Khutbah Jum’at: Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid

Khutbah Jum’at: Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid

Tulisan tentang “Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid” adalah transkrip dari khutbah jumat yang disampaikan Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat Tentang Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid

Khutbah Pertama

Hadirin jama’ah Jum’at yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Syukur alhamdulillāh, layak kita haturkan kehadirat Allāh atas kemudahan yang Allāh berikanlah kepada kita untuk menghadiri kegiatan Jum’atan ini. Dan kita berharap kepada Allāh semoga Allāh mencatat sebagai amal shalih yang diabadikan kelak di hari kiamat.

Terutama bagi jama’ah yang hadir sebelum khatib naik mimbar, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla menugaskan beberapa malaikat yang berjaga di pintu masjid untuk mencatat setiap jama’ah yang hadir sebelum khatib naik mimbar, begitu khatib sudah naik mimbar maka malaikat menutup catatan dan dia ikut mendengarkan ceramah.

Selanjutnya jama’ah yang dimuliakan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita menyadari dalam kehidupan ini ada banyak permasalahan yang terjadi di tengah umat dan permasalahan-permasalahan itu membutuhkan jawaban terkait hukumnya.

Ada yang memahami hukumnya, dan banyak yang tidak memahami hukumnya, meskipun kita saksikan di tengah masyarakat kadang ada satu masalah di mana satu masyarakat mereka sama sekali tidak mengetahui hukumnya.

Karena itu para ulama mengatakan: “Sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat) mereka harus mewujudkan seorang tokoh yang bisa memahami Al-Qur’ān dan Sunnah dan bisa menjelaskan kepada masyarakat mengenai hukum atas permasalah yang terjadi di antara mereka”.

Dalam sebuah buku yang berjudul الموسوعة الفقهية الكويتية (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah) atau yang diterjemahkan dengan Ensiklopedi Fiqih.

Dinyatakan:

وَالَّذِي نَدِينُ اللَّهَ عَلَيْهِ أَنَّهُ لاَ بُدَّ أَنْ يَكُونَ فِي الأُْمَّةِ عُلَمَاءُ مُتَخَصِّصُونَ عَلَى عِلْمٍ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ

“Yang kami yakini sebagai agama, bahwa di tengah umat ini harus ada beberapa ulama yang mereka memiliki keahlian terhadap Al-Qur’ān dan Sunnah Nabi ﷺ.

وَمَوَاطِنِ الإِْجْمَاعِ وَفَتَاوَى الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ.

Dan paham apa yang disepakati oleh para ulama, dan fatwa para sahabat serta tabi’in dan ulama-ulama yang datang setelahnya.”

Kenapa harus ada orang semacam ini?

Karena mereka dibutuhkan untuk menjawab setiap permasalahan yang terjadi di sekitar kita.

Allāh mengajarkan hal ini di dalam Al-Qur’ān melalui firmannya di surat At-Taubah ayat 122:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Hendaknya tidak semua (orang mukmin) seluruhnya berangkat berjihad, harus ada beberapa orang di setiap kelompok, di setiap kampung atau di satu pedukuhan. Ada beberapa orang yang tidak ikut berjihad dalam rangka untuk belajar ilmu agama, tujuannya agar memberikan peringatan kepada masyarakat setelah mereka pulang dari jihad, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran.” (QS. At-Taubah[9]: 122)

Hadirin yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dalam ayat ini Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengajarkan kepada kita jihad adalah sebuah amal yang besar, kita mengakui semuanya dan Rasūlullāh ﷺ :

ذروة سنام الإسلام الجهاد

“Puncak kegagahan Islam ada pada jihad.”

Meskipun demikian ada beberapa orang yang dikecualikan oleh Allāh, hendaknya orang ini tidak ikut jihad. Tujuannya untuk mendalami ilmu agama sehingga dia menjadi aset umat, terkait masalah menjelaskan bagaimana Al-Qur’ān dan Sunnah untuk hukum-hukum terkait perbuatan mereka.

Karena itu kita menyadari kebutuhan semacam ini dijaga oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, karena jika semua fokus dengan aktifitas dunia, jika semua manusia fokus melaksanakan jihad (andaikan jihad terjadi di tengah masyarakat zaman sekarang), jika semua fokus terhadap urusan politik, sementara tidak ada orang yang fokus untuk urusan agama. Maka akan banyak sekali permasalahan di tengah umat yang tidak ada jawabannya.

Apakah hukumnya halal atau hukumnya haram? Dibolehkan atau dilarang? Padahal umat sangat membutuhkan orang semacam ini.

Jama’ah yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita menyadari, bahwa ketika sesuatu menjadi fardhu kifayah, berarti dia menjadi tugas sosial, tugas sosial artinya masyarakat bersama-sama mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkannya. Barangkali dalam satu kampung ketika itu tidak memungkinkan maka harus diwujudkan dalam satu daerah yang lebih luas.

Adanya seorang hamba (seorang muslim) yang dia kita dukung bareng-bareng untuk menjadi seorang mujtahid, dia harus betul-betul bisa memahami tentang Islam secara utuh, sesuai dengan kemampuannya dalam rangka untuk berijtihad atas permasalahan yang terjadi di tengah umat.

Disebutkan dalam keterangan yang disampaikan oleh As-Suyuthi :

وفرض الكفاية هو أن يتعلم ما يبلغ رتبة الاجتهاد ومحل الفتوى والقضاء، ويخرج من عداد المقلدين، فعلى كافة الناس القيام بتعلمه

“Bagian dari fardhu kifayah adalah mengajarkan orang sampai pada derajat bisa menjadi seorang mujtahid dan bisa memberikan fatwa serta bisa memutuskan perkara. Sehingga mengajak masyarakat untuk tidak takliq pada kasus tertentu dan ini merupakan tanggung jawab bagi semua masyarakat untuk menyelenggarakan terwujudnya orang yang bisa sampai pada derajat mujtahid.”

Hadirin yang dimuliakan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Barangkali kita kesulitan untuk membayangkan hal ini. Apakah mungkin ada di masyarakat kita yang sampai derajat seperti itu?

Namun minimal kita memahami bahwa ini bagian dari tugas umat, setelah kita paham di sana ada ilmu yang sifatnya fadhu ‘ain (setiap muslim wajib tahu, jika tidak tahu dia berdosa). Di sana juga ada ilmu yang sifatnya fardhu kifayah (dalam satu kelompok muslim harus ada orang yang tahu, kalau tidak tahu semuanya berdosa).

Demikian pula ada tugas sosial yang harus diwujudkan oleh kaum muslimin, di sana harus ada orang yang menyediakan jawaban untuk setiap permasalahan melalui ijtihadnya, bisa menyediakan jawaban untuk permasalahan yang terjadi di tengah umat.

Dengan demikian permasalahan umat akan bisa dilayani, masyarakat bisa mendapatkan jawaban sehingga setiap aktifitas yang dia lakukan akan dijalankan dengan yakin apakah ini diposisi yang diperbolehkan atau kah dilarang oleh agama.

Demikian sebagai khutbah yang pertama, semoga memberikan manfaat.

Khutbah kedua: Ulama Mujtahid

Hadirin jama’ah Jum’at yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ada satu ilustrasi yang barangkali mudah untuk kita pahami dan ilustrasi itu terjadi secara real di masyarakat. Masyarakat kita mempunyai pemahaman bahwa aneka ilmu yang dibutuhkan oleh umat harus ada di kalangan umat untuk bisa memahaminya. Ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu komputer dan seterusnya.

Bahkan banyak di antara mereka mengatakan: “Wajib di tengah umat orang yang mempunyai kemampuan semacam ini”.

Sehingga di tengah umat harus ada seorang dokter, di tengah umat harus ada ahli dalam masalah bangunan, di tengah umat harus ada orang yang ahli di bidang A, bidang B, bidang C dan seterusnya yang itu merupakan ilmu dunia.

Kita menerima pernyataan semacam ini bahkan kita menerima pernyataan fardhu kifayah di tengah umat harus ada dokter, fardhu kifayah di tengah umat harus ada orang yang paham tentang ilmu kedokteran, ilmu teknik atau yang lainnya.

Kita menerima pernyataan itu. Maka sebagai konsekuensinya kita seharusnya menerima di tengah umat harus ada orang yang paham ilmu agama secara menyeluruh (dalam arti dia sampai pada tingkatan mujtahid) sehingga bisa menyediakan jawaban permasalahan yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena masalah ini cukup berkembang dan selalu berkembang dan Allāh telah menyediakan hukumnya. Tinggal selanjutnya, apakah orang bisa menggali dan memahaminya atau tidak. Kalau ini dilimpahkan kepada masing-masing individu, barangkali tidak mungkin untuk bisa diwujudkan.

Namun setidaknya dalam satu kelompok harus ada sejumlah orang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk bisa melayani permasalahan-permasalahan seperti ini.

Al-Ghazali menggambarkan bagaimana hubungan antara hukum yang diturunkan oleh Allāh dengan pelaksanaan yang ada di tengah umat, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mustasfa (kitab tentang ushul fiqih).

Beliau menggambarkan: “Pohon itu adalah sumber hukum, buahnya adalah hukumnya, orang yang memetik buah adalah seorang mujtahid yang dia bisa memahami bagaimana cara memetik buah yang benar, kemudian buah itu disuguhkan kepada masyarakat”.

Itu adalah penjelasan yang mereka sampaikan bagaimana hukum itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak semua orang mempunyai keahlian dalam memetik buah, maka tugas kita adalah mewujudkan siapa yang mampu untuk memetik buah itu.

Allāh telah sediakan pohonnya, Allāh sediakan buahnya, tinggal selanjutnya adalah kita harus menyediakan orang yang bisa memetik buah itu, agar bisa menyuguhkan kepada kita. Karena tidak semua orang bisa melakukannya.

Inilah yang perlu kita pahami, sebuah fardhu kifayah yang barangkali perlu untuk kita pikirkan bersama. Mewujudkan seorang hamba yang dia mempunyai keahlian dalam masalah ilmu agama sampai pada tingkatan menjadi seorang mujtahid, sebagaimana kita memahami, kita mewujudkan seorang dokter yang dia mempunyai keahlian sehingga bisa melayani dalam masalah kesehatan umat.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menganugerahkan kepada kita seorang ulama yang kibar yang paham tentang ilmu agama sehingga dengan itu kita bisa menjadikan beliau sebagai rujukan untuk menjawab setiap permasalahan yang terjadi di tengah umat.

Video Khutbah Jumat Tentang Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid

Sumber video khutbah jumat: ANB Channel

Mari turut menyebarkan “Khutbah Jum’at: Bersama Mewujudkan Ulama Mujtahid” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: