Khutbah Jumat: 5 Falsafah Ibadah

Khutbah Jumat: 5 Falsafah Ibadah

Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “5 Falsafah Ibadah” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat: 5 Falsafah Ibadah

Kaum muslimin yang Allah muliakan,

Syukur alhamdulillah layak kita haturkan ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Pada kesempatan siang ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk melaksanakan salah satu kewajiban, yaitu shalat jumat berjamaah. Kita memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan amal yang kita lakukan ini sebagai amal shalih yang ada hasilnya kelak di yaumil akhir.

Kita memahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk mengemban tugas dan fungsi utama, yaitu mereka beribadah kepada-Nya.

Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan di dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat[51]: 56)

Dan yang namanya ibadah tentu saja ada aturannya, ada rambu-rambu yang harus diketahui oleh setiap hamba. Sebab ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tugas itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan sang hamba itu melaksanakan tugasnya sesuai keinginannya sendiri. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan panduan.

Setidaknya ada lima prinsip dasar yang bisa kita sebut sebagai falsafah ibadah yang perlu kita pahami agar ibadah kita menjadi ibadah yang sah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Prinsip Pertama: Ibadah Hanya Kepada Allah

Kita tidak boleh beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bentuk tindakan kezaliman yang besar dan itu merupakan kesyirikan, memberikan hak yang itu merupakan milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata kepada selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha ketika hamba-Nya melakukan sikap semacam ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (QS. Luqman[31]: 13)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ancaman bagi siapa pun yang berbuat kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan untuk masuk ke surga. Sebagaimana firman-Nya,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 72)

Selanjutnya juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa semua bentuk ibadah hanya boleh diberikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia..” (QS. Al-Isra'[17]: 23)

Sehingga semua tindakan beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebuah kezaliman yang besar. Dan sebagai bentuk akhlak yang sangat tidak terpuji di hadapan Sang Pencipta.

Prinsip Kedua: Ibadah Tanpa Perantara

Selanjutnya, prinsip kedua dalam masalah ibadah adalah bahwa ibadah itu tidak boleh ada perantara. Ibadah tidak bisa disampaikan melalui perantara. Sehingga seorang hamba ketika beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia hanya boleh langsung beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh disampaikan melalui perantara.

Persembahan makhluk kepada makhluk bisa jadi dilakukan melalui perantara. Ketika ada orang yang ingin memberikan hadiah kepada atasan maupun pejabat, mungkin dia tidak bisa bertemu langsung dengan pejabat tersebut. Maka dia sampaikan hadiah tersebut melalui ajudannya/ perantara.

Tapi hal yang semacam ini tidak berlaku untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tidak boleh beribadah melalui perantara untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang musyrikin Quraisy, ketika mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terkadang mereka sampaikan melalui perantara yang mereka yakini bahwa nantinya perantara mereka tersebut akan mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az-Zumar[39]: 3)

Sehingga maksud mereka beribadah kepada berhala adalah karena mereka meyakini bahwa berhala itu adalah implementasi dari ruh orang shalih. Maka ketika mereka beribadah kepada berhala itu, mereka meyakini bahwa orang shalih itu akan mengantarkan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut praktik seperti ini sebagai tindakan kesyirikan.

Aturan Berdoa

Maka sebagaimana kita tidak boleh beribadah melalui perantara, dalam berdoa juga kita tidak boleh melalui perantara. Sebab inti dari doa adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ

”Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 2969)

Sehingga ketika ada orang yang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui perantara, baik dengan makhluk yang sudah mati maupun dengan benda mati yang pada asalnya.

Misalnya ada orang yang sudah mati, kemudian ada seseorang yang berdoa di atas kuburannya dengan keyakinan, “Nanti arwah dari orang yang mati itu akan mengantarkan doanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ini  termasuk ke dalam kesalahan besar karena merupakan praktik kesyirikan yang terjadi di kalangan orang kafir di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Prinsip Ketiga: Ibadah dengan Ikhlas

Dalam beribadah, kita harus melakukannya dengan ikhlas. Ikhlas artinya pada saat melakukannya kita tidak diizinkan untuk memiliki kepentingan apapun selain mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab ketika seseorang memiliki kepentingan, berarti ibadah itu tidak murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena itulah disebut ikhlas, dari kata خلص yang artinya murni. Sehingga ketika ibadah itu memiliki kepentingan yang lain, baik kepentingan duniawi, pujian dari orang lain, maupun kepentingan lainnya maka ibadah itu tidak akan diterima.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً

“Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja.” (HR. Muslim)

Dan ibadah yang baik adalah ibadah yang ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah[98]: 5)

Bisa jadi ada orang yang beribadah, sasarannya benar tanpa perantara. Namun dia memiliki kepentingan yang membuat ibadahnya menjadi kotor.

Prinsip Keempat: Ibadah Mengikuti Panduan Rasulullah

Ibadah itu harus ada panduannya dari utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab para Nabi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus adalah untuk menjelaskan kepada manusia tentang bagaimana caranya menjadi hamba yang baik dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apabila manusia boleh beribadah tanpa panduan, artinya dia boleh berinovasi dalam beribadah, berarti manusia tidak butuh Nabi. Adanya Nabi menunjukkan bahwasanya mereka tidak boleh beribadah kecuali atas panduan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raf[7]: 3)

Artinya, dalam masalah ibadah kita harus mengikuti panduan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa'[4]: 80)

Inovasi dalam Beribadah

Sebagian orang memiliki prinsip bahwa setiap orang boleh mengarang ibadah. Boleh berkreasi dan berinovasi dalam masalah ibadah. Lalu apa fungsi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kalau kemudian manusia boleh berinovasi dalam beribadah?

Dan alhamdulillah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan agama ini dengan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 3)

Dan sesuatu yang telah sempurna, ketika ditambah-tambahi justru bisa merusak. Sebab sesuatu yang telah sempurna ketika dibiarkan itulah yang menunjukkan kesempurnaannya. Kita sempurna dengan dua mata. Tentu akan rusak jika kita tambah dengan satu mata lagi.

Maka demikian juga dengan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah sempurna. Siapapun yang menambahi, pada hakikatnya dia justru memperburuk apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.

Demikian sebagai khutbah yang pertama, semoga bermanfaat.

Khutbah Jumat Kedua

Kaum muslimin yang Allah muliakan,

Prinsip Kelima: Tidah Boleh Ibadah untuk Nabi

Ibadah tidak boleh kita tujukan kepada makhluk yang mengajarkan ibadah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Nabi untuk mengajarkan ibadah kepada-Nya. Maka ibadah tidak boleh kita persembahkan untuk Nabi, sebab mereka adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan tuhan.

Karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengajarkan kepada manusia agar hanya beribadah kepada-Nya semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengagungkan-Nya, bukan untuk mengagungkan diri beliau sendiri. Sehingga kalau ada orang yang beribadah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini adalah ibadah yang salah sasaran.

Pernah suatu ketika ada seorang sahabat yang memuji Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara berlebihan. Lalu beliau melarangnya dan mengatakan,

لا تُطْروني كما أَطْرت النصارى ابنَ مريم؛ إنما أنا عبده، فقولوا: عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakan (panggil aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR. Bukhari)

Karena itu, jangan sampai kasus yang terjadi pada orang Nasrani yang mereka menuhankan Isa karena salah sasaran dalam beribadah terjadi juga pada kaum muslimin.

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setiap bentuk kesalahan dalam beribadah karena efek sampingnya luar biasa. Menyangkut masalah surga dan neraka.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang istiqamah. Istiqamah dalam sebagai seorang muslim dan dalam mengemban tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Video Khutbah Jumat: 5 Falsafah Ibadah

Video: ANB Channel

Mari turut menyebarkan link download kajian “5 Falsafah Ibadah” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: