Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “Tawadhu Di Hadapan Ilmu” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.
Khutbah Jumat Pertama: Tawadhu Di Hadapan Ilmu
Hadirin jamaah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan ilmu yang Allah berikan kepada hambaNya ibarat air hujan yang turun dari langit. Sedangkan hati manusia, sebagaimana layaknya permukaan bumi yang menampungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا…
“Allah Ta’ala menurunkan air dari langit, maka berbagai macam lembah, ada berbagai macam sungai, semua tempat yang cekung di muka bumi ini terisi dengan air sesuai dengan takarannya.” (QS. Ar-Ra’d[13]: 17)
Para ulama memahami hal ini bahwasannya ilmu yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat manusia layaknya air hujan. Sementara hati kita sebagai penampung ilmu, sebagaimana layaknya permukaan bumi. Dan kita memiliki pemahaman bahwa air itu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sehingga semakin rendah sebuah permukaan bumi, maka akan semakin banyak diisi dengan air.
Maka demikian pula hati para hambaNya, semakin tawadhu hati seorang hamba, akan lebih banyak diisi dengan ilmu. Ketika dia tawadhu di hadapan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang ulama yang bernama Abdullah bin Mu’taz Al-Abbasi:
الْمُتَوَاضِع فِي طلَاب الْعِلْم أَكْثَرهُمْ عِلْما كَمَا أَنَّ الْمَكَان الْمُنْخَفِض أَكْثَر الْبِقَاع مَاءً
“Orang yang tawadhu di kalangan penuntut ilmu, mereka adalah manusia yang paling banyak ilmunya. Sebagaimana tempat yang landai akan dihuni oleh banyak air, karena air itu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.”
Karena itulah, jama’ah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, salah satu di antara kunci sukses untuk belajar, agar kita bisa lebih banyak dan lebih mudah dalam belajar ilmu agama, lebih mudah dalam menghafalkan ilmu agama, kunci suksesnya salah satunya adalah tawadhu untuk di hadapan ilmu.
Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala pernah mengatakan:
طلب العلم أفضل الاعمال لمن صحت نيته
“Belajar ilmu agama adalah amalan yang tidak ada tandingannya bagi orang yang niatnya lurus.”
Kemudian ada salah satu di antara muridnya yang bertanya: “Lalu apa yang dimaksud dengan niat yang lurus itu wahai Imam Ahmad?” Kata beliau Rahimahullahu Ta’ala: “Dia bersikap tawadhu di hadapan ilmu, dan memiliki niat untuk menghilangkan potensi kebodohan yang ada pada dirinya dan yang ada pada orang lain.”
Kita dilahirkan dari rahim ibu dalam kondisi tidak mengetahui apapun. Kita tidak tahu, baik perkara dunia maupun perkara akhirat. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada hambaNya setahap demi sahabat. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا…
“Allah mengeluarkan kalian dari rahim ibu kalian dalam kondisi kalian tidak mengetahui apapun.” (QS. An-Nahl[16]: 78)
Siapapun manusia kondisinya sama, maka kita dengan para ulama dimasa silam ketika dilahirkan dari rahim ibunya dalam kondisi yang sama. Imam Syafi’i ketika dilahirkan dari rahim ibunya, beliau tidak tahu apa-apa. Imam Ahmad juga tidak tahu apa-apa. Demikian pula Imam an-Nawawi dan para ulama yang lainnya. Al-Hafiz Ibnu Hajar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, siapapun nama ulama yang kita kenal, ketika mereka keluar dari rahim ibunya dalam kondisi sama sebagaimana kita.
Yang menjadi pertanyaan, ketika kita mulai start dari kondisi nol semuanya. Tapi ada di antara hamba Allah yang dia melaju pesat, sehingga memiliki ilmu yang banyak, dan ada di antara hamba Allah yang mengalami kemunduran, ada juga di antara hamba Allah yang jalan di tempat.
Jama’ah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, salah satu di antara pembedanya adalah kualitas ilmu yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka.
Karena itulah jama’ah yang dimuliakan Allah, setelah kita menyadari bahwa kita ini makhluk yang asal kondisinya bodoh, maka selanjutnya semangat keterbukaan yang ada pada diri kita untuk itu mau belajar, itulah salah satu di antara contoh bentuk tawadhu di hadapan ilmu yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambaNya.
Maka sekali lagi, kunci sukses untuk belajar, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama adalah berusaha untuk menjadi hamba yang tawadhu dihadapan ilmu agama, berusaha untuk menjadi hamba yang selalu merasa terbuka untuk belajar ilmu agama.
Seorang ulama di zaman Tabi’in, Said bin Jubair Rahimahullah mengatakan:
لا يزال الرجل عالماً ما تعلّم
“Seseorang akan senantiasa bisa disebut sebagai orang alim selama dia membuka dirinya untuk mau belajar.”
Belajar ilmu agama tidak ada batas usia, baik dari kecil sampai batas waktu kapan? Yaitu tidak ada batas usia. Siapapun yang merasa dirinya masih belum mengetahui banyak hal dari agamanya, maka dia masih punya peluang yang terbuka luas untuk menambah pengetahuan agama. Dan itulah sebagai bentuk tawadhu kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan di hadapan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada para hambaNya.
Khutbah Jumat Kedua: Tawadhu Di Hadapan Ilmu
Kaum muslimin, jamaah jumat yang dimulikan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Lalu apa bentuk tawadhu di hadapan ilmu yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambaNya?
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mendefinisikan lawan dari kata tawadhu, yaitu sikap sombong. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ
“Yang namanya sombong adalah ketika seseorang itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)
Maka berarti berlaku sebaliknya, orang yang tawadhu adalah manusia yang siap menerima kebenaran dan dia tidak meremehkan orang lain. Dia tidak merasa lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Tawadhu yang dilakukan oleh manusia, terkadang ada bentuknya tawadhu fisik. Contoh tawadhu fisik misalnya dia berpakaian sederhana, dia menggunakan sandal yang sederhana, fasilitas hidupnya sederhana. Tawadhu fisik bisa saja dimiliki oleh muslim dan non muslim, bisa saja dilakukan oleh Ahlus Sunnah dan orang-orang yang punya penyimpangan akidah. Bahkan sebagian kelompok Sufi lebih menampakan tawadhu fisik dibandingkan sebagian ulama dalam penampilan fisiknya. Mereka sengaja memilih pakaian yang tidak bagus, mereka sengaja memilih fasilitas hidup yang kurang, untuk menampakkan tawadhu. Tapi ini tawadhu fisik.
Ada tawadhu yang lebih tinggi dibandingkan itu, tawadhu yang diajarkan dalam syariat kita. Yaitu siap menerima kebenaran. Ada orang yang penampilan fisiknya mungkin tawadhu. Penampilan pakaiannya sederhana, fasilitas hidupnya sedikit, dia lebih memilih untuk hidup sederhana. Tapi kemudian di hadapan kebenaran kadang dia menolak, maka dia lebih mementingkan tawadhu fisik dibandingkan tawadhu batin. Padahal tawadhu yang kedua itulah yang lebih ditekankan dalam syariat kita. Yaitu bagaimana seseorang siap untuk menerima setiap kebenaran yang sampai kepadanya.
Sehingga ada sebagian di antara tokoh yang menyimpang aqidahnya dan dia terkenal sebagai orang yang tawadhu secara fisik, penampilannya tawadhu, tapi ketika datang kepadanya sebuah peringatan bahwa amalan yang kau lakukan tidak sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia tidak mau terima. Sehingga datang kebenaran kepadanya, dia tidak mau tunduk, meskipun penampilan fisiknya dia tawadhu.
Karena itulah jama’ah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seorang mukmin yang tawadhu, dia akan berusaha untuk mau menerima apapun kebenaran yang datang kepadanya dengan cara dia mau belajar. Dan yang kedua berusaha untuk mengamalkan ilmu yang telah dia pelajari, meskipun bisa jadi itu bertentangan dengan kebiasaannya.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Allah jadikan kita hambaNya yang tawadhu. Tawadhu di hadapan masyarakat yang lainnya, tawadhu di hadapan muslim yang lain, tawadhu di hadapan kebenaran. Karena ini salah satu di antara kunci agar kita bisa berhasil ketika kita ingin belajar ilmu agama.
Video Khutbah Jumat
Video: ANB Channel
Mari turut menyebarkan link download kajian “Tawadhu Di Hadapan Ilmu” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Komentar