ADAB BERBEDA PENDAPAT

Tulisan tentang “ADAB BERBEDA PENDAPAT” ini adalah catatan yang kami tulis dari video kajian Islam yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.  ḥafizhåhullǻhu ta’ālā.

A. MUKADDIMAH KAJIAN ADAB BERBEDA PENDAPAT

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيمً لِشَعْنِيهِ

وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ،

Ikhwani fillāh wa akhwati fiddīn, aàzzaniyallǻhu wa iyyākum.

Alḥamdulillāh, puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, atas segala limpahan karunia nikmat īman, nikmat Islām, masih bisa sujud, masih bisa shålāt, alḥamdulillāh, ini nikmat yang luar biasa, Shålawat dan salam tercurahkan kepada nabi kita Muḥammad ﷺ, dan juga kepada keluarganya, serta seluruh sahabatnya tanpa terkecuali.

Pada kesempatan kali ini kita akan bahas topik yang sangat penting, tentang adabul khilaf. Tentang adab-adab yang hendaknya diperhatikan oleh seorang muslim, tatkala menghadapi permasalahan khilafiyah. Karena jika seseorang tidak memiliki adab dalam permasalahan khilafiyah maka yang akan timbul dalam dirinya adalah sikap arogan, sikap mudah menyalahkan, menyesatkan orang lain, padahal ternyata masalah yang dijadikan ḥujjah untuk menyesatkan orang lain tersebut masih di khilafkan oleh para ùlamā’. Dan ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan da’wah. Karena da’wah ingin orang-orang berda’wah dengan penuh kelembutan. Hukum asal dalam da’wah adalah dengan kelembutan. Ini hukum asal. Kita tidak berbuat tegas (kenceng) kecuali kalau ada kemaslahatan yang jelas. Namun asalnya seseorang berda’wah adalah dengan kelembutan. Oleh karenanya kalau kita lihat sikap para ulama, mereka dalam masalah fiqih, terutama khilafiyah mereka tidak terlalu kenceng. Mereka kenceng kalau sudah masalah àqidah.

Saya akan menukilkan syaikhul islām Ibnu Taimiyyah råḥimahullǻhu ta’ālā yang juga saya nukil  dalam risalah S2 saya tentang Jawabann Ibnu Taimiyyah Terhadap Syubḥat-Syubḥat Yang Dilontarkan Oleh Para Penolak Sifat”. Al Bazzār, yaitu murid Ibnu Taimiyyah pernah menukil dari syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah råḥimahullǻhu ta’ālā.

Kenapa Ibnu Taimiyyah banyak sekali menulis tentang masalah-masalah àqidah? Adapun masalah fiqih, beliau kurang (menulis). Kalau kita dapati buku-buku beliau, rata-rata tentang àqidah. Semuanya beliau bantah, beliau membantah orang-orang Syi’ah dalam kitabnya Minhajus Sunnah Nabawiyyah 9 jilid, khusus untuk membantah orang-orang Syi’ah.  Beliau membantah orang-orang filsafat dalam bukunya : Dar at-ta’ārudh al-àql wan Naql, 11 jilid kalau tidak salah.  Kemudian beliau juga membantah para penolak sifat dalam banyak kitab di antaranya : Bayan fi talbis al Jahmiyyah, sekarang dicetak 8 jilid. Kemudian buku-bukunya yang lainnya Bahkan beliau juga membantah orang-orang Nashǻrǻ, dalam kitabnya : al Jawābush Shåḥīḥ Li man Baddala Din al Māsīḥ (Jawaban yang benar  terhadap orang yang mengubah agama Nabi ‘Isā àlaihis-salām), itu dicetak 6 jilid. Rata-rata buku beliau tentang masalah àqidah, benar beliau Beliau menulis buku fiqih, namun tidak sebanyak buku-buku àqidah. Maka muridnya (al Bazzār) pernah bertanya : Wahai guru kami, kenapa Anda banyak menulis tentang masalah àqidah? Apa jawaban beliau (Ibnu Taimiyyah)? Kata beliau : Masalah furū’ (fiqih) itu perkaranya ringan, kalau ada seorang muslim bertaqlid kepada ùlama yang mu’tabar yang banyak ditaqlidi (para Imām Madz-hab), maka dia boleh berpendapat dengan pendapat ùlama’ yang ditaqlidi tersebut, selama dia tidak tahu dalilnya, selama tidak diyakini kesalaham Imām yang ditaqlidi tersebut. Adapun masala ushūl (masalah àqidah), maka saya lihat banyak ahlul bida’ (orang-orang sesat) pengikut hawa nafsu, seperti filsafat (ahlu kalam), al Bāthiniyyah, yang mengatakan syariàt ini ada 2 : zhåhir dan ada yang bathin. Seperti yang mengatakan : kalau  shålāt itu bukan gerakannya tapi yang penting eling (ingat), kalau puasa itu bukan puasa yang seperti itu (yang umum dilakukan muslim), misal artinya menahan rahasia misalnya, haji artinya ziaråh ke masyaiknya (guruya), bukan ziaråh ke ka’bah. Jadi ada tafsir-tafsir batin. Kemudian al Malaḥidah : orang-orang Islam (KTP-nya), tapi mengingkari adanya tuhan dengan cara-cara (syub-ḥat) yang mereka lontarkan. Kemudian orang-orang yang menyatakan adanya Wihdatul Wujūd, bersatunya Allǻh dengan makhluq. Kemudian Jahmiyyah, beliau sebutkan semua ahlu bid’ah dalam masalah àqidah. Beliau katakan, saya lihat mereka inginmenghancurkan Islam dan syariàt Muḥammad ﷺ yang murni. Inilah sebabnya kenapa syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah banyak menulis masalah àqidah. Kata beliau (Ibnu Taimiyyah), adapun masalah furū’, masalahnya ringan, tidak terlalu berat selama tidak menyelisihi ijmā’, selama tidak diyakini dengan pasti bahwasanya yang diikuti pendapat tersebut benar-benar salah, maka perkaranya ringan.

Para hadirin sekalian, syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah punya perkataan indah yang dia sebutkan di dalam bukunya Minhājus Sunnah an-Nabawiyyah, kata beliau : “ahlus sunnah wal-jamaàh adalah kelompok yang paling mengerti tentang kebenaran, dan yang paling saying (raḥmat) kepada manusia”. Itu ahlu sunnah wal jamaàh. Dan saya ingin kita yang mengaku ahlu sunnah wal jamaàh memiliki sifat ini, bahwa kita adalah orang yang paling mengerti tentang kebenaran namun kita yang paling rahmat kepada mereka. Kita lihat syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, kalau dia membantah, dia membantah dengan kata yang halus, dengan kata yang lembut, namun ilmiah. Kata beliau : kalau hanya caci maki, semua orang bisa, (ini kata beliau di dalam kitab Majmu’ Fatawa), tapi yang paling benar adalah bagaimana mengenal kebenaran, membantah dengan ilmiah.  Bukhǻriy

Dan ini masalah kita dapati sebagian Ikhwan yang baru ‘ngaji’, semangatnya luar biasa, bahkan lebih semangat daripada ustadznya, kencengnya luar biasa, bahkan lebih kenceng dari ustadznya. Ini kenyataan. Kenapa? Karena tidak (belum) mengerti kalau itu masalah khilafiyyah. Apalagi kalau mengajinya hanya kepada satu orang. Dan ustadz tersebut tidak pernah memberikan isyarat bahwasanya masalah tersebut ada khilaf, sehingga seakan-akan dia merasa kebenaran ‘satu’ dan kalau ada yang menyelisihinya berarti ‘sesat’, keluar dari kebenaran, terjerumus dalam bid’ah, dan yang lainnya.

Sampai ada beberapa temen yang cerita, tatkala ada seseorang sedang shålāt, jarinya (saat tasyahud) tidak digerak-gerakkan, yang menggerak-gerakkan ‘heran’ dan mengatakan “ kamu kok jarinya tidak digerak-gerakkan (Ketika tanyahud)?” Ini masalah khilafiyyah, kenapa harus ribut dengan masalah ini.

Bahkan saya dengar dari temen-temen di luar negeri bercerita : di sebagian negara (bukan Indonesia) sebaliknya, ada yang shålāt menggerak-gerakkan jari (ketika tasyahud), diangkat para jamaàh lain dan dikeluarkan dari masjid. Ini kenyataan. Benar!. Sampai segitunya. Kenapa? Karena kejahilan (tidak tahu). Oleh karenanya masalah khilafiyyah yang terbuka.

Para hadirin dan hadiråt, kita harus kenali mana masalah khilafiyyah (murni) dan mana yang khilaf-khilafan (sebenarnya bukan masalah khilafiyyah). Sehingga kita harus tahu, untuk masalah khilafiyyah, gak boleh kita kenceng, gak boleh! Kita punya adab dalam masalah ini, Adapun masalah khilaf-khilafan ga papa kita kenceng, apalagi masalah àqidah.

Saya akan rangkum bagaimana adab dalam masalah khilafiyyah. Sebelum saya perinci, intinya kalau ada masalah khilafiyah, kita tahu para ulama sunnah khilaf, para ulama madz-hab khilaf dalam suatu masalah tersebut, maka kita berusaha mencari pendapat yang paling benar, kita pelajari dalilnya, tanyakan ke ustadz. Ooo… yang bener seperti ini, tapi kita harus toleransi. Tidak boleh kita menjahil-jahilkan orang tersebut, tidak boleh kita menyesatkan orang tersebut. Kita berlapang dada, toh ini masalah khilafiyyah. Intinya demikian, itu àdab. Ketika kita tidak belajar adab masalah ini, sedikit-sedikit akan terjadi keributan.

Jangan ada keributan antara ahli sunnah dengan masyarakat, bahkan keributan sesama ahlu sunnah gara-gara tidak mengerti masalah khilafiyyah. Ada masalah khilaf di antara para ùlama, kemudian gontok-gontokan, marah-marahan, sesat-menyesatkan, bagaimana lagi yang di luar ahlu sunnah? Padahl perkaranya ringan, bukan perkara àqidah, lalu dipaksa-paksa jadi perkara àqidah.

Contoh :

❶ Masalah bantuan/sumbangan dari sebuah Yayasan (di luar negeri).

Ini perkara sepele, dan ini berlarut-larut dan bertahun-tahun. Boleh atau tidaknya kita menerima bantuan dana dari sebuah Yayasan di luat negeri yang Yayasan tersebut masih khilaf di kalangan ùlama, apakah Yayasan tersebut ahlu sunnah atau bukan. Kemudian kalaupun dia (Yayasan tersebut) bukan ahlu sunnah, banyak ùlama yang membolehkan. Bahkan syaikh Shǻliḥ al Fauzan membolehkan, kemudian ada sebagian ùlama yang mengatakan tidak boleh. Akhirnya ada Sebagian Ikhwan memilih pendapat yang tidak boleh. Mereka menganggap seakan-akan semakin kenceng pendapat semakin benar, tidak lazim yang seperti ini, katanya lebih berhati-hati. Anda lebih hati-hati tidak jadi masalah, namun bukan berarti anda mentaḥdzir, menyesat-nyesatkan. Masalahnya bukan masalah àqidah, cuma menerima dana.  Waktu saya tanyakan hal ini kepada Syaikh Shǻliḥ al Fauzan ḥafizhåhullǻhu ta’ālā, beliau mengatakan : Nabi ﷺ menerima hadiah dari al mukaukis (seorang raja yang beragama Nashrǻni), Råsūlullǻh ﷺ menerima hadiah dari seorang wanita Yahudiyyah tatkala memberikan daging kambing  yang beracun. Dan bukan masalah àqidah, kenapa harus ribut-ribut sepuluh tahun lebih, bahkan sampai sekarang masih rebut? Ini masalah konyol, ribut  tentang masalah konyol, bukan ribut masalah àqidah. Hal tersebut mau dipaksa jadi masalah àqidah, bagaimana caranya? Ini masalah àqidah atau masalah fiqih?  Ini masalah fiqih, masalah terima uang. Ini masalah fiqih, bukan masalah àqidah. Jangankan dari Yayasan ahlul bida’Taruhlah (anggaplah) itu dana dari Bank, misalkan ada Bank kasih duit, boleh gak  untuk bangun masjid? Khilaf di kalangan para ùlama, yang berpendapat boleh silahkan, yang berpendapat tidak boleh silahkan, kenapa harus ribut, padahal bukan masalah àqidah. Sementara orang-orang yang merusak àqidah bergerak di luar banyak, ada Syi’ah, ada Liberal, ada orang ahlu kalam, ada orang-orang yang àqidahnya macam-macam, bahkan mereka selamat dari bantahan-bantahan kita. Kita yang bantah saudara kita sendiri. Menyedihkan seperti ini. Yā akhi.., kalau khilaf yang keren sedikit lah, ini khilaf masalah konyol seperti ini jadi rebut.

❷ Khilaf Masalah Pemilu.

Boleh milih atau tidak? Masalahnya ùlama khilaf, Syaikh Àbdul Muḥsin al Àbbad al Badr ḥafizhåhullåhu ta’ālā, beliau sering ditanya : Wahai syaikh, Kami di negara kafir (Amerika), ada dua calon (presiden), boleh tidak kami memilih? Syaikh menjawab : Boleh. Saya denger ini berulang-ulang, boleh memilih pemimpin yang lebih dekat kepada Islam, padahal keduanya (calon) tersebut kafir. Pilih yang lebih dekat kepada Islam. Thåyyib, Ada ùlama yang berpendapat tidak boleh sama sekali, kita hormati pendapat tersebut. Ngapain kita gontok-gontokkan dalam masalah ini. Kemudian dikaitkan dengan Manhaj, dikaitkan dengan sesat menyesatkan.

Para hadirin yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Tatkala kita tidak mengerti masalah khilafiyyah, akhirnya kita membuat kerusuhan dalam barisan ahlu sunnah sendiri, terlebih lagi dengan di luar daripada barisan ahlu sunnah, sementara kesesatan tersebar di luar sangat luar biasa. Kita bicara Indonesia, Liberal bergerak luar biasa, orang Syi’ah bergerak luar biasa, PKI saja sudah muncul, kemudian kita rebut masalah terima dana dan pemilu boleh atau tidak.

Para hadirin yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Namun demikianlah, syaithǻn datang membesar-besarkan masalah ini, karena syaithǻn ingin kita ribut. Apa kata Nabi ﷺ  :

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

Innasy-Syaithǻna qåd ayisa an ya’budahul mushållūna fiy jazīråtil àråbi walakin fit taḥrīsyi bainahum :

“Sesungguhnya syaitan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shålāt di jazirah àrab, akan tetapi dia mengadu domba di antara mereka.”

(HR. Muslim no. 2.812)

B. MACAM-MACAM KHILAF

Para ḥadirin dan ḥadirǻt yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Kita akan membahas macam-macam khilaf. Ada khilaf yang tercela dan khilaf yang dibolehkan. Artinya perkara ini adalah perkara khilafiyyah. Dan ayat-ayat yang mencela terjadinya khilaf dibawakan kepada khilaf yang tercela.

Contohnya :

❶ Khilaf Dalam Masalah Àqidah.

Dan inilah yang ditafsirkan oleh sebagian ùlama bahwa iftiråqul ummah …

لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ

Sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka.

Itu adalah khilaf tentang masalah àqidah. Ini yang dipraktekkan oleh para ùlama tatkala mereka menulis buku-buku mereka. Kalau kita buka, para ùlama yang mentafsirkan ḥadits ini, menjelaskan tentang firqåh-firqåh dalam Islam, seperti Abul Ḥasan al Asy’ariy dalam kitabnya : Maqǻlatul Islamiyyin wakhtilafil mushållīn, juga kitabnya Àbdul Qådir al Baghdadiy dalam kitabnya Al Fatḥu Baynal Firǻq, Kemudian di dalam kitabnya Syaikh Risytaini (Syahråsytani) : al Milāl Wan Nihāl, demikian juga Ibnu Ḥazm dalam kitabnya : Al Fishǻl.

Mereka contohkan tentang firqåh-firqåh, semuanya khilaf tentang masalah àqidah, bukan masalah fiqih yang mereka sebutkan.  Mereka tidak menyebutkan  di antara firqåh-firqåhnya : madz-hab Ḥanafi, Māliki, Syāfi’i, Ḥanbali, tidak ada seperti itu yang mereka sebutkan. Tetapi mereka menyebutkan : Khåwarij, contoh firqåh-firqåh  yang ada, Khåwarij dengan cabang-cabangnya, khåwarij pecah jadi beberapa golongan. Mereka sebutkan lagi : Mu’tazilah, yang terpecah lagi menjadi beberapa golongan, Mereka sebutkan Syi’ah yang terpecah menjadi 13 golongan. Mereka sebutkan lagi Murjiàh, yang terpecah-pecah lagi.

Ini yang dimaksud oleh mereka dengan   72 golongan adalah khilaf dalam masalah àqidah. Bukan masalah qunut atau tidak qunut waktu shålāt shubuḥ, masa gara-gara itu (masalah fiqih) sesat menyesatkan. Baca Bismillāh keras (jahr) atau pelan (sirr), masa gara-gara itu tidak boleh shålāt, sampai ada orang yang tidak mau shålāt di belakang fulan karena bacaan bismillāhnya tidak dikeraskan. Kenapa? Karena kejahilan. Seandainya seseorang belajar dia tidak  akan demikian. Ini orang kalau ùmroh/ḥaji di tanah ḥarǻm mau shålāt di belakang siapa? Syaikh-syaikh Ḥaråmain (Para Imam)  tidak mengeraskan (melagukan) bacaan Bismillāh. Seseorang bila sedang safar ke luar negeri melihat kondisi kaum muslimin akan bisa mengubah cara pandang seseorang. Lingkungan itu mempengaruhi cara berfikir seseorang.  Saya (Ustadz Firanda) dulu juga begitu, setelah belajar, saya mengetahui bahwa ini masalah khilafiyyah, masalah ringan tidak usah diributkan.

Oleh karenanya para hadirin, khilaf madzmum (tercela) di antaranya adalah khilaf dalam masalah àqidah yang berkaitan tentang masalah ushul, seperti khilafnya orang-orang Khåwarij, Råfidhåh, Mu’tazilah, Al-Qur`āniyyin : yang hanya berdalil dengan al-qur`ān saja dan menolak ḥadits-ḥadits nabi ﷺ).

❷ Memiliki Cara Berfikir Yang Salah Dalam Beristidlal (Berdalil).

Ini khilaf yang tercela.

Contohnya :

ⓐ Mendahulukan Akal Daripada Dalil [taqdimul àql wa lā naql].

Ini pendapat sebagian firqåh. Oleh karenanyasyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Dar at-ta’ārudh al-àql wan Naql, 11 jilid, buku ini susah dipahami kecuali oleh  orang yang terbiasa membaca, Membaca buku ini cepat tua karena saling beratnya. membicarakan tentang hal ini. Pendapat seseorang yang menyatakan kalau akal dan dalil bertentangan, maka harus didahulukan akal, dalilnya dibuang (tidak dipakai), yang paling utama akal, jadi dalil harus masuk akal. Ini pemahaman sesat yang seperti ini (mendahulukan akal daripada dalil), karena kita harus tunduk pada akal, sementara akal kita sangat lemah, sehingga sebagian kita anggap tidak sesuai dengan akal kita, tapi menurut orang lain (akal orang lain) masuk akal. Maka tidak boleh mendahulukan akal daripada dalil, sehingga bisa banyak dalil yang ditolak karena tidak sesuai dengan akal dia.

Sehingga muncullah firqåh-firqåh : Jahmiyah, Mu’tazilah, Kullabiyyah, semuanya berbeda pendapat dalam menyikapi ḥadits-ḥadits nabi ﷺ dan ayat-ayat Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Kenapa? Karena masing-masing pakai akal. Menurut akal ‘A’ tidak masuk akal, menurut akal ‘B’ (berikutnya) masuk akal, menurut akal ‘C’ (yang lain) tidak masuk akal, sehingga tatkala al-qur`ān dan sunnah ditimbang, dengan akal siapa mau kita timbang? Apakah akalnya Jahm bin Shåfwān (Jahmiyyah), atau akalnya Wātsiyah bin Àthǻ`, atau akalnya Àmr bin ùbaid al Mu’athillāh, atau akalnya Sa’īd bin Kullāb (Kullābiyyah), atau akalnya Abū Bakar rådhiyallǻhu ànhu, atau akalnya sahabat, mau pakai akal siapa kita timbang? Justru seharusnya akal ditimbang dengan al-qur`ān dan sunnah, bukan sebaliknya.

ⓑ Tidak Menerima Ḥadits Aḥad Dalam Masalah Àqidah.

Ini bukan pendapat salaf. Ini dibantah oleh para ùlama. Tidak benar seperti ini, dan ini adalah ushul yang dilontarkan oleh orang-orang Mu’tazilah, sehingga mereka menolak ḥadits-ḥadits yang menyebutkan tentang àqidah, bahkan meskipun ḥaditd-ḥadits tersebut mutawatir karena mereka tidak mengerti ilmu ḥadits, kata mereka ini ḥaditsnya aḥad, padahal ḥaditsnya mutawatir.

Contohnya :  

  • Mereka menolak ḥadits tentang ḥaudh (telaga nabi ﷺ) padahal yang meriwayatkan ḥadits tersebut ada 56 saḥabat, mereka tolak. Padahal ḥaditsnya mutawatir (ḥadits yang diriwayatkan oleh banyak saḥabat, lebih dari 10 saḥabat). Kalau yang meriwayatkan ḥadits kurang dari 10 saḥabat (ḥadits Aḥad) mereka menolaknya. Ini àqidah yang berbahaya, ini, makanya dibantah ini, menjadikan terjadinya khilaf tercela.
  • Pernyataan orang-orang Syi’ah yang mengatakan bahwa Imam-imam mereka ma’shum, dan ini benar pernyataan mereka. Saya sempat berdialog dengan Sebagian orang Syi’ah, waktu berbicara tentang definisi ḥadits, kata dia (orang Syi’ah) ternyata definisi ḥadits adalah ḥadits ﷺ nabi dan ḥadits Imām. Kalau kita (ummat Islam) adanya al-qur`ān dan ḥadits nabi, karena hanya nabi yang ma’shum. Sehingga tatkala hanya nabi saja yang ma’shum maka perkataan dan perbuatan nabi adalah dalil, selain nabi tidak bisa jadi dalil, kecuali sepakat dengan nabi ﷺ. Abū Bakar bukan dalil, Ùmar bukan dalil, kecuali perkataan/perbuatan Abū Bakar dan Ùmar sesuai dengan dalil. Kenapa? Abū Bakar mungkin salah, Ùmar rådhiyallǻhu ànhu mungkin salah. Para sahabat rådhiyallǻhu ànhum mungkin salah, para imam (madz-hab) mungkin salah, kecuali nabi ﷺ. Nah Syi’ah punya keyakinan lain, kata mereka imam-imam mereka juga ma’shum, sehingga dalam buku-buku mereka (buku-buku ḥadits mereka)seperti al Kāfi, al-Kulaini, Biḥārul Anwār, al Majlisi, dan buku-buku yang lain, yang mereka cantumkan bukan hanya ḥadi-ḥadits nabi, ḥadits nabi cuma sedikit, kebanyakan ḥadits-ḥadits Imam. Imam ini bilang begini, Imam ini begini, padahal Allǻh berfirman :

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ…

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allǻh (Al Qur`ān) dan Råsūl (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allǻh dan hari kemudian.

(An Nisā` : 59)

 Kalau kalian berselisih, kembalikanlah kepada al-qur`ān dan ḥadits. Tapi ternyata oleh orang Syi’ah ditambah : warråsulu wal imam (dan para råsūl dan para imam). Kita tidak bisa nyambung dengan Syi’ah kalau begini caranya. Kenapa kita juga tidak bisa nyambung dengan Aḥmadiyah, karena Aḥmadiyah al-qur`ān-nya sudah lain, sudah ada tambahan. Kalau ada khilaf bagaimana mau nyambung. Mencari titik temu harus ada sumber hukum yang sama, yang kita sepakati. Kalau sumber hukumnya sudak tidak disepakati bagaimana mau nyambung? Al-qur`ān sama ḥadits nabi OK, bagaimana dengan ḥadits Imam? Bahkan mereka berkata bahwasanya Imam-imam tersebut ditunjuk oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā langsung. Allǻh menunjuk setelah Nabi ﷺ meninggal imamnya Àliy bin Abi Thǻlib, setelah Àliy bin Abi Thǻlib imsmnya harus Ḥasan bin Àliy, setelah Ḥasan meninggal, imamnya harus Ḥusain, kalau Ḥusain meninggal, imamnya harus Àliy Zainal Àbidin, setelah Àliy Zainal Àbidin meninggal, imamnya harus Muḥammad Al Baqir, kalau Muḥammad al Baqir meninggal imamnya harus Ja’far Ash-Shǻdiq, sampai dengan imam yang ke dua belas yaitu Muḥammad bin Ḥasan yang umurnya lima tahun hilang sejak tahun 200 sekian sampai tahun ini (1437) belum muncul, sudah 1.200 tahun dia menghilang. Jadi ini khilaf yang tercela, makanya ini khilaf yang berbahaya.

ⓒ Khilaf Àqidah Shufiyah Yang Keliru.

Contohnya lagi khilaf masalah àqidah adalah yang diikuti oleh Sebagian orang-orang yang tenggelam ke dalam shufiyah, namun dengan cara yang keliru.  Mereka menganggap wali-wali juga ma’shum, tidak mungkin salah. Siapa bilang wali ini tidak mungkin salah. Abū Bakar yang dijamin surge bisa salah, Ùmar yang dijamin masuk surga bisa salah,  Ùtsmān dijamin surge bisa salah, Àliy dijamin masuk surga bisa salah, Nah, ini wali yang menjamin masuk surga siapa? Kok benar terus, gak mungkin salah? Sampai-sampai kalau ada wali yang minum khåmr itu juga benar, kok bisa benar? Kata mereka  itu khåmr kalau masuk tenggorokan berubah jadi air putih katanya. Kata mereka demikian. Kalau itu air puti, kok bisa mabuk? Jadi susah. Kalau ada wali, misalnya duduk Bersama cewek, ya sudah benar, karena ma’shum, gak boleh salah. Kalau dibilang salah, maka jatuhlah kewaliannya, siapa bilang syaratnya jadi wali tidak boleh salah? Mana dalil-nya? Ini kesalahan yang berbahaya.

ⓓ Mengambil Hukum Dari Mimpi.

Contohnya lagi  mengambil hukum dari mimpi. Sumber hukum (Islam)  = Al-Qur`ān, ḥadits, Ijmā’ , Qiyas (masih diperselisihkan), seperti istislah dan yang lainnya, qåulu ahlu madīnah misalnya, qåulu ashḥābiy. Tapi ada yang disepakati seperti : al-qur`ān, sunnah dan ijmā’, qiyas (mnasih diperselisihkan). Intinya, tidak ada dalam buku-buku ahlu sunnah bahwasanya sumber hukum adalah mimpi. Jadi masalah tatkala mimpi dijadikan sebagai sumber hukum. Akhirnya timbul fiqih baru. Ada orang, mengajarkan cara wirid yang baru, dari mana kau dapat wirid tersebut? Katanya, Nabi ketemu saya dalam mimpi  ngajari saya seperti ini. Kan repot seperti itu. Ada yang lebih parah, katanya bukan ketemu nabi dalam mimpi, katanya ‘saya lagi tidur, nabi datang ngajarin wiridan… kan repot seperti itu.

Sehingga firman Allǻh :

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًۭا ۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridåi Islam itu jadi agama bagimu.

 (Al-Mā`idah : 3)

Firman Allǻh tersebut jadi batal, Kenapa? Karena belum sempurna, kan ada wirid-wirid yang belum diajarkan. Ini bukan sumber hukum. Bukan cara beristidlal, atau yang menggunakan istidlal dengan kasf, tiba-tiba dia merasa diungkapkan oleh Allǻh begini-begini. Maka timbullah tafsir-tafsir batin yang tidak pernah diajarkan oleh nabi ﷺ. Khilaf-khilaf  seperti ini adalah khilaf yang tercela. Dan menimbulkan munculnya firqåh-firqåh dalam Islam.

C. KHILAF MASALAH FIQIH

Para hadirin yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.

Sekarang kita bicara khilaf masalah fiqih. Khilaf masalah fiqih juga tidak semuanya boleh. Kalau khilaf masalah àqidah terutama ushul àqidah tidak boleh. Adapun furu’ul àqidah, ini masih boleh, bukan berarti boleh, tapi maksudnya tidak boleh kita sesat menyesatkan selama itu furu’ul (cabang) àqidah. Tapi ushul àqidah tidak boleh khilaf, karena kalau khilaf akan timbul firqåh yang menyesatkan.

D. KHILAF SYĀDZ [NYELENEH]

Sekarang kita beralih ke khilaf fiqih.

Khilaf fiqih ada yang namanya khilaf Syādz (khilaf yang nyeleneh). Maksudnya : pendapat masalah fiqih, pendapat sebagian ùlama  (sebagian salaf) namun pendapat mereka salah. Namanya orang salah (tergelincir) maka ada satu, dua orang tergelincir, maka tidak boleh dijadikan dalil. Katanya ‘ah… dulu juga ada ùlama yang memperbolehkan’ bukan begitu, dia (sebagian salaf tersebut) salah waktu itu. Sekelompok ùlama memandang satu dalil, kemudian mereka berijtihad sehingga ternyata timbul hukum yang berbeda, tapi sama-sama berusaha mencari kebenaran dengan memandang sebuah dalil, bukannya orang ini salah karena tidak tahu dalil. Karena kata Imam Syāfi’i tidak ada seorangpun  yang menguasai semua ḥadits nabi, tidak ada. Pasti, pasti ada ḥadits nabi yang luput darinya, siapapun dia, sehebat apapun dia. Bisa kita katakan dia hafal seluruh ḥadits-ḥadits nabi, tidak mungkin, pasti ada sebagian dalil yang luput dari dia, ini kata imām Syāfi’ī råḥimahullǻhu ta’ālā.

Contoh khilaf syādz :

Membolehkan Riba Fadhl.

Sebagian salaf, bahkan sebagian tabi’in (sekelompok tabi’in), membolehkan riba fadhl. Misalnya emas ditukar dengan emas yang lebih berat misalnya, kurma satu kilo ditukar dengan dua kilo misalnya, ini kata dia boleh, padahal ini Riba. Dia menganggap yang Namanya rib aitu hanya riba nasi’ah saja yaitu jika yang ditunda maka utangnya semakin banyak, itu Namanya riba nasi’ah. Kata mereka itu yangdi ḥaråmkan. Adapun riba fadhl, ada tukar menukar yang berlebihan  tidak mengapa, padahal ini juga riba. Maka tidak boleh seseorang mengatakan bahwa ini boleh. Kita tukar uang 1.000 dengan 1.200, tukar emas 5 gram dengam emas 7 gram tidak jadi masalah karena ada tabi’in yang  membolehkan riba fadhl katanya. Kita bilang itu salah! Tabi’in keliru. Ini Namanya khilaf syādz (khilaf yang nyeleneh).

❷ Jimā` Dengan Istri Melalui Dubur (Anus).

Ada sebagian salaf  dari ùlama dari kota Madīnah yang membolehkan seorang lelaki menggauli istrinya dari dubur (anus), padahal kita tahu ada ḥadits yang melarang. Ini  dilaknat perbuatan semacam ini, dilarang oleh nabi ﷺ. Mungkin tidak sampai dalil kepada dia, tidak semua orang menguasai ḥadits-ḥadits nabi ﷺ. Oleh karenanya tatkala ada sebagian yang membolehkan bukan berarti boleh. Kenapa ada yang membolehkan?  ini syādz, ini salah! namun ternyata kesalahan dia tercatat  dan ternukil sampai dengan sekarang.

❸ Membolehkan Minum Khåmr

Sebagian ùlama dari Kufiyyin (Kufah),memboleh minum khåmr yang terbuat dari selain anggur. Kata mereka, khåmr yang dilarang cuma yang terbuat dari anggur, adapun yang terbuat selain dari anggur, meskipun itu khåmr selama tidak teler, boleh. contohnya khåmr dari beras, dri kurma, gak papa selama tidak mabuk, kalau dari anggur tidak boleh. Ini menyelisihi pendapat ùlama dan menyelisihi ḥadits-ḥadits nabi. Justru waktu diturunkannya khåmr di kota Madīnah, penduduk kota Madīnah membuat khåmr dari kurma, bukan dari anggur. Kebanyakan mereka membuat khåmr dari kurma, bukan dari anggur. Nah, mereka, sebagian madz-hab Ḥanafiyah dari ùlama Kufah, mereka mengatakan : khåmr selama bukan dari anggur masih boleh diminum. Ini kita katakan khilaf yang syādz. ini keliru! Jangan dijadikan dalil! karena hanya secuil (sebagian) ùlama yang membolehkan karena mereka salah!

❹ Membolehkan Nikah Mut’ah

Contohnya lagi, kita dapati sebagian ùlama salaf  membolehkan nikah mut’ah, nanti kita katakan nikah mut’ah boleh. Karena sebagian salaf membolehkan. Itu salah! Mungkin dia tidak tahu ada ḥadits yang memansukh-kan yang tidak sampai kepada dia sehingga dia membolehkan nikah mut’ah.

❺ Membolehkan Musik.

Contohnya lagi, sebagian ùlama ada yang membolehkan musik, seperti Ibnu Ḥazm al Andalusi. Beliau membolehkan musik. Kenapa? Karena beliau mendhå’ifkan ḥadits di shåḥīḥ Bukǻriy, namun dia menyelisihi ijmā’ ùlama dari 4 (empat) madz-hab yang semuanya meng-ḥaråmkan. Berdasarkan ayat al-qur`ān dan berdasarkan ḥadits-ḥadits nabi yang shåḥīḥ tidak boleh. Karena ada ùlama yang membolehkan kata beliau musik ḥalāl. Kita bilang dia sendiri yang membolehkannya, semuanya mengḥaramkan. Ini khilaf yang syādz. Maka ini tidak ada toleransi, khilaf yang seperti ini.

E. KHILAF YANG  DHÅ’IF [LEMAH]

Ada khilaf yang dhå’if. Khilaf itu ada dari ùlama terkenal, tapi sangat lemah. Contohnya: Contoh sederhana seperti dalam madz-hab Ḥanafiyah menjelaskan bahwasanya tuma`ninah bukan rukun shålāt. Sehingga kalau kita lihat saudara-saudara kita di India, Pakistan, Bangladesh kalau shålāt cepet banget, karena mereka menganggap tuma`ninah bukan rukun shålāt. Dan ini menyelisihi ḥadits-ḥadits nabi. dan ini khilaf lemah. derajatnya di bawah khilaf syādz. Ada pendapat tapi sangat lemah.

Oleh karenanya syaikh Muḥammad bin Àbdul Wahhāb råḥimahullǻhu ta’ālā menyatakan : “Kami berlapang dada tentang masalah khilafiyyah kecuali khilaf tersebut lemah, benar-benar menyelisihi dalil yang jelas”. Contohnya seperti masalah rukunnya tuma`ninah. Sebagian ùlama mengatakan tuma`ninah bukan rukun shålāt, namun kami bantah! Kenapa? Karena 3 (tiga) madz-hab : Māliki, Syāfi’ī, Ḥanbali, berdasarkan dalil yang shåḥīḥ: kalau orang shålātnya tidak tuma`ninah maka shålatnya tidak sah, terlalu banyak dalilnya. Ini khilaf yang lemah (dhå’if), kita tolak, kita tidak toleransi, kita bantah. tapi ini masih lebih ringan daripada khilaf yang sebelumnya (khilaf syādz).

F. KHILAF YANG QÅWIY [KUAT]

Khilaf yang masih kita toleransi adalah khilaf yang kuat [qåwiy].

Bagaimana kita mengetahui suatu khilaf itu khilf yang kuat, syādz atau dhå’īf?

Untuk mengetahui itu khilaf atau tidak, kita harus kembali pada buku-buku fiqih klasik : khilaf di antara madz-hab, bahkan khilaf di antara satu madz-hab itu sendiri. Bahkan kalau kita lihat buku-buku seperti al-Mughni  menyebutkan khilaf 4 (empat) madz-hab. Seperti buku Majmū’ Syaraḥ Muhadzab, kemudian contohnya Al Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd disebutkan khilaf 4 madz-hab.

Bahkan ada sebagian ùlama yang menyebutkan khilaf dalam madz-habnya sendiri. Ada buku yang menjelaskan khilaf dalam madz-hab Ḥanbali, juga ada di madz-hab Syāfi’ī, di antara ùlama Syāfi’ī sendiri. Jadi khilaf di antara 4 madz-hab, dalam setiap madz-hab tersebutpun ada khilaf di antara ùlama madz-hab itu sendiri. Kita tahu, kalau disebutkan fiqih-fiqih tersebut ini masalah khilaf. Jadi yang tahu ini khilaf qåwi atau tidak adalah para ustadz? Benar! Karena orang awam tidak bisa baca kitab Àrab gundul. Jadi harus ustadz yang menjelaskan ini khilaf kuat atau tidak. Kalau kita tahu itu khilaf yang kuat, kita bersikap berlapang dada, berusaha mencari yang benar. Membantah yang salah tidak mengapa, tapi bantah dengan adab, tidak boleh menyesat-nyesatkan, mem-bid’ah-bid’ahkan selama itu masalah khilafiyyah. Dan ini banyak, kalau kita buka masalah fiqih banyak sekali khilaf dalam masalah fiqih.

Seperti Bismillāh di jahr-kan (dikeraskan) atau tidak, Shålāt shubuh qunut atau tidak. Khilaf yang kuat dikalangan ùlama, maka kita berlapang dada. Makanya saya sering menyampaikan masalah qunut shubuh, dan ini kita dapati para ùlama berfatwa bahwasanya kalau kita tidak meyakini tentang sunnagnya qunt shubuḥ, kemudian kita shålāt dibelakang (jadi ma’mum) orang yanh qunut shubuḥ, kuta ikut qunut shubuḥ. Ini fatwa  Imām Aḥmad bin Ḥanbal, fatwanya syaikhul Islā Ibnu Taimiyyah dan fatwanya Syaikh Muḥammad Ibnu Ùtsaimīn råḥimahumullǻhu ta’ālā. Kenapa? Karena ini masalah ijtihadiyyah, dan Imām shålāt itu menganggap qunut shubuḥ hukumnya sunnah (madz-hab Imām Syāfi’ī). Ada ḥadits tentang masalah qunut shubuḥ “Nabi ﷺ senantiasa qunut shubuḥ ….” ḥadits tersebut ada peråwi yang namanya Abū Ja’far ar Rǻziy, banyak ùlama yang mengatakan bahwa råwi ini lemah. adapun Imām Syāfi’i menganggap bahwa ini imam (råwi) tsiqåh, sehingga dijadikan ḥadits tersebut sebagai dalil disyariàtkannya qunut shubuḥ. Timbul khilf gara-gara penilaian satu ḥadits shåḥīḥ atau tidak. Nah, tatkala kita sebagai ma`mum, dan imam shålātnya memandang adanya disyariàtkannya adanya qunut shubuḥ, maka kita ikut qunut shubuḥ. Kenapa? Karena fungsi kita sebagai ma`mum, maka kita ikut qunut. Berbeda kalau sang imam melakukan perkara yang disepakati kesalahannya seperti imam shålat tiga rekaàt saat shålāt shubuḥ (setelah di rekaàt kedua berdiri lagi misalnya),  maka ma`mum jangan ikut berdiri, tunggu sang imam turun lagi. Kenap? karena ini sudah jelas salahnya! faham?

Thåyyib, para hadirin dan hadiråt yang dirahmati oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Maka ibnu Taimiyyah mengatakan siapa yang disebut sebagai Ahlu Bid’ah? Yaitu orang-orang yang menyelisihi al-qur`ānul karīm, menyelisihi sunnah nabi yang terkenal, semua orang tahu itu sunnah nabi namun dia nekat menyelisihi. Oleh karenanya ada permasalahan fiqih, namun dimasukkan dalam buku àqidah. Contohnya mengusap khuf.  Bagi orang yang musafir boleh mengusap khuf tanpa perlu membuka sepatu untu di cuci kakinya (saat berwudhu), bagi orang musafir 3 (tiga) hari, bagi orang yang tidak musafir 1 (satu) hari. Ini masalah fiqih sebenarnya, namun diriwayatkan oleh kalau tidak salah 80 (delapan puluh) orang sahabat. Bagi orang Syi’ah ini tidak dipedulikan karena mereka menganggap 80 orang sahabat ini kafir semua masalahnya (menurut orang Syi’ah kecuali Àli bin abī Thǻlib, kecuali hanya beberapa orang saja). Dan ternyata di antara sahabat yang meriwayatan bolehnya mengusap khuf ada Àli bin Abī Thǻlib rådhiyallǻhu ta’ālā ànhu. Intinya, ini masalah fiqih namun dianggap sebagai àqidah. Kenapa? Karena ini diriwayatkan dengan sunnah yang mutawatir. Makanya jelas, dan orang yang menyelisihi sunnah yang jelas mutawatir (diketahui semua orang), atau menyelisihi ijmā’ salaf. Dia menyelisihi suatu khilaf yang tidak ada udzur baginya.  Maka ini di mu`amalahi sebagaimana mu`amalah dengan ahlul bid’ah. Jai tidak setiap kesalahan ini ahlul bid’ah.

Thåyyib, para hadiri/ hadiråt yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Kata Adz-Dzahabiy råḥimahullǻhu ta’ālā : “Barangsiapa yang menentang (membangkang) dan menyelisihi ijmā’ ùlama maka dia berdosa”. Adapun kalau hanya menyelisihi masalah khilafiyyah (ijtihadiyah) maka tidak boleh kita sesat-sesatkan. Inilah pemahaman adab khilaf inilah yang diwariskan para ùlama ahlus sunnah sampai sekarang. Antum lihat, khilaf antara syaikh Albaniy råḥīmahullǻhu ta’ālā dengan ùlama kerajaan Àrab Saudi banyak dalam banyak hal.

Contoh :

🅐   Syaikh Albani menganggap orang kalau habis ruku’ (i’tidal) harus meluruskan tangannya ke bawah (di kiri/kanan badan), sementara ùlama Saudi rata-rata kalau habis ruku`/i’tidal (sami’ allǻhu liman ḥamidah) harus sedekap. Syaikh Albani menganggap, kalau sedekap saat i’tidal itu bid’ah. itu pendapat syaikh Albani, dan pendapat tersebut salah, itu ijtihad beliau. namun beliau tidak pernah mem-bid’ahkan orang yang bersedekap setelah ruku’. faham! Jadi, tidak lazim orang yang terjerumus ke dalam pendapat yang dianggap bid’ah, kemudian orangnya dikatakan sebagai ahlul bid’ah. ini sebagai contoh saja.

🅑  Contoh lain : syaikh Albani menganggap shålāt taråwiḥ lebih dari 11 (sebelas) råkaàt itu bid’ah. ini beliau tulis di buku beliau “Shålātu Tarǻwīḥ”, dan saya katakan bahwa pendapat beliau itu kurang kuat, menyelisihi 4 madz-hab, dan beliau (dalam hal ini) tidak punya salaf (pendahulu), namun para ùlama tidak membid’ahkan syaikh Albani dan syaikh Albani tidak membid’ahkan yang lain. Dan di Mekkah, Madinah tetap shålāt 23 (duapuluh tiga) rekaàt, bahkan di 10 (sepuluh) hari terakhir shålatnya 33 rekaàt. Kenapa? Karena mereka  meyakini shålāt taråwih boleh lebih dari 11 (sebelas) rekaàt. Ini khilaf antara Syaikh Albani dengan mereka (ulama Saudi), dan tidak ada masalah, tidak ada ribut-ributan.

🅒  Contohnya lagi masalah Kredit, menurut syaikh Albani tidak boleh menjual dengan kredit, karena menurut syaikh Albani ini riba. Sementara ùlama Saudi lain lagi pendapat mereka. ḥadits nabi ﷺ

Barangsiapa menjual dengan dua harga maka dia harus mennjual dengan harga yang termurah, kalau tidak di terjerumus ke dalam riba. Kata para ùlama, di antaranya Ibnul Qoyyim dan diikuti oleh madz-hab yang lain, maksudnya adalah bai’ul ‘inah. Tentunya ini masalah fiqih. Intinya, boleh masalah kredit. Kalau kita mau ribut-ribut masalah ini, kita akan kenceng-kenceng, ente sesat…, ini riba, ini pendapat syaikh Albani, ente di neraka Jahannam. Kita bisa seperti itu (nantinya). Ini masalah khilafiyah, bukan masalah riba yang disepakati, kenapa kita harus ribut-ribut, kemudian membesar-besarkan masalah ini. Selama masalah khilafiyah, kalau kita mau ribut, jadi ribut, karena ini riba, berbahaya.

🅓  Contoh lagi, Syaikh Albani berselisih dengan ùlama Saudi tentang masalah cadar. Syaikh Albani menganggap tidak wajib pakai cadar, Ùlama Saudi menganggap cadar itu wajib. Masalah khilaf di antara mereka.

Juga masalah khilaf dengan syaikh Bin Bāz sangat banyak. Syaikh Bin Bāz pernah ditanya : ”Wahai Bin Bāz, siapakah pembaharu  abad ini? Jawab Syaikh Bin Bāz : “Syaikh Albani”. Kata Bin Bāz dengan penuh penghormatan kepada syaikh Albani.

🅔  Bahkan mereka khilaf tidak hanya masalah fiqih. Bahkan mereka khilaf dalam masalah yang sangat berbahaya, yaitu : bolehkah Saudi menyewa tentara Amerika untuk turun ke Àrab Saudi untuk melawan Irak saat itu. Ini masalah berbahaya, masalah keselamatan jutaan manusia. Karena menurut orang-orang Saudi, Kalau Saddam Ḥusein (semoga Allǻh merahmatinya, kalau dia meninggal di dalam Islam). Kalau Irak mmenyerang Quwait, dan Quwait sudah kalah, kemudian akan menyerang Saudi. Sementara Quwait, orang-orang muslim juga, tapi diserang oleh Saddam Ḥusein. Menurut kebijaksanaan pemerintah Àrab Saudi yang di dukung oleh fatwa ùlama yaitu Syaikh Bin Bāz : boleh kita minta tolong kepada orang yang kāfir dalam rangka menolak kemudhåråtan. Ibarat di rumah ada pencuri masuk, lalu ada polisi kāfir, tidak mengapa kita minta tolong, meskipun polisinya kāfir. Ini contoh yang sederhana, Syaikh Albani mengatakan tidak boleh dengan dalil-dalilnya, dengan perdebatan. Dan ini masalah yang berbahaya. masalah tentang jutaan nyawa manusia, berakibat tentang pertumpahan darah. Toh mereka berbeda pendapat, mereka saling menyayangi. Kalau salah berfatwa bisa menyebabkan banyak orang meninggal dunia. ternyata mereka saling menyayangi. Jadi hati ini harus lapang.  Nah, antum berselisih pendapat karena menggerak-gerakkan jari saat tasyahud, ini tidak ada yang mati mau yang gerak-gerak atau tidak, gak ada yang mati itu. Masa masalah memilih (pilpres) atau tidak, harus gontok-gontokkan, sesat menyesatkan, dituduh dukun, dan yang macam-macam. dituduh dukun, karena mengatakan : kalau nanti dia terpilih, nanti akan begini, begini….memangnya dia dukun? Jadi ini karena kejahilan, padahal ini masalah khilaf. selesai urusan.

Oleh karena itu, para hadirin, hadiråt yang dirahmati oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Jadi maksud saya, kita lihat para ùlama, mereka khilaf dalam masalah-masalah besar, tapi berlapang dada. Nah kita, kenapa masalah-masalah yang bukan masalah besar kemudian kita harus ribut. Nah, kalau kita berselisih, boleh bantah dengan ilmiah, dengan menghormati saudara kita sesama di atas sunnah. Kita tahu saudara kita membantah ahlul bid’ah, kita tahu saudara kita berjuang, bahkan mungkin nyawanya terancam gara-gara membantah ahlu bid’ah, kemudian kenapa kita sesat-sesatkan dia. Dia punya salah, ya mungkin salah, kita bantah dengan ilmiah, tidak harus mencela, men-cap sesat dan macam-macam. Ini orang tidak mengerti adab khilaf. Oleh karenanya ahli sunnah wal jamaàh punya manhaj, di antara manhaj dalam masalah khilafiyah.

Apa itu manhaj ahlu sunnah wal jamaàh? Toleransi dalam masalah khilafiya, berlapang dada, menghormati pendapat lainnya. Boleh menyalahkan tapi tidak boleh menyesatkan. Nah, kalau antum tidak mengetahui hal ini berarti antum tidak tahu manhaj ahlu sunnah wal jamaàh dalam masalah khilafiyah.

G. FURU’UL AQIDAH

Thåyyib, para hadirin dan hadiråt yang dirahmati okeh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Demikian juga ada masalah-masalah khilafiyah dalam masalah furu’ul àqidah (cabang àqidah) bukan ushul àqidah. Inipun kita masih berlapang dada.

Contoh :

🅐   Sebagian salaf dahulu khilaf, apakah nabi ﷺ tatkala mi’råj (naik ke langit yang ketujuh) melihat Allǻh atau tidak. Ada khilaf di kalangan para sahabat, yang benar bahwasanya nabi tidak melihat Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Dalam ḥadits yang shåḥīḥ, råsūlullǻh ﷺ ditanya : “Apakah engkau melihat Råbb-mu?” Kata nabi ﷺ “Ada cahaya yang menghalangi, bagaimana saya bisa melihat Allǻh subḥānahu wa ta’ālā”. Tetapi mereka sepakat tentang ushul (àqidahnya) apa? Ushul àqidahnya yaitu nabi ber-isrǻ` Mi’rǻj. ini yang pokoknya. Cabang dari masalah ini adalah dia ﷺ melihat Allǻh atau tidak,  Ini masalah furu’ (cabbang).  Nah, kalau ada orang mengingkari isrǻ’ mi’rǻj, kita bilang ini orang kāfir. tapi bukan itu yang mereka khilafkan, yang mereka khilafkan adalah melihat Allǻh atau tidak tatkala isrǻ’ mi’rǻj-nya. Makanya itu furu’ àqidah, makanya tidak saling menyesatkan dalam masalah ini.

🅑   Contohnya juga dalam masalah isrǻ’ mi’rǻj. Apakah nabi waktu mi’rǻj itu dengan jasadnya atau hanya ruḥnya saja. masalah isrǻ’ mi’rǻjnya mereka sepakat terjadinya, tetapi mereka berselisih dalam masalah furu’nya, yaitu apakah nabi ﷺ ber mi’rǻj dengan jasadnya atau hanya ruḥnya saja.  Kenapa? karena nabi ﷺ waktu pergi kemasjidil aqshǻ, bertemu dengan ruḥ-ruḥ para nabi, tatkala naik ke langit juga bertemu dengan para anbiya` (para nabi).  Jadi tibullah khilaf, apakah nabi ber mi’rǻj dengan ruḥnya saj atau dengan jasadnya. Yang benar, adalah dengan ruḥ dan jasadnya. Tapi ini juga masalah khilafiyah furu’ul àqidah. Dalam cabang-cabang àqidah kita tidak boleh saling sesat menyesatkan. Oleh karenanya para hadirin dan hadiråt yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, saya akan sebutkan contoh-contoh para salaf dahulu tatkala menghadapi masalah khilafiyah, namun mereka saling menghormati dan tidak saling mencela di antara mereka.

Contohnya :

🅐    Råsūlullǻh pernah berkata kepada sahabat tatkala hendak menyerang bani Quråizhåh, kata råsūlullǻh ﷺ, “janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian shålāt Àshar kecuali sampai di bani Quråizhåh, kampungnya kaum Yahūdi. Maka mereka menuju ke kampung bani Quråizhåh. Di tengah perjalanan  mereka mendapat waktu shålāt Àshar, maka khilaf di kalangan para sahabat menjadi dua pendapat. Sebagian sahabat berpendapat  : kita tidak boleh shålāt kecuali di sana (kampung bani Quråizhåh), maka mereka tidak shålāt ( di tengah perjalanan tersebut), mereka lanjutkan perjalanan, nanti setelah sampai di kampungnya bani Quråizhåh baru mereka shålāt (Àshar). Sebagian sahabat yang lain berpendapat  : maksudnya nabi kita bersegera, bukan secara zhåhirnya, dan mereka shålāt Àshar sebelum sampai ke bani Quråizhåh.  Terjadilah 2 (dua) pendapat di kalangan para sahabat. Tatkala ini disampaikan kepada nabi ﷺ ternyata nabi ﷺ tidak mencela salah seorangpun dari dua kelompok sahabat ini. Karena mereka khilaf dan saling menghargai, dan nabi ﷺ tidak mencela 2 kelompok ini. Syaikhul Islām mengomentari ḥadits ini, dan beliau mengatakan : “Dan ini permasalahan tidak saling mencela ini datang dalam masalah fiqih, tapi (kata Ibnu Taimiyyah) demikian pula masalah ushul yang tidak penting, seperti furu’ dan cabang àqidah, maka diikutkan seperti masalah fiqih, tidak boleh saling mencela”. Oleh karenanya Ibnu Mas’ūd  dan Ùmar bin Khåththǻb adalah sahabat yang saling mencintai, namun Ibnul Qåyyim råḥīmahullǻhu ta’ālā mengumpulkan perselisihan di antara mereka berdua dan mereka saling menghormati, Ibnu Mas’ūd memuji Ùmar bin Khåththǻb rådhiyallǻhu ànhu, padahal terjadi perselisihan di antara mereka berdua sampai seratus permasalahan.  Demikian juga khilaf di antara para Salaf. seperti khilaf di antara ahlu rå`yi  (madz-hab Abū Ḥanifah) dengan ahlu ḥadits (seperti Syu’bah, Asy-Syāfi’i, dan yang lainnya). Tatkala Abū Ḥanifah meninggal dunia, maka Syu’bah yang merupakan ahlu ḥadits, meskipun ada khilaf yang kuat di antara ahlu ḥadits engan ahlu rå`yu, Syu’bah berkata : “Sungguh telah pergi bersama Abū Ḥanifah fiqihnya Kūfah, semoga Allǻh menganugerahkan rahmat kepadanya”. Dan kepada mereka di do’akan oleh Syu’bah, meskipun mereka khilaf. Imām Syāfi’i juga yang menyelisihi madz-hab Abū Ḥanifah, padahal madz-hab  Syāfi’i dan madz-hab Abū Ḥanifah sering berdebat dalam masalah fiqih, dalam banyak hal. Demikian juga ditanya kepada Imam Aḥmad, Kalau ada imam shålat yang keluar darah dari tubuhnya, kemudian tidak wudhu lagi, apa boleh kita shålāt di belakang dia? maka Imām Aḥmad berkata : “Bagaimana saya tidak shålāt di belakang seperti Imām Mālik, Sa’id Ibnu Mushåyyib, karena Imām Mālik dan Sa’id Ibnu Mushåyyib memandang bahwasanya keluarya darah tidak membatalkan wudhu, meskipun menyelisihi Imam Aḥmad. Imam Aḥmad mengatakan : “Saya kalau shålāt di belakang mereka saya tetap shålāt, meskipun fiqih saya berbeda”. Kata al Qurthubi råḥīmahullǻhu ta’ālā di dalam kitab  tafsirnya : Al Jami’ li aḥkamil qur`ān beliau berkata : kata beliau “Abū Ḥanifah dan para sahabatnya, demikian juga Imām Syāfi’i dan para sahabatnya Imām Mālik, mereka shålāt di belakang Imam-imam penduduk kota Madīnah yang bermadz-hab Imām Mālik. meskipun mereka tidak membaca Bismillāh. Bahkan madz-hab Mālikiyyah bukan cuma tidak menjahr-kan  (mengeraskan) bacaan Bismillāh, bahkan tidak membacanya, karena mereka menganggap surat al Fātiḥah dimulai dari Alḥamdu lillāhi råbbil ‘ālamīn. Bismillāh itu hanya pemisah surat saja, ini khilaf para ùlama, apakah bismillāhirråḥmānirråḥīm di dalam al fātiḥah termasuk al-fātiḥah atau tidak.  Sebagian ùlama berpendapat bahwasanya bismillāhirråḥmānirråḥīm tidak masuk, Bismillāh itu pemisah surat-surat seperti habis al fātiḥah, bismillāh lagi, terus alif lām mīm (al-baqåråh), terus bismillāh lagi, kemudian surat āli ‘Imrǻn, terus bismillāh lagi, lalu surat an Nisā` dan seterusnya. kata mereka bismillāh itu pemisah suratatau awal dari surat, bukan bagian dari surat al fātiḥah. Ini di råjihkan oleh syaikh Muḥammad Ibnu Shǻliḥ al-Ùtsaimīn. Kata beliau bahwasanya Bismillāh bukan termasuk dari surat al-Fātiḥah dengan dalil-dalilnya. seperti dalam ḥadits qudsi Allǻh mengatakan : Aku membagi al-Fātiḥah menjadi dua : Kalau hambaku berkata Alḥamdulillāhi råbbil ’Ālamīn dan seterusnya, dimulai dengan apa? Alḥamdulillāhi råbbil ‘Ālamīn. Sehingga sebafgian ùlama berpendapat tidak membaca Bismillāh meskipun Sirr (pelan) juga tidak dibaca tidak masalah. Di antaranya Imām-imām yang bermadz-hab Mālikiyyah. Ternyata Imām Syāfi’i (muridnya imām Mālik), dia pernah shålāt di belakang Imām Mālik atau tidak? pasti pernah. Dan ùlama-ùlama Ḥanafiyah shålāt di belakang Imām Mālik dan yang ber-madz-hab Mālik tidak membaca bismillāh sama sekali baik sirr maupun jahr. Mereka shålāt di belakangnya, padahal menurut madzhab mereka (Syāfi’i, Ḥanafi) kalau tidak membaca bismillāh shålatnya tidak sah, Kenapa? karena bismillāh adalah bagian daripada al-fātiḥah. Menurut madz-hab Syāfi’i, bismillāh adalah bagian dari al fātiḥah, ada satu ayat saja yang tidak dibaca, shålātnya  sah atau tidak? tidak sah. Tapi karena ini masalah khilafiyah Imām Syāfi’i tetap shålāt di belakang Imām Mālik yang menganggap bahwasanya bismillāh bukan bagian dari surat al-fātiḥah. Ini penjelasan Imām al Qurthubiy råḥimahullǻhu ta’ālā.

Jadi, maksud saya, karena ini masalah khilafiyyah, ya sudah, mereka berlapang dada, kalau jadi ma`mum ya sudah jangan ngeyel. Saya dapati sebagian orang di Madīah, Imām tidak qunut shubuh, tapi dia (ma`mum) qunut shubuh sendirian. Kalau jadi ma`mum jangan memaksakan diri, Kalau jadi ma`mum, sementara imāmnya tidak qunut shubuh jangan memaksakan diri untuk qunut shubuh, demikian pula, kalau jadi ma`mum, dan imāmnya qunut shubuh, kita ikut qunut. Ini masalah ijtihadiyyah.

Kemudian al Imām Adz-Dzahabiy råḥimahullǻhu ta’ālā, tatkala pernah membicarakan masalah biografi Qåtādah (salah seorang tab’īn) dan Qåtādah ini punya masalah dalam hal Qådar (dia berpendapat keliru/menyimpang), namun dia seorang tabi’īn. Kata Adz-Dzahabiy, dia (Qåtādah) punya masalah dalam hal takdir, tidak seorangpun yang ragu akan kejujurannya, akan keadilannya,  dan akan hafalannya. Kata Adz-Dzahabiy, dan bisa jadi Allǻh memberi ùdzur seperti Qåtādah (orang-orang seperti ini), yang mereka terjerumus dalam sebagian bid’ah namun dalam rangka untuk mengagungkan Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, itu Allǻh memberi ùdzur kepadanya, dan dia sudah berusaha mencari kebenaran, ternyata keliru. Allǻh maha àdil, dan Allǻh maha bijak, dan Allǻh maha lembut kepada hambanya. Kemudian beliau (Adz-Dzahabiy) berkata : Kalau ada orang dari para a`immah (para imām) yang dikeal sering melakukan kebenaran, pendapatnya sering benar, n diketahui bagaimana dia berusaha mencari kebenaran, dan ilmunya luas, nampak kecerdasannya, dan nampak keshåliḥannya, nampak warå’nya, dan bagaimana dia mengkuti sunnah, akan diampuni kesalahan-kesalahannya, dan kami tidak akan menyesatkannya, dan kami tidak akan membuangnya, dan kami tidak aan melupakan kebaikan-kebaikannya. Benar, kita tidak akan mengikuti kesalahan-kesalahannya. Dan kami mohon dia bertaubat dari bid’ah tersebut. Artinya, Adz-Dzahabiy mengatakan : Qåtādah punya kesalahan, terjerumus ke dalam sebagian bid’ah, tapi tidak kita sesatkan, kenapa? karena kebaikannya sangat banyak.

Syaikh Albani mengatakan : Kalau seorang hākim, kita tahu dia sering berhukum dengan keadilan, suatu hari dia berhukum dengan kezhåliman, (1x, 2x, 3x), tapi ratusan hukum adil terus, maka tetap hakim ini kita sifati sebagai hakim yang àdil, dan kita tidak mengatakan dia hakim yang zhålim. Sebaliknya ada hakim yang zhålim, ratusan hukum zhålim terus, kemudian dia àdil (1x, 2x, 3x), tetap kita katakan hakim yang zhålim. Kenapa? Karena yang ditinjau adalah apa yang dilakukan paling banyak. Oleh karenanya, para hadirin yang dirahmati oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, maka tidak boleh dengan mudahnya kita mem-vonish seseorang sesat, ahlul bidah (misalnya) gara-gara memiliki satu kesalahan, dua kesalahan tiga kesalahan, dan siapa yang tidak luput dari kesalahan.

Ada sebagian ustadz, dia memiliki kesalahan, lihat, kesalahannya seperti apa?  ya sudah dinasehati, tapi tidak mau bertaubat, karena malu, ya sudah, yang penting dia tidak melakukannya lagi, karena tidak semua orang kuat, ikhlas, berani mengaku salah. Apakah kita buang ustadz ini? jangan! kebaikannya banyak, salahnya bisa kita tahu dan kita ingatkan ummat bahwa itu salah. ustadz tersebut, meskipun dia salah dalam hal ini ustadznya jangan dibuang. Kalau setiap salah ustadznya dibuang, sayapun akan dibuang, karena saya pasti punya salah. Kalau saya (ustadz) salah, ya nasehati, kalau kesalahannya benar-benar menyelisihi ijmā’,ya sudah, saya (ustadz) harus bertaubat, tapi kalau kesalahannya hanya berbeda sudut pandang, menurut anda salah, tapi menurut saya (ustadz) benar, dan ada ùlama yang berpendapat demikian, maka anda harus berlapang dada. Ada fiqih khilaf dalam masalah ini. Kalau ada salah lalu dibuang ustadz tersebut, lalu siapa ustadz yang dipakai? Ustadz yang bid’ah-bid’ahkan juga salah dia, dia tidak tahu manhaj dalam masalah khilafiyah. Kalau ada ustadz yang suka bid’ah-bid’ahkan orang, maka bisa dibilang ustadz itu juga ahlu bid’ah kalau begitu caranya. Kenapa? Karena dia tidak punya manhaj dalam masalah khilafiyah, padahal ahlu sunnah punya manhaj dalam masalah khilafiyah, dan dia tidak punya manhaj dalam hal ini. Kalau kita ikuti gaya ustadz ini, maka kita bilang, justru kamu yang bid’ah, dikit-dikit membid’ahkan orang, manhaj darimana yang seperti ini? cari buku fiqih 4 (empat) madz-hab, mana cara yang seperti ini? tidak ada yang seperti itu. ini manhaj yang baru.

Oleh karenana para hadirin yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Seseorang tidak mudah untuk mem-vonish seseorang. Kita bilang dia salah, punya kesesatan, kita ingatkan kesalahannya, kita nasehati, bukan berarti ustadz tersebut kita buang. Kalau begitu caranya kita tidak akan belajar sama ustadz. siapapun dia pasti punya salah. Berbeda kalau salahnya besar, berkaitan dengan perkara-perkara berat, masalah takfir, ini berbahaya kalau begini. kita jangan menggampangkan masalah ini, yang berujung pada pertumpahan darah.m Ini berbahaya, berujung pada pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah misalnya. oh ini berbahaya seperti ini, jangan sepelekan. Tapi kalau ternyata kesalahannya  tidak berkaitan dengan masalah-masalah seperti ini, kita beru ùdzur, tetap kita pakai ustadz tersebut. Tapi kalau kesalahannya besar, seperti menggampangkan masalah syi’ah, menjerumuskan orang ke masalah syi’ah, menjerumuskan ke masalah khåwarij, takfir, bahaya, kita jauhi ustadz seperti itu.

H. ḤUSNUZHÅN TATKALA KHILAF.

Thåyyib, para hadirin yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Terakhir, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan tatkala terjadi khilaf. Kita berḥusnuzhǻn kepada orang yang menyelisihi kita. Kita berḥusnuzhån dia sudah mencari kebenaran, jangan langsung kita tuduh bahwasanya dia ikut hawa nafsu, karena dikasih duit. Saya sering dapat email yang menuduh : ustadz (Firanda) dikasih uang berapa sih, sampai mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan pemahaman si pemilih tersebut. Kenapa harus memilih demikian? Kenapa kita harus su’uzhån kepada orang, seakan-akan kalau ada orang membolehkan, menerima dana dari bank untuk membangun masjid atau menerima dana dari suatu yayasan yang diperselisihkan berarti dia pengikut hawa nafsu, dibayar oleh yayasan tersebut? Kenapa harus menuduh seperti itu? Apa sudah dibuka hatinya? Orang-orang yang menerima dana tersebut?  Atau dia menerima dana untuk bangun pondok, dan pondoknya berjalan sampai sekarang, banyak yang hafal qur`ān dari pondok tersebut, kenapa harus menuduh dia pengikut hawa nafsu? Maka kita harus ḥusnuzhån kalau ini masalah khilafiyah. Kita ḥusnuzhån bahwasanya dia mencari kebenaran. Anda boleh menyalahkan, ga` apa apa, itu hak anda untuk menyalahkan, tapi tanpa disertai cercaan, makian, apalagi menyesat-nyesatkan. ini orang tidak punya adab, tidak punya manhaj dalam masalah khilafiyah. Dan ingat, seorang kalau berusaha mencari kebenaran, kemudian dia salah, dia tetap dapat pahala. kata nabi ﷺ  : jika seorang hakim, dia berjtihad,  berusaha mencari kebenaran, ternyata hukumnya salah, tetap dapat pahala 1 (ijtihadnya), kalau dia benar, mak dia dapat 2 pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Kalau dia sudah mencari kebenaran, Allǻh tidak zhålim, Allǻh tahu dia berusaha mencari kebenaran, Allǻh kasih pahala, berusaha mencari kebenaran. Beda orang yang mencari kebenaran, namun ternyata dia bukan bidangnya dalam hal itu, kita bilang, kamu tidak berhak (tidak pantas) untuk ijtihad misalnya. Tapi, kalau orang itu sudah berusaha, sudah belajar, sudah punya ilmu, kemudian dia salah dalam berhukum, maka dia tetap dapat pahala. Ingat, Råbb kita lebih sayang daripada ibu kita sendiri, masa Allǻh zhålim, masa orang sudah berusaha kemudian dimasukkan ke neraka Jahannam, kan tidak! Oleh karenanya syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Mereka dahulu, para salaf, mereka saling berdialog, saling berdebat dalam masalah ilmiah, dalam masalah ibadah, amaliyah, tetap disertai dengan saling mengasihi, dan saling bersatu, dengan tetap adanya persaudaraan dalam agama”. Kalau setiap ada 2 orang Islam bermasalah, ribut, maka tidak akan ada persatuan sama sekali selama-lamanya.  Tidak mesti ribut, kita pisah, kita boleh beda pendapat,  tapi tidak harus ribut, tidak harus pisah.

Berkata Yunus Ash-Shådafi råḥīmahullǻhu ta’ālā, berkata : “Aku tidak pernah melihat orang lebih cerdas daripada Imām Syāfi’i, (kata Yūnus), suatu hari aku mendebat dia dalam suatu permasalahan, setelah berdebat, kami (kita) berpisah. Suatu hari saya ketemu lagi dengan Syāfi’i, dia memagang tanganku dan berkata kepadaku “Wahai Yūnus (Abū Mūsā), tidakkah kita masih bersaudara, meskipun kita tidak bersepakat dalam satu masalah?”

Lihat, kenapa harus ribut. Lihat tadi (sebelumnya) Syaikh Albani sama syaikh Bin Bāz khilaf dalam banyak masalah, tetapi tetap saling menghormati, saling menghargai. Nah, kalau sudah tidak saling menghormati, itu berarti kurang ilmu, atau kurang àdab, berarti ada hawa nafsu yang bermain. Kalau anda punya ilmu, anda tahu, ḥusnuzhǻn kepada saudara, tidak perlu anda mencaci maki, dan itu akan nampak tatkala timbul masalah khilafiyah. Seperti masalah kemarin (pemilu), ada yang mengatakan perkataan “menyakitan hati”, ya sudah saya biarin saja, sampai saya di tahdzir tidak boleh ngisi kajian di satu masjid, saya tahu itu, saya maafkan ustadznya, sampai ada yang ngisi pengsjian mengatakan ini ustadz “ABG”, sampai temen saya yang denger merasa jengkel. Dia punya salah, wajar, tapi jangan dijadikan bahan olok-olokan di mimbar-mimbar, ini gak bener yang seperti ini.

Oleh karenanya ada perkataan para salaf : bahwasanya perkataan di antara sejawat harusnya dilipat, tidak boleh diriwayatkan, selama mereka ahlu sunnah semuanya. Maka  kita tidak perlu ikut nimbrung, memanas-manaskan, janga mudah ngompor-ngomporin sang ustadz (guru kita), akhirnya meledak dia, sehingga lawannya dihabisi di forum-forum, di mimbar-mimbar, padahal sesama ahlu sunnah. Sebelumnya saling dekat, gara-gara satu masalah kemudian ribut. Ini masalah fiqih, bukan masalah àqidah, kenapa harus ribut?

Inilah para hadirin dn hadiråt yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Apa yang bisa saya sampaikan, tentang masalah àdab dalam masalah khilafiyah. Semoga menambah wacana kita, wawasan kita, bahwasanya kita harus lebih berlapang dada, terutama di dalam kehidupan masyarakat. Kita lihat, kalau di dalam kehidupan masyarakat, mereka melakukan suatu perbuatan (àmalan) yang ternyata di situ ada madz-hab Syāfi’i yang berpendapat demikian maka kita berlapang dada, tidak perlu kita sesat-sesatkan mereka, selama itu ternyata masih ada pendapat di kalangan ùlama Syafi’iyyah.

Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.

I. TANYA   JAWAB

⓵  Jika kita pergi ke tempat makan/mal, pasti ada musik yang dimainkan. Sikap kita bagaimana ustadz?

Jawab :

Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb. kalau di tanah air kita, itu bisa disebut perkara yang tidak bisa kita hindari. Mudah-mudahan Allǻh ampuni, karena kita tidak sedang mencari untuk mendengar musik, tapi di mana-mana kita dengar musik. Kalau kita benar-benar menghindar dari musik saya tidak bisa datang ke Bali, di  bandara ada musik, di pesawat ada musiknya, bahkan ada pramugarinya, di mall, mushålla juga ada musik masuk. Beda kalau di Madīnaj, di mall dengar muråttal. Dengar musik ini sama dengan menundukkan pandangan, tidak bisa. di mana-mana, mau ke mana-mana pasti kelihatan. terpaksa istighfār terus. Kalau ada restoran yang tidak ada musiknya kita ke situ, kan susah carinya. Ada perkara-perkara yang tidak bisa kita hindari sama sekali, seperti ikhtilat, terbukanya auråt, seperti dengar musik, ya sih mau ke mana lagi, di mana-mana ada musik, ini diluar kemampuan kita. Bukannya kita menggampang-gampangkan, Kalau ada restoran yang tidak ada musik kita ke situ. tapi kan susah, tidak gampang seperti itu, kalau kita masuk restoran,  ada musik, tidak mungkin kita melarang, karena restoran tersebut bukan milik kita. Ini cerita : saya punya teman di Madīnah punya bintang (jenderal) , dia cerita pada saya, dia kemarin (suatu saat) ke Indonesia katanya (temen saya), “saya lagi makan, mereka putar musik, maka saya teriak woii… matikan itu”. akhirya mereka matikan. mungkin mereka (yang punya restoran) segan atau gimana, atau karena dia sebagai tamu, akhirnya dimatikan musiknya. Tapi kan tidak semudah itu, Kalau antum teriak-teriak matikan musiknya, musik ḥarǻm, ‘mungkin antu dikira orang gila, padahal itu madz-hab Syāfi’i. Dalam kitab fiqih Syāfi’i di kitan apapun Syāfi’i mengḥaråmkan musik, namun mereka tidak mengamalkan madz-hab Syāfi’i dalam hal ini. Jadi maksud saya, mudah-mudahan tidak berdosa (terdengar musik) karena bukan itu yang kita cari.

⓶ menit ke 73: 13: 18 ( satu jam, 13 menit, 18 detik)  Mohon dijelaskan apa itu Wahhabiy!

Jawab :

Jadi Wahhabi, itu julukan yang dituduhkan kepada orang-orang ysng belajar di Àrab Saudi, bahkan dikatakan negara Saudi adalah negara Wahhabi. Dan kalau kita mau lihat, Àrab Saudi, mereka sangat menghormati Syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb. Syaikh Muḥammad bin Àbdul Wahhāb adalah ùlama yang sangat dihormati oleh ùlama-ulama Saudi, kenapa? Karena dia pahlawan. Bagaimana bisa berdirinya negara Àrab Saudi. Dahulu Saudi itu kelompok-kelompok kecil, pemerintahan-pemerintahan kecil yang saling bertempur di antara mereka. Maka muncullah Syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb bekerjasama dengan al Imām Muḥammad bin Su’ūd. Bekerjasama dan berdirilah negara Àrab Saudi, kemudian disatukan seluruhnya. Makanya Syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb seperti Tuanku Imam Bonjol dimata orang Indonesia. Arrtinya, wajar jika mereka hormat, karena pahlawan. Bukan cuma sekedar ùlama, tapi juga pahlawan yang dengan jasa dia berdirilah kerajaan Àrab Saudi. Namun orang-orang Saudi tidak fanatik sama syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb, kalau salah tidak diikuti. Dia adalah ùlama bermadz-hab Ḥanbali, sebagaimana ùlama-ùlama yang lain. Sayapun walau belajar di Universitas Islam Madīnah, tidak fanatik sama Syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb. Oleh karenanya, kita di sanapun belajar fiqih 4(empat) madz-hab, tidak harus belajar madz-hab Ḥanbali, padahal Saudi bermadz-hab Ḥanbali. Dan banyak guru-guru kita dari ùlama Saudi yang mengatakan : pendapat dalam suatu masalah ini lebih kuat mdz-hab Syāfi’i, lebih kuat madz-hab Māliki, tidak ada fanatik sama sekali, meskipun mereka bermadz-hab Ḥanbali.

Adapun orang-orang yang ḥasad kepada kerajaan Saudi, dan banyak yang ḥasad, terutama orang-orang Syi’ah sangat ḥasad kepada kerajaan Àrab Saudi. Kita bilang Àrab Saudi dengan penuh (segala) kekurangannya, Saudi adalah negara yang terbaik yang ada sekarang ini. Syariàt Islām ditegakkan, meskipun tidak sempurna, pasti ada kekurangan. Alḥamdulillāh, yang berzina dihukum, yang mencuri dipotong tangannya. Orang-orang menutup auråt. Alḥamdulillāh tidak ada tempat-tempat pelacuran (yang resmi). Kalau ada ditangkap. Ada, tempat pelacuran yang sembunyi-sembunyi, di rumah-rumah. Saya pernah punya teman, kepala hai`ah àmal ma’ruf nahi munkar Saudi, dia mengatakan pada saya “Firånda, Ini bulan Råmadhǻn, saya berhasil tutup 30 (tiga puluh) rumah-rumah yang dijadikan tempat pelacuran (tidak resmi semuanya, tidak ada terbuka, dibolehkan, tidak ada!).Alḥamdulillāh, di mana-mana shålāt berjama’ah, masjid penuh di mana-mana, Alḥamdulillāh, negaranya sangat aman. taruh mobil, masih dinyalain, masuk masjid, tidak ada yang nyuri mobil tersebut. Di Saudi seperti itu. Saya pernah mau keluar dari rumah, Ada mobil di belakang saya, menghalangi mobil saya, orang Saudi ini ngawur, parkir sembarangan, maka saya masuk ke mobil tersebut, mobilnya masih nyala, ada blackberry di sampingnya, saya bel-bel  “tet, tet, tet” orangnya tidak ga ada. akhirnya saya naik, saya mundurin, kemudian  (mobil) saya bisa keluar, lalu saya majukan lagi (mobil tersebut). Coba kalau di Indonesia? minimal BB (Blackberry)-nya hilang, yang jelas mobilnya juga bisa hilang. Bayangkan, mobilnya nyala dibiarin saja. Bukan berarti di sana tidak ada pencurian mobil, Ada juga, tapi minimal. Artinya, (Saudi) kebaikannya sangat banyak. Belum lagi khidmad pelayanan terhadap jamaàh ḥaji/ùmråh, luar biasa. pembagian yang gratisan di sana sangat banyak. Saya lihat sendiri, sampai-sampai jamaàh ḥaji/ùmråh yang plus juga kalau ada pembagian gratisan ikut rebut-rebutan. Benar, jamaàh ḥaji plus, saya bimbing mereka, kaya raya, ada pembagian gratus, mereka juga semangat, padahal mereka kaya raya.(namun kalau gratis itu menyenangkan ya… hehehe…). Jadi luar biasa. Kekurangannya (Saudi) jelas ada. Kemudian timbullah isu-isu bahwasanya orang-orang Wahhābi suka menumpahkan darah. sampai ada yang bikin buku yang judulnya “Sejarah Berdarah Sekte Wahhābi”. Yā akhi, tuduhan yang macam-macam. Apakah ada orang-orang kita yang berḥaji/ùmråh ketakutan di sana? takut dibunuh sama Wahhabi? Gak ada, justru aman kalau di sana. Justru saat sampai (tiba) di Indonesia malah ketakutan,  dicuri, dirampok, macam-macam,sampai-sampai pagar harus dikunci, mobil hilang, di sana (Saudi) tidak ada ketakutan sama sekali. Apa yang ditakuti? Mana haus darahnya?

Apakah Àrab Saudi tidak membantu negara-negara Islam yang lain? Sangat membantu, tidak memandang itu (negara yang dibantu) madz-habnya apa, dibantu semuanya. Indonesia, dibantu berulang-ulang, Aceh dibantu berulang-ulang. Qur`ān gratisan banyak dibagi-bagi, (meskipun dijual di Tanah Abang). Palestina dibantu luar biasa, Suriah dibantu habis-habisan.

Ya, kalau mereka (Saudi) punya kesalahan, itu wajar. mereka dituduh meng-kafirkan umat Islam, itu omongan saja. Apakah pengajian kita suka mengkafir-kafirkan? Kita tidak pernah mengkafir-kafirkan. Kita kalau mengatakan ini (perbuatan) kekufuran,  itu (perbuatan) syirik, itu harus. tapi bukan berarti pelakunya langsung otomatis musyrik, otomatis kafir.  Tapi menjelaskan jika itu syirik, harus dijelaskan, ini kekufuran harus dijelaskan. Oleh karenanya tuduhan-tuduhan banyak, seperti wahhābi melarang shålawat. Bagaimana melarang bershålawat, tiap hari kita bershålawat. Kalau shålāt di masjid Nabawi, apakah khåthibnya tidak pernh bershålawat? shålawat terus-terusan. setiap bilang nabi di tambahi ﷺ dan terus-terusan. yang dilarang itu adalah shålawat yang macam-macam, yang aneh-aneh seperti shålawat fatiḥ (yang katanya yang baca shålawat tersebut seperti khåtam qur`ān 7 kali). Ini darimana dalilnya seperti itu? itu yang dilarang shålawat yang aneh-aneh.

Kemudian tuduhan lagi, Wahhābi melarang ziaråh qubur. Dusta! siapa bilang melarang, ḥadits-ḥadits nabi menyuruh ziaråh qubur. Yang dilarang itu, kalau pergi ziaråh qubur, minta pada penghuni qubur, itu yang dilarang. Jangan ziaråh qubur untuk minta-minta kepada penghuni qubur, itu yang dilarang oleh mereka.

Dan tuduhan macam-macam, sampai saya lihat/baca sendiri di berita bahwa seperti isu yang tersebar, bahwa ada orang wahhābi naik ke atas kubah hijau (masjid nabawi), tahu-tahu kena petir, dan terbakar di atas, sampai sekarang mayatnya masih ada. Subḥānallǻh! Ini orang Madīnah saja tidak ada yang tahu yang seperti ini. tapi di Indonesia, pada tahu. Dari mana? saya juga heran dari mana? Yā akhi, kalau ada orang terbakar di atas, apakah wahhabi itu kafir? Abū Jahal saja, mati, di kubur oleh nabi ﷺ..Ini ada orang (katanya) hangus terbakar, lalu tidak di kubur? dibiarin bertahun-tahun di situ? darimana (cerita) yang seperti itu? Ini cerita yang paling rame di Indonesia.

Bikin isu lagi, Orang Wahhābi (pemerintah Saudi) ingin memindahkan kuburan nabi, isu darimana seperti ini, kurang ajar yang seperti ini. Padahal pemerintah Saudi ingin memperluas masjid Nabawi. dibuat isu supaya kita mencela, bukan memuji. Harusnya (memuji), jika pemerintah Saudi memperluas masjid Nabawi, bayangkan, berapa duit yang harus dikeluarkan, hotel-hotel besar mereka bayar (diganti), berapa duit (triliun) yang mereka keluarkan demi melebarkan masjid Nabawi untuk khidmat kepada masyarakat, sementara orang-orang Syi’ah bikin isu bahwasanya Saudi ingin memindahkan kuburan nabi. Darimana seperti ini? akhirnya mencela, (yang penting mencela dulu) meskipun setelah di crosscheck tidak benar. dusta!

Bahkan beberapa tahun lalu ( sekitar dua tahun lalu) saya ḥajian, saya baca di internet, katanya orang-orang Saudi  (Wahhābi) menyewa tentara Israhel untuk menjaga keamanan pelaksanaan jamaàh ḥaji. Subḥānallǻh! Ngapain sewa tentara Israil, Dusta BESAR! namun tersebar.

Artinya para hadirin, maksud saya, sekali lagi saya katakan Àrab Saudi negara yang saya lihat sangat baik dengan segala kekurangannya. Tapi kita harus memandang dengan kacamata yang àdil. Tidak boleh kita hanya melihat sisi-sisi buruknya, sementara sisi baiknya begitu banyak. Adapun fitnah-fitnah terhadap Wahhābi itu fitnah-fitnah banyak yang tidak benar. Saya  katakan Syaikh Muḥammad Bin Àbdul Wahhāb råḥimahullǻhu ta’ālā seorang ùlama yang bisa benar, dan bisa salah, kita tidak pernah fanatik dengan beliau.

⓷ Menit ke 81 : 05:06 ( satu jam : 21 menit : 5 detik) Ustadz , apakah dalam perkara ISIS ada khilaf?

Jawab :

Antum lihat, bagaimana bentuk takfir yang luar biasa yang dilakukan oleh ISIS. Dan itu berimbas ke Àrab Saudi. Ada ponakan membunuh pamannya, Anak bunuh ibunya, Ada yang ngebom di Masjid. Bahkan terakhir, bom di masjid di tentara Saudi, karena mereka sama pemikirannya dengan takfiri yang ada di sini (Indonesia). Saudi kafir, (raja Saudi kafir), makanya semuanya kafir, sama pemikirannya dengan takfiri di tanah air kita, yaitu : presidennya kafir, wapres kafir, semua anggota DPR kafir, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, semua pegawai negeri kafir. mengerikan (faham) seperti ini. Akhirnya ngebom di masjid. Bayangkan orang lagi shålāt di bom, sementara banyak darah bertumpahan di situ, qur`ān-qur`ān banyak yang robek, padahal di situ ada ḥalaqåh taḥfizh qur`ān, banyak yang hafal qur`ān di situ, tentara Saudi banyak yang hafal qur`ān, di bom di situ. Sampai ada lelucon di masjid ditulisi “tidak ada bidadari “di sini!” , karena mereka ( yang ngebom) yakin kalau ngebom dapat bidadari. “Kalau ngebom cari tempat yang lain”. Saya tidak menuduh mereka ISIS, tapi saya katakan mereka pemikirannya takfiri. Bayangkan, orang-orang lagi shålāt, mau buka puasa bulan Råmadhǻn, waktu yang sangat mulia, tidak menghargai kehormatan masjid, tidak menghargai orang-orang yang ada di Masjid Nabawi, kemudian ngebom. Alḥamdulillāh dihalangi, dia mau masuk area masjid, dihalangi, akhirnya meledak, empat-empat semuanya. Semoga Allǻh menerima arwaḥ orang-orang yang membela masjid Nabi ﷺ.

Ini sangat berbahaya, saya tidak mendapati ùlama-ùlama terkenal yang menyatakan ISIS itu benar. tidak ada khilaf dalam masalah ini. Råsūlullǻh ﷺ mengatakan tentang orang-orang Khåwarij, råsūlullǻh mengatakan : mereka orang-orang bodoh, dan mereka orang-orang muda, tidak ada orang àlim di antara mereka. coba tunjukkan mana ISIS punya ùlama? tunjukkan satu saja ùlama ISIS, bahkan orang-orang takfiri yang mereka dahulu agung-agungkan juga mengatakan ISIS takfiri juga. ISIS ga ada ùlama-nya, tahu-tahu muncul kelompok ekstrim suka mengkafirkan, tidak ada ùlamanya, terus siapa yang membiming mereka kalau begitu. mana ùlamanya ISIS yang punya karya ilmiah, yang bisa kita lihat keilmuannya. tidak ada, dan tidak pernah ada. Siapa dibalik  mereka ini? Siapa? tidak tahu, yang jelas pengkafiran mereka ini luar biasa. mengkafirkan Àrab Saudi, mengkafirkan lainnya.

Demikian para hadirin dan hadiråt yang dirahmati Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.

Mohon maaf banyak pertanyaan yang belum bisa saya jawab. Demikian saja pengajian kita kali ini, dan ada sebagian yang tidak bisa saya menjawabnya karena kekurangan ilmu.

Semoga Allǻh subḥānahu wa ta’ālā senantiasa menganugerahkan kepada kita istiqåmah sampai kita bertemu Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.

Subḥānakallǻhuma wabiḥamdika asy-hadu an lā ilāha illā anta, astaghfiruka wa atūbu ilaik.

Wassalāmu àlaikum waråḥmatullǻhi wabaråkātuh.

Video

 

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: