Sejarah Perkekembangan Ilmu Tajwid

Sejarah Perkekembangan Ilmu Tajwid

Definisi Ilmu Tajwid
Dalil Tentang Berbakti Kepada Orang Tua
Cara Berbakti Kepada Orang Tua Yang Sudah Meninggal

Berikut sejarah perkekembangan Ilmu Tajwid yang sangat penuh manfaat:

Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Dia memerintahkan beliau agar membacanya dengan tartil sebagaimana firman-Nya:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzammil[73]: 4)

Maksud ayat tersebut adalah: “Hendaknya kita membaca al-Qur’an sebagaimana Allah menurunkannya yakni dengan mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya dan menyemnpurnakan harakatnya secara perlahan.

Tata cara membaca tersebut dapat menunjang kita untuk dapat memahamni dan mentadaburi al-Qur ‘an, serta menguatkan hati dalam mengamalkan hukum-hukumnya.”1

Allah berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَـٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ

Orang-orang yang telah Kami beri kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya…” (QS. Al-Baqarah[2]: 121)

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:”Abul Aliyah menukil perkataan Ibnu Mas’ud: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya makna haqqu tilawah adalah menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al-Qur ‘ an, mengharamkan apa yang diharamkan dalam al-Qur’an , dan membaca al-Qur’an sesuai dengan apa yang diturunkan Allah'”2

Ibnu Yazid al-Kindi berkata, “Ibnu Mas’ud mengiqrakan (mengajarkan) al-Qur’an kepada seseorang, lalu orang itu membaca (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ) dengan memendekkan (lafazh الْفُقَرَاءِ), maka Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tidak seperti itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan qiraah kepadaku.’
Orang itu bertanya, ‘Bagaimana beliau mengajarkan qiraah kepadamu, wahai Abu Abdurrahman?'”
Ibnu Masud menjawab, “Beliau membacakannya kepadaku: (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ) yakni dengan memanjangkannya.3

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ فَبَدَأَ بِهِ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ

“Ambillah al-Qur’an dari keempat orang Sahabatku ini, Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan Ubay bin Ka’ab”4

Imam an-Nawawi Rahimahullah menjelaskan hadits tersebut: “Rasulullah bersabda demikian disebabkan mereka adalah Sahabat yang paling tepat dalam mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an, dan yang paling sempurna dalam membacakannya, walaupun para Sahabat yang lain lebih faqih (paham) tentang makna-makna daripada meraka.”5

Allah k berfirman:

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلًا

“Dan al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap” (QS. Al-Isra'[17]: 106)

Dalil-dalil di atas menunjukkan adanya tata cara atau sifat tertentu dalam qiraah al-Qur’an , tidak seperti membaca buku-buku biasa ataupun koran berbahasa Arab. Akan tetapi, ia dibaca dengan kaifiyat atau tata cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tata cara itu dirangkum oleh para ulama, hingga mereka mengistilahkannya dengan ilmu tajwid.

Perhatian umat terhadap ilmu ini sangat besar. Kita dapat menyaksikan bagaimana para ulama dari dahulu sampai sekarang menulis tentang ilmu tajwid dan ilmu qiraah. Tulisan-tulisan mereka begitu menakjubkan dan bermanfaat bagi umat, yang bisa kita temui di dalam perpustakaan-perpustakaan kaum muslimin.

Agar terhindar dari kesalahan dan kerancuan dalam pemahaman, maka sebelum kita berbicara perihal ilmu tajwid hendaknya diketahui bahwasanya ada perbedaan mendasar antara ilmu qiraah dan ilmu tajwid walaupun hubungan keduanya sangat erat. Perlu diketahui juga bahwa kemunculan ilmu qiraah lebih dahulu daripada ilmu tajwid, atau dengan kata lain ilmu qiraah sebagai cikal bakal ilmu tajwid. Adapun diantara sebab keterlambatan munculnya ilmu tajwid adalah sebagaimana uraian berikut.

Dahulu kaum salaf mempraktikkan ushul (dasar-dasar) tajwid secara amaliah. Mereka menukil qiraah dengan cara talqin dan musyafahah (langsung mengambil dari lisan guru-gurunya). Seperti generasi pertama umat ini dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, yang tidak belajar ilmu ini dalam kitab-kitab, tetapi langsung ber-talaqqi (berguru) kepada guru-guru mereka dengan tajwidnya, disamping kefasihan bahasa dan bersihnyal lisan mereka dari ‘ujmah (gagap atau ketidakfasihan).

Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Muhammad al Mar’asyi pernah berkata: “Tajwid al-Qur’an terkadang didapatkan oleh seorang penuntut ilmu dengan cara musyafahah (secara lisan) dari Syaikh muhawwid (ahli tajwid) dengan tanpa mengenal permasalah-permasalahan ilmu ini, bahkan musyafahah menjadi landasan dalam mendapatkannya. Akan tetapi, dengan perantara ilmu tersebut akan memudahkannya dalam mesyafahah, bertambah kemahirannya, serta (ilmu) yang diambil terjaga dari keraguan tahrif (perubahan).6

Sebelum kita melanjutkan bahasan ini tentang siapakan ulama yang pertama kali menulis ilmu tajwid, alangkah baiknya kita mengetahui perbedaan antar ilmu qiraat dengan ilmu tajwid, karena tidak sedikit kaum muslimin yang belum mengenal masalah ini. Banyak diantara mereka yang menyangka keduanya tidak berbeda, padahal dua ilmu ini memiliki perbedaan mendasar dari sisi pokok bahasan dan metode bahasannya. Begitu juga sejarah ta’lif (penulisan) ilmu qiraah kedalam kitab-kitabnya, telah muncul lebih dahulu menjelang akhir abad pertama Hijriah, yang kemudian banyak bermunculan kitab-kitab qiraat pada abad kedua dan ketiga.7

Syaikh Muhammad al-Mar’asyi Rahimahullah berkata: “Apabila Anda bertanya: ‘Apakah perbedaan antara ilmu tajwid dan ilmu qiraah? maka aku menjawab: ‘ilmu qiraah adalah ilmu yang diketahui di dalamnya ikhtilaf (perbedaan) para imam tentang nadzham (bacaan) al-Qur’an pada huruf dan sifat yang sama; apabila disebutkan padanya sesuatu dari hakikat sifat huruf maka ia merupakan penyempurnaan (saja), karena tidak berhubungan (langsung) dengan tujuannya. Adapun tujuan ilmu tajwid adalah mengenalkan hakikat sifat huruf; apabila disebutkan padanya sesuatu dari perbedaan para imam (dari segi bacaan al-Qur’an), maka itu merupakan pernyempurna (saja). Demikianlah sebagaimana telah diteliti dengan benar dalam kitab ar-Ri’ayah..'”8

Setelah mengetahui permasalahan di atas, marilah kita membahas ulama yang pertama kali menulis ilmu tajwid, apakah nama kitabnya.

Para ulama menjelaskan bahwa Abu Muzahim al-Khaqani adalah ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid. Nama lengkapnya Musa bin Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan, yang lahir tahun 248 H dan wafat tahun 325 H.

Imam Ibnul Jazari Rahimahullah berkata:

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفِ فِي التَّجْوِيْدِ

“Dialah orang yang pertama kali menulis tentang tajwid.”9

Tulisannya dikenal juga dengan nama al-Qashidah al-Khaqaniyah. Demikianlah sebagian ulama menyebutkan. Dan, pada bait yang ke-5 dari kasidahnya dikatakan:

أَيَا قَارئَ القُرْآنِ أَحْسِنْ أَدَاءَهُ * يُضَاعِفْ لَكَ اللهُ الجَزِيْلَ مِنَ الأَجْرِ

“Wahai qari al-Qur’an, baguskanlah bacaannya, niscaya Allah melipatgandakan untukmu padaha yang banyak.”

Tulisan Abu Muzahim ini sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu tajwid pada masanya dan masa-masa berikutnya. Terbukti setelah itu, bermunculanlah para ulama yang menulis kitab-kitab serupa seperti10:

  1. Abul Hasan Ali bin Ja’far bin Muhammad as-Sa’idi ar-Razi yang wafat pada tahun 410 H. Dia menulis kitab at-Tanbih ‘ala al-Lahnil Jaliy wal-Lahnil Khafiy.
  2. Abu Muhammad Makki bin Abu Thalib al-Qaisi yang wafat pada tahun 437 H. Dia manulis kitab ar-Ri’ayah li Tajwidil Qira’ah wa Tahqiqi Lafzhit Tilawah.
  3. Abu Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani yang wafat pada tahun 444 H. Dia menulis kitab at-Tahdid fil Itqan wat Tajwid.

Ulama ini menyebutkan dalam muqadimah tentang latar belakang penulisan kitab itu, bahwa ia melihat para qari dan muqri di zamannya menyepelekan tajwid dalam tilawah al-Qur’an.

Tiga ulama tadi menulis tentang tajwid setelah Abu Muzahim Musa al-Khaqani dan mereka Rahimahumullah merupakan generasi pertama ulama tajwid.11 Tiga ulama inilah yang mempopulerkan istilah tajwid dalam kitab-kitabnya. Secara khusus, mulai zaman ad-Dani, istilah tajwid telah ditetapkan dan menjadi nama yang dikenal bagi ilmu yang berhubungan dengan makhrijul huruf (tempat-tempat keluarnya huruf) dan sifat-sifatnya. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ghanim Qadduri al-Hamad.12

Terdapat empat ulama lainnya yang mengikuti jejak ulama-ulama tajwid sebelumnya, yaitu:

  1. Abul Hasan Syuraih bin Muhammad bin Syuraih ar-RU’aini al-Isybili (wafat 539 H). Dia menulis kitab Nihayatul Itqan fi Tajwidi Tilawatil Qur’an.
  2. Alamuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdush Shamad as-Sakhawi (wafat 643 H). Dia menulis kitab Umdatul Mujid wa ‘Uddatul Mufid fi Ma’rifatit Tajwid, yang kemudian disyarah oleh al-Hasan bin Ummu Qasim (wafat 749 H) dengan judul al-Mufid fi Syarhi Umdatil Majid.
  3. Najmuddin Muhammad bin Qaisar bin Abdillah al-Baqhdadi al-Mardani (wafat 721 H). Dia menulis kitab ad-Dur an-Nadhid fi Ma’rifatit Tajwid.
  4. Taqiyuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Umar al-Ja’bari (wafat 732 H). Dia menulis kitab ‘Uqudul Juman fi Tajwidil Qur’an.

Lantas munculah Imamul Muhaqqiqin wa Ra-isul Muqri’in Abul Khair Muhammad bin al-Jazari as-Salafi Rahimahullah (wafat 833 H), seorang ulama yang mumpuni dalam ilmu qiraah dan tajwid. Dia menulis kitab at-Tamhid fi ‘Ilmit Tajwid. Selain itu, dia menulis mandzumah (syair) tentang tajwid yaitu al-Muqaddimah fi Ma ‘alaQari’ihi an ya’lamah, yang dikenal dengan al-Mandzumah al-Jazariyah.

Demikianlah setelah zaman Ibnul Jazari, para ulama qiraah terus menerus kitab tajwid.

Dr. Ghanim Qadduri al-Hamad dalam kitabnya berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tajwid telah menjadi ilmu mustaqill (yang berdiri sendiri dan dikenal umat) sejak awal abad ke-5 H. Yaitu ketika muncul tulisan Abul Hasan as-Sa’idi, Makki bin Abu Thalib al-Qaisiy, dan Abu Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani.

Adapun penulis pertamanya Abu Muzahim Musa bin Ubaidillah bin Yahya al-Khaqani, dengan kasidah ra’iyah-nya (yang bait-baitnya diakhiri dengna huruf ra)13 tentang cara membaca al-Qur’an yang baik. Semoga Allah merahmati dan meridhai mereka.14 

Demikianlah para ulama dari dahulu sampai sekarang berkhidmat kepada Allah dengan memberikan perhatian yang begitu besar terhadap al-Qur’anul Karim.

Mereka mewariskan karya-karya yang agung dan sangat bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan tajwidnya.

Hal ini dapat memberikan kebanggan tersendiri bagi kaum muslimin, sehingga orang-ornag yang memiliki kedengkian terhadap Islam dapat melihat sendiri tentang keagungan al-Qur’an, Kitab suci yang Allah jamin akan selalu dijaga selama-lamanya, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sumber: Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i. Cetakan ketiga, Dzulqa’dah 1435 H / September 2014 M. Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi Lc. Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Catatan:

  1. Lihat Tafsir Al-Qurthubi (XIX/53), Tafsir Ibnu Katsir (IV/554), Fathul Qadir (V/387).
  2. Tafsir Ibnu Katsir (I/243).
  3. Lihat Ibnul Jazari dalam an-Nasyr fil Qira-atiy ‘Asyr (I/316). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shahihah (no. 2237).
  4. HR. Al-Bukhari (no. 4999) dan Muslim (no. 2464) dari Abdullah bin Amr.
  5. Lihat alasan selengkapnya dalam Syarah Shahih Muslim (VIII/235-236) oleh Imam an-Nawawi.
  6. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 15). Dinukil dari Juhdul Muqill Waraqah (lembar ke-2).
  7. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 14-15).
  8. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 15). Kitab ar-Ri’ayah yang dimaksud adalah kitab ar-Ri’ayah li tajwidil Qiraah wa Tahqiqi Lafzhit Tilawah karya Abu Muhammad Makki bin Abu THail (wafat 437H). Penulis banyak menyebutkan dalam kita tersebut perbedaan antara dua ilmu ini.
  9. Haji Khalifa berkata: “Orang yang pertama kali menulis tentang tajwid adalah Musa bin Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan al-Khaqani al-Baghdadi al-Muqri (wafat 325 H), sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jazari.” Dia seorang ulama terkenal, bahkan al-Khatib berkata tentangnya: “Seorang yang tsiqah, taat dan berasal dari kalangan Ahlus Sunnah.”.
  10. Lihat al-Wajiz Hukumi Tajwidil Kitabil ‘Aziz (hlm. 15-25).
  11. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 47-59).
  12. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 69).
  13. Yang dimaksud adalah Qashidah Khaqaniyah.
  14. Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hlm. 71).

Komentar

WORDPRESS: 1
  • comment-avatar

    […] Lihat kembali masalah ini pada bahasan “Sejarah perkembangan ilmu Tajwid“. […]

  • DISQUS: