintah mendengar dan taat kepada penguasa adalah perintah yang terikat, bukan ketaatan yang mutlak. Ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah dan juga RasulNya.

…يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ…

Ini adalah ketaatan yang mutlak. Kalau Allah sudah memerintah, maka harus kita taati. Kalau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah memerintah, maka harus kita taati. Tapi Ulul Amri, perintahnya tidak disamakan dengan perintah Allah dan juga RasulNya. Karena ketaatan kita kepada pemerintah adalah ketaatan yang terikat dengan syariat, terikat dengan dalil. Apabila tidak bertentangan dengan dalil, kita laksanakan perintahnya. Selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan juga hadits. Tapi kalau perintahnya -dan terkadang terjadi- bertentangan dengan syariat Allah ‘Azza wa Jalla, maka tidak boleh kita mentaati perintah tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecualikan.

إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ

“Kecuali apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat.” (HR. Muslim)

Maka apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh mentaatinya. Di dalam perkara yang lain yang tidak maksiat, maka maka wajib kita untuk mentaatinya. Dan menunjukkan -sekali lagi- ketaatan kita kepada penguasa kita dan pemerintah kita adalah ketaatan yang terikat, bukan ketaatan yang mutlak. Ini adalah wasiat yang kedua, yaitu mendengar dan taat kepada penguasa.

Wasiat Untuk Menghadapi Perpecahan – (Pertemuan 4 HSI Abdullah Roy)

Kemudian yang ketiga beliau mengatakan:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian (yaitu hidup sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan melihat umat Islam setelah itu), maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”

Dizaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang namanya umat Islam adalah umat yang satu, semuanya sama, dari segi aqidahnya, dari segi amaliyahnya, cara shalatnya, cara dzikirnya, semuanya sama, seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semuanya sama, dari timur sampai barat, dari utara sampai selatan, semuanya sepakat, tidak ada perpecahan di antara mereka, aqidahnya adalah aqidah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, cara shalatnya, cara berpuasanya, cara dzikirnya, semuanya sama dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ini dialami oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhu. Manhaj mereka satu, aqidah mereka satu, ibadah mereka caranya satu semuanya.

Maka Nabi mengabarkan bahwa orang yang hidup di antara kalian lebih panjang, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, baik di dalam masalah aqidah, mulai keluar orang-orang yang mengingkari takdir, sebelumnya semuanya beriman dengan takdir.

Ketika mulai masuk Islam orang-orang yang dahulunya dia di atas agama selain Islam kemudian masuk ke dalam agama Islam, ada keyakinan pemikiran dia yang masih tersisa di dalam hatinya sehingga ada di antara mereka kemudian terjatuh didalam bid’ah qodariyah yang mereka mengingkari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal ini terjadi di zaman sahabat, tepatnya di zaman Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma muncul sebuah firqah atau aliran yang mereka mengingkari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terjadi perpecahan. Mereka mulai menyimpang, mulai menjauh dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah mengatakan:

وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Tetapi mereka mengatakan tidak ada takdir.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ

“Segala sesuatu adalah dengan takdir.”

حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ

“Sampai lemahnya kecerdasan manusia adalah dengan takdir.” Mereka mengatakan tidak ada takdir. Berarti di sini mulai menyelisihi.

Orang Khawarij meyakini pelaku dosa besar keluar dari Islam

Muncul orang-orang Khawarij yang mereka mengatakan bahwasanya pelaku dosa besar keluar dari agama Islam. Padahal ini bukan keyakinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para juga sahabatnya. Keyakinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga para sahabatnya bahwasanya pelaku dosa besar seperti zina, riba, melakukan dosa besar yang mengurangi keimanannya tetapi tidak sampai mengeluarkan dia dari agama Islam.

Betul ini adalah dosa yang besar, mengurangi iman, membahayakan iman seseorang, tetapi tidak sampai mengeluarkan dia dari agama Islam. Dalilnya banyak dari Al-Qur’an maupun dari hadits. Diantaranya kelak di hari kiamat ada syafaat, untuk siapa? Diantaranya adalah untuk pelaku dosa besar yang masuk ke dalam neraka kemudian mereka keluar dengan sebab syafaatnya para Nabi atau malaikat atau orang yang shalih meskipun di dalam hatinya ada keimanan sekecil apapun.

Selama mereka tidak melakukan kesyirikan yang membatalkan keislaman mereka, maka ada kesempatan untuk masuk ke dalam surga dan keluar dari neraka. Ini keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, keyakinan para sahabat, keyakinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian mulai muncul sebuah firqah yang mereka mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar.

Kaum Khawarij memerangi penguasa yang dzalim

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga para sahabatnya meyakini keharusan untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Orang-orang Khawarij mengatakan bahwasanya kita harus memerangi penguasa yang dzalim. Kalau mereka mendhalimi rakyatnya, maka harus kita perangi, kalau mereka berbuat maksiat maka kita harus perangi.

Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

اسمَع وَأَطِع وَإِن ضَرَبَ ظَهرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ

“Dengarkanlah dan juga taatilah penguasa meskipun mereka mengambil hartamu, meskipun mereka memukul punggungmu.” Ini ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aqidah beliau. Tapi orang-orang Khawarij mulai menyimpang, mereka mengatakan: “Kalau mendzalimi kita, maka harus kita perangi.”

Kemudian muncul di sana Jahmiyah, Mu’tazilah dan juga aliran-aliran yang lain. Bahkan Khawarij berpecah satu dengan yang lain. Belum mengabarkan:

فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Dia akan melihat perselisihan yang banyak.”

Dan masing-masing aliran tersebut mengaku bahwasannya dirinya yang benar, masing-masing aliran tersebut mengajak dan menyeru kepada alirannya.

Sikap menghadapi perpecahan

Dalam keadaan demikian, bagaimana sikap kita? Dan ini adalah termasuk tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena setelah itu terjadi perselisihan yang banyak. Sebagaimana kenyataannya demikian, sebagaimana dikabarkan oleh Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga ini menunjukkan tentang kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terjadi sesuai dengan apa yang beliau kabarkan.

Ketika terjadi perselisihan yang banyak, beliau memberikan wasiat. Dan ini menunjukkan sayangnya beliau kepada umat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak membiarkan mereka dalam keadaan bingung, dalam keadaan resah, dalam keadaan tidak tahu kemana arah mereka. Beliau tahu dan mengabarkan bahwasannya akan terjadi perselisihan dan tahu bahwa disana akan ada orang yang bingung, kemana dia harus mengikuti.

Apakah kita putus asa?

Ada sebagian manusia ketika terjadi perselisihan yang banyak di antara umat Islam kemudian dia putus asa. Melihat banyaknya aliran, akhirnya dia justru menjauh dari agama. Mereka mengatakan: “Kalau orang-orang Islam saja mereka berpecah-belah, kenapa saya menjadi orang-orang yang taat?” Sehingga dia lebih memilih sibuk dengan dunianya, meninggalkan untuk memperhatikan agamanya. Sebagian orang demikian ketika melihat perpecahan justru dia menjauhi agama secara keseluruhan.

Apakah kita mengikuti satu aliran?

Ada di antara mereka ketika melihat perpecahan, ikut terhanyut dengan satu aliran. Ikut mengikuti aliran A, ikut mengikuti aliran B dan seterusnya.

Apakah semua aliran sama?

Atau yang ketiga, dia mengatakan: “Seluruh aliran itu baik. Kamu mau ikut aliran A, B, C, semuanya sama. Yang penting istiqamah di dalam aliran tersebut.”

Ini berbagai sikap manusia ketika menghadapi perpecahan yang ada.

Petunjuk Nabi menghadapi perpecahan

Bagaimana petunjuk Nabi? Apakah petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di suruh kita untuk menjauh dari agama? Tidak. Apakah disuruh kita untuk mengikuti suatu aliran tersebut? Tidak juga. Apakah beliau menyuruh kita mengatakan bahwa semua aliran itu sama? Tidak.

Berpegang teguh dengan sunnah Nabi

Beliau memberikan wasiat. Kalau sampai melihat perpecahan yang banyak:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku.”

Kembali kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan ikuti aliran-aliran tadi. Dan jangan mengatakan bahwa seluruh aliran itu sama. Tapi beliau mengatakan: “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku.”

Yang dimaksud dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah jalan hidup beliau. Dan jalan hidup beliau bisa berupa hadits-hadits yang berupa ucapan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ini jalan hidup beliau. Dan jalan hidup beliau terkadang bisa berupa perbuatan atau bisa berupa taqrir (persetujuan) beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ini bisa masuk di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Jadi kalau terjadi perselisihan, jalan keluarnya adalah dengan kembali kepada sunnah. Bukan mengikuti aliran dan mengikuti perpecahan tersebut. Dan tidak mungkin seseorang bisa kembali kepada sunnah kecuali apabila dia mengetahui sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berarti kembali kita harus belajar supaya kita tidak bingung menghadapi perpecahan.

Ketika kita melihat perselisihan, kita lihat mana yang sesuai dengan sunnah? Kalau sudah kita mengetahui sunnah tersebut, maka kita pegang erat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku.”

Berpegang teguh dengan sunnah Khulafaur Rasyidin

Kemudian beliau mengatakan:

وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ

“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahnya para Khulafa Ar-Rasyidin.”

Mereka adalah para Khulafa yang datang setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang menggantikan kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam membimbing umat dan memimpin umat. Jumlahnya ada 4:

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq
  • Umar bin Khattab
  • Utsman bin Affan
  • Ali bin Abi Thalib

Dalam sebuah hadits, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً

“Kekhilafahan Nubuwwah berlangsung selama 30 tahun.”

Dan kalau dihitung, kekhilafan Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai Ali bin Abi Thalib ini kurang lebih tiga puluh tahun sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka beliau menyuruh kita untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau ketika terjadi perselisihan yang banyak.  Kemudian wasiat beliau yang kedua adalah kita berpegang teguh dengan sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin.

Apakah sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin berbeda dengan sunnahnya Rasulullah? Jawabannya tidak. Karena sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin adalah supaya kita berpegang dengan sunnahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Para Khulafa Ar-Rasyidin adalah orang-orang yang sangat berpegang teguh dengan agama. Sehingga mereka disifati dengan Ar-Rasyidin.

Apa yang dimaksud dengan Ar-Rasyidin?

Ar Rusyd (الرشد) kelurusan. Ini apabila seseorang memiliki ilmu dan amal. Jika memiliki ilmu dan amal, maka disifati dengan Ar-Rasyid. Dan ini adalah yang dimiliki oleh para Khulafa Ar-Rasyidin dari Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Selain mereka adalah seorang Khalifah (pemimpin negara), ternyata mereka adalah orang yang sangat berilmu, ditambah lagi mereka sangat mengamalkan ilmunya. Dan ini jarang yang demikian. Jarang seorang pemimpin memiliki ilmu yang luar biasa dalam segi agama dan dia sangat mengamalkan ilmunya. Ternyata ini dimiliki oleh para Khulafaur Rasyidin.

Di sana banyak contoh bahwasanya mereka(Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) ilmu mereka adalah luar biasa dan amalan mereka terhadap agama adalah luar biasa. Sekali lagi, ini jarang dimiliki oleh pemimpin. Biasanya pemimpin dia tidak memiliki ilmu, dia sibuk dengan dunianya sehingga ilmunya kurang. Atau seandainya dia memiliki ilmu maka dia tidak mengamalkan. Tapi ternyata para Khulafaur Rasyidin disifati oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Ar-Rasyidin, karena mereka berilmu dan juga beramal.

Oleh karena itu para ulama ketika berbicara tentang apa yang dilakukan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu berupa adzan yang pertama ketika hari Jumat, maka para ulama tidak mengatakan ini adalah bid’ah. Kenapa? Karena ini masuk di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Berpegangan teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin.” Dan di antara sunnah Khulafaur Rasyidin yang dilakukan oleh Utsman bin Affan di zaman beliau adalah adanya adzan yang pertama ketika Jumat. Sehingga tidak dikatakan bahwasanya adzan yang pertama adalah bid’ah. Hal ini karena pernah disunahkan oleh Utsman bin Affan dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Berpegangan teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin.”

Gigitlah dengan gigi geraham kalian

Kemudian beliau mengatakan:

عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaklah kalian berpegang teguh atau menggigit sunnahku tersebut dengan gigi geraham kalian.”

Ini adalah ungkapan dari beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan apabila seseorang berpegangan teguh dengan sunnah, maka hendaklah dia sekuat-kuatnya memegang sunnah tersebut, bersabar. Karena orang yang memegang teguh sunnah, maka dia akan diuji. Diuji dari keluarganya, diuji dari tetangganya, diuji dari temannya, dari atasannya, dari bawahannya.

Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “hendalah kalian gigit sunnahku tersebut dengan gigi geraham kalian.” Bersabar dan tabah dalam menghadapi ujian sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dahulu beliau dan juga para sahabat tegar didalam memegang agama ini. Meskipun dicela, disiksa, mendapatkan ujian bahkan diusir dari daerahnya Mekah yang merupakan tempat kelahiran mereka dan di situ ada harta mereka dan keluarga mereka kemudian mereka diusir karena mereka berpegang teguh dengan agama ini.

Ini adalah keharusan kita untuk istiqamah dan sungguh-sungguh didalam memegang agama Allah.

Wasiat Untuk Berhati-Hati Terhadap Perkara Yang Diada-Adakan – (Pertemuan 5 HSI Abdullah Roy)

Kemudian beliau berwasiat dengan wasiat yang terakhir:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ

“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan.”

Kalimat وَإِيَّاكُم adalah sebuah kalimat dalam bahasa arab yang artinya adalah peringatan, “Waspadalah kalian”. Ini menunjukkan yang setelahnya adalah perkara yang jelek, yang merupakan dosa. Apa itu yang diperingatkan oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ

Kalimat مُحْدَثَات artinya adalah sesuatu yang diada-adakan. Kalimat الأُمُوْر adalah perkara. Yang dimaksud dengan perkara di sini adalah perkara agama. “Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diadakan dalam masalah agama.” Karena agama sudah lengkap, sudah sempurna. Sebelum meninggalnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, agama sudah disempurnakan oleh Allah. Jelas ayatnya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” (QS. Al-Maidah[5]: 3)

Pada hari ini (yaitu kurang lebih 1400 tahun yang lalu), agama ini sudah disempurnakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Berarti apa yang dilakukan setelah itu, perkara-perkara yang diadakan setelah itu, maka itu adalah bukan termasuk agama. Ini adalah:

مُحْدَثَاتِ الأُمُوْر

“Perkara-perkara yang diadakan didalam masalah agama”

Dan ini menunjukkan kalau perkara yang baru tetapi bukan termasuk di dalam agama, tetapi dia adalah perkara dunia, maka ini ada yang diperbolehkan dan ada yang ada yang tidak. Perkara yang baru di dalam masalah dunia, maka ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak. Ada perkara yang baru dibuat oleh manusia di dalam urusan dunia mereka dan baik untuk semuanya; listrik, adanya pengeras suara, adanya komputer, ini perkara-perkara yang baru yang bisa dimanfaatkan kebaikan oleh manusia, silakan dipakai, oleh perkara dunia.

Tapi di sana ada buatan manusia berkaitan dengan masalah dunia yang justru membawa mudzarat bagi manusia. Misalnya perkara yang baru berupa obat-obatan yang terlarang yang mungkin di zaman dahulu tidak ada dan sekarang dibuat oleh manusia. Ini adalah perkara yang baru dalam masalah dunia dan dia tidak diperbolehkan.

Dalam masalah dunia, maka di sana terbagi perkara ada yang hasanah dan ada yang sayyiah. Tapi dalam masalah agama Nabi mengatakan:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ

“Hati-hatilah kalian dari membuat perkara yang baru didalam masalah agama.”

Masalah dunia seperti yang tadi kita sebutkan. Kalau memaang baik, silahkan dipakai. Tapi kalau jelak maka jangan dipakai. Tapi dalam masalah agama, maka Nabii Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyamaratakan. Beliau mengatakan: “Hati-hatilah kalian didalam perkara yang baru di dalam agama.”

فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.”

Beliau mengatakan كُلَّ (seluruhnya). Artinya seluruh perkara yang baru di dalam masalah agama, bukan masalah dunia, itu semuanya adalah sesat, semuanya adalah sayyiah. Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengatakan ada di antara bid’ah yang hasanah, tapi beliau mengatakan “seluruh bid’ah”. Oleh karena itu tidak boleh kita sebagai seorang muslim mengatakan bahwasannya di sana ada bid’ah yang hasanah. Kalau nanti sudah mengatakan: كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, bagaimana kita rela dan ridha mengatakan bahwasannya di sana ada bid’ah yang hasanah?

Berkata Abdullah Ibnu Umar:

كلُ بدعةٍ ضلالةٍ، وإن رآها الناسُ حسنةً

“Seluruh bid’ah adalah sesat meskipun manusia memandang itu adalah hasanah.”

Meskipun itu adalah baik dipandangan manusia. Tapi dipandangan Allah maka itu adalah sesat, dipandangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu adalah sesat. Meskipun dipandangan manusia adalah hasanah.

Al-Imam Malik Rahimahullah (Guru Imam Syari’i) beliau mengatakan:

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدًا صلى الله عليه وآله وسلم خان الرسالة

“Barangsiapa yang membuat membuat bid’ah di dalam agama Islam kemudian memandang bid’ah tersebut adalah baik, maka sungguh dia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengkhianati risalah Allah.”

Barangsiapa yang membuat bid’ah di dalam agama kemudian mengatakan itu baik, berarti pada hakikatnya dia telah menuduh Nabi berkhianat. Berkhianat kepada siapa? Yaitu berkhianat kepada Allah. Seakan-akan dia (pelaku bid’ah) mengatakan: “Ini adalah ibadah yang belum disampaikan oleh Nabi, tidak disampaikan oleh Nabi kepada para sahabatnya, maka sekarang saya munculkan amalan ini kepada manusia.” Seakan-akan dia mengatakan: “Ini adalah amalan yang disembunyikan oleh Nabi dan tidak dikabarkan oleh para sahabat.”

Berarti hakikatnya menganggap Nabi berkhianat kepada Allah, ada sebagian yang tidak disampaikan kepada umat. Ini ucapan Imam Malik yang menunjukkan bahwasanya seluruh bid’ah adalah sesat, tidak ada di sana bid’ah yang hasanah di dalam agama Islam tentunya bid’ah dengan pengertian yang benar. Yaitu bid’ah di dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, seperti yang tadi kita sebutkan perinciannya; ada yang baik dan ada yang buruk.

Perkara baru sebab perpecahan umat

Baik, sebagian ulama mengatakan kenapa di sini beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita untuk melakukan bid’ah di dalam agama? Karena ini ada hubungannya dengan perpecahan dan perselisihan yang disebutkan dalam ucapan beliau sebelumnya. Beliau menyebutkan bahwa diantara sebab perselisihan dan perpecahan umat adalah bid’ah. Di antara sebab umat berpecah-belah, saling bercerai-berai di antara mereka adalah karena sebab bid’ah yang dilakukan.

Dan betul apa yang diucapkan, karena tidaklah terjadi perpecahan dikalangan umat kecuali karena sebab bid’ah. Mulai dari qadariyah, memisahkan diri dari jamaahnya kaum muslimin dengan sebab bid’ah di dalam masalah takdir. Orang-orang Khawarij memcahkan dari kaum muslimin dengan sebab keyakinan mereka bahwasannya pelaku dosa besar keluar dari agama Islam. Jahmiyah, Mu’tazilah dan seterusnya, mereka memecahkan diri dari jamaahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat dengan bid’ah mereka.

Seandainya masing-masing kita diberikan kebebasan untuk melakukan bid’ah, misalnya dikatakan: “Silahkan masing-masing membuat bid’ah didalam aqidah, tidak perlu berpegang dengan sunnah Nabi, silahkan masing-masing membuat cara didalam dzikir setelah shalat, silahkan masing-masing membuat cara di dalam shalat lima waktu, mau berapa rakaat terserah.” Apa yang terjadi? Perpecahan. Masing-masing menganggap dirinya yang paling baik. Bagusnya kalau setelah shalat membaca dzikir ini, daerah yang lain mengatakan: “Tidak, bagusnya setelah shalat adalah membaca ini.” Akhirnya dalam suatu negara bisa bermacam-macam cara dzikir setelah shalat. Ada yang dikeraskan, ada yang dilirihkan, ada yang membaca ini, ada yang membaca itu, perpecahan dikalangan umat.

Sunnah sebab persatuan

Seandainya masing-masing mau kembali kepada sunnah, meninggalkan pendapatnya, meninggalkan akalnya yang bertentangan dengan dalil, maka yang terjadi adalah persatuan. Umat Islam akan menjadi satu shaf, satu barisan, tidak terpecah-belah satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu Ahlus Sunnah, gelar mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah Ahlus Sunnah karena mereka berpegang teguh dengan sunnah dan mereka adalah Ahlul Jamaah karena mereka berjamaah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga para sahabat, tidak mau memecahkan diri dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Sehingga mereka dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena sunnah, kalau kita mau berpegang teguh dengan sunnah, maka diantaranya persatuan yang akan kita petik, kita akan kokoh didalam persatuan kita. Semuanya sama-sama bertekad menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Adapun bid’ah, maka ini bersambung dengan furqah (perpecahan). Sehingga kebalikan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

الْبِدْعَةِ وَالُفُرُقَةِ

(Ahlul bid’ah wal furqah)

“Ahli Bid’ah dan ahli perpecahan.” Ini karena mereka memisahkan diri atau memecahkan diri mereka dari jamaahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Sehingga di akhir hadits ini beliau mengingatkan tentang bahaya bid’ah ini, karena ini adalah diantara sebab perpecahan umat.

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud di dalam sunannya dan juga At-Tirmidzi di dalam sunannya. Berkata At-Tirmidzi:

حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

“Hadits ini adalah hadits yang hasan shahih.”

Dengan demikian kita sudah menyelesaikan penjelasan dari hadits yang mulia ini. Semoga apa yang sudah disampaikan bermanfaat dan bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Video Dauroh HSI Abdullah Roy Tentang Wasiat Perpisahan Rasulullah ﷺ

Sumber Video: Rodja TV – Wasiat Perpisahan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam l Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

Download versi mp3: www.ngaji.id/mp3wasiatperpisahan

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: