Materi 65 – Hamba yang Tawadhu’ Tetap Menjaga Izzah Tanpa Harus Menghinakan Diri

Materi 65 – Hamba yang Tawadhu’ Tetap Menjaga Izzah Tanpa Harus Menghinakan Diri

Tulisan tentang “Materi 65 – Hamba yang Tawadhu’ Tetap Menjaga Izzah Tanpa Harus Menghinakan Diri” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.

Sebelumnya: Materi 64 – Hamba yang Tawadhu’ akan Diangkat Derajatnya oleh Allah

Materi 65 – Hamba yang Tawadhu’ Tetap Menjaga Izzah Tanpa Harus Menghinakan Diri

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita masih membahas tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan tawadhu’. Kali ini ada sebuah hadits, dimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

طُوبَى لِمَنْ تَوَاضَعَ مِنْ غَيْرِ مَنْقَصَةٍ

“Sungguh beruntung orang yang tawadhu’ tanpa melakukan perkara yang merendahkan dirinya.” (HR. Ath-Thabrani, para ulama khilaf tentang keshahihan hadits ini. Sebagian ulama menghasankan, seperti Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab menghasankan hadits ini, kemudian dinukil juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Sementara Syaikh Albani Rahimahullahu Ta’ala mendhaifkan hadits ini karena dalam sanadnya ada permasalahan)

‘Ala kulli haal, meskipun haditsnya dhaif, tapi maknanya benar. Yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan: “Beruntung bagi orang yang tawadhu’ dengan syarat jangan dia melakukan perbuatan-perbuatan yang akhirnya menghinakan dirinya.”

Kita tawadhu’/ merendah, tetapi tetap harus menjaga ‘Izzah sebagai seorang mukmin, ‘Izzah sebagai seorang penuntut ilmu. Tawadhu’ ada batasannya, tidak sampai kita menghinakan diri kita, tidak sampai kita menjadi bahan olok-olokan orang.

Misalnya seperti seseorang yang ingin tawadhu’ lalu dia menceritakan kekurangan-kekurangannya yang banyak, ini akhirnya orang jadi menghina dia, karena tahu banyak aibnya. Mungkin maksudnya untuk tawadhu’, maksudnya dia mengatakan: “jangan angkat saya, saya ini masih banyak aibnya.” Tapi terlalu banyak aib yang dia ceritakan tentang dirinya. Akhirnya orang pun menghinakan dia dan orang pun merendahkan dia.

Tawadhu’ bukan seperti ini maksudnya. Tawadhu’ yaitu seseorang lemah-lembut kepada yang lain, menghargai yang lain, sayang kepada yang lain, itu maksudnya tawadhu’. Yaitu خفض الجناح (merasa tinggi), tapi bukan berarti kita tawadhu’ sampai merendahkan dan menghinakan diri, misalnya memakai pakaian yang kumal, atau melakukan hal-hal yang diluar kewajaran hanya untuk menyatakan diri kita adalah seorang tawadhu’, akhirnya kita direndahkan, bukan ini maksud dari syariat.

Jadi intinya seseorang tawadhu’ tapi tetap menjaga ‘Izzah, yaitu kemuliaan dirinya.

Makanya tawadhu’ ini mirip dengan dha’ah (الضعة), yaitu seorang merendahkan diri sampai terhina. Sama halnya antara Al-‘Izzah (kemuliaan) dengan ‘Al-Kibr (kesombongan). Ini sama-sama, seorang tetap menjaga kemuliaannya tapi ada orang menjaga kemuliaannya dengan kesombongan, ada orang menjaga kemuliaan  dengan ‘Izzah, tidak sombong. Tetap dia menjaga dirinya sebagai seorang penuntut ilmu, dia jaga harga dirinya, tidak melakukan perbuatan yang memalukan, tapi dia tidak sombong.

Sama, seseorang tawadhu’ tapi jangan menghinakan dirinya. Merendah diri tapi jangan menghinakan diri, demikian juga menjaga kemuliaan tapi jangan sombong.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menjadikan kita hamba-hambaNya yang tawadhu’ dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya.

▬▬•◇✿◇•▬▬

Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Materi 65 – Hamba yang Tawadhu’ Tetap Menjaga Izzah Tanpa Harus Menghinakan Diri” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Baarakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: