Materi 54 – Makna Tawadhu’

Materi 54 – Makna Tawadhu’

Tulisan tentang “Materi 54 – Makna Tawadhu’” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.

Sebelumnya: Materi 53 – Tawakal Terlarang – Ujub, Menyandarkan pada Diri Sendiri

Materi 54 – Makna Tawadhu’

Kita akan bahas salah satu amalan hati yang sangat agung, yaitu amalan hati التواضع (At-Tawadhu’).

Secara bahasa -sederhananya- adalah merendah, tidak merasa tinggi. Tawadhu’ adalah lawan daripada kesombongan.

Tawadhu’ secara bahasa diambil dari perkataan sebagian orang:

تواضعت الأرضُ، أي انخفضت عمّا يليها

“Bumi/ tanah itu tawadhu’, yaitu jika posisi dia di bawah dibandingkan dengan yang lainnya.”

Oleh karenanya tawadhu’ itu sinonim dengan التذلل (merendah/ tidak tinggi di hadapan yang lainnya).

Adapun secara istilah, para ulama menjelaskan di antaranya makna tawadhu’ adalah:

ترك التَّرؤس

“Meninggalkan sikap maunya paling di atas/ sebagai yang paling top/ sebagai kepala.”

Kemudian:

وكراهية التَّعظيم

“Tidak suka jika diagungkan.”

والزِّيادة في الإكرام

“Dia tidak suka juga dimuliakan berlebih-lebihan.”

وأن يتجنَّب الإنسان المباهاة بما فيه مِن الفضائل

“Dan seseorang berusaha menjauhkan dirinya dari membangga-banggakan keutamaan yang dimiliki.”

Itu namanya tawadhu’. Dia mungkin hebat dalam hal ini dan itu, tapi dia tidak mau membanggakan diri. Padahal dia hebat.

والمفاخرة بالجاه والمال

“Dan meninggalkan sikap bangga-banggaan dengan kedudukan dan harta.”

وأن يتحرَّز مِن الإعجاب والكِبْر

“Dan berusaha menghindarkan diri dari ‘ujub dan kesombongan.”

Ini di antara definisi tawadhu’ yang disebutkan oleh Al-Jahizh (Arab: الجاحظ) dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak (Arab: تهذيب الأخلاق).

Demikian juga sebagian ulama menjelaskan tawadhu’ secara istilah, yaitu:

رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقُّه فضله ومنزلته

“Seseorang ridha dengan kedudukan yang lebih rendah dari yang  sebenarnya dia berhak untuk mendapatkannya.”

Dia tahu bahwa kedudukannya lebih tinggi, tapi dia ridha meskipun rendah di bawah itu.

وهو وسطٌ بين الكِبْر والضِّعَة

“Dan tawadhu’ adalah sifat yang tengah antara kesombongan dan adh-dhi’ah.”

فالضِّعَة: وضع الإنسان نفسه مكانًا يزري به بتضييع حقِّه

Adh-Dhi’ah adalah seseorang meletakkan kondisi dirinya dimana dia terhinakan dengan dihilangkan hak-haknya.”

والكِبْر: رفع نفسه فوق قدره

“Adapun sombong adalah memposisikan dirinya di atas kadarnya yang seharusnya.”

Jadi, kalau kita perhatikan secara istilah, tawadhu’ adalah sikap tengah dibawa kesombongan dan datas Adh-Dhi’ah.

Kita tidak boleh sombong (meletakkan diri di atas kadar yang seharusnya), tidak boleh membangga-banggakan kemampuan kita, tapi kita tawadhu’, kita ridha disikapi dengan kedudukan kita yang seharusnya, tidak ada masalah.

Dan jangan sampai juga kita Dhi’ah (terlalu merendahkan diri) sampai kita menjadi bahan hinaan, ini tidak boleh. Seorang muslim tidak boleh menghinakan dirinya. Tapi dia tawadhu’ yang wajar, dia menunjukkan kemuliannya, tidak sombong tidak angkuh, itulah tawadhu’ secara istilah.

Ini adalah defenisi yang disebutkan oleh Raghib Al-Ashfahani dalam kitabnya الذَّريعة إلى مكارم الشَّريعة.

Sebagian ulama lagi menyebutkan tawadhu’ adalah:

إظهار التَّنزُّل عن المرتبة لمن يراد تعظيمه

“Seseorang merendahkan dirinya dari kedudukan yang seharusnya karena dia ingin mengagungkan seseorang.”

Dia ingin memuliakan seseorang yang sebenarnya dia lebih tinggi/ sejajar dari orang tersebut. Tapi karena dia ingin memuliakan seseorang, maka dia pun merendahkan dirinya dari martabat yang seharusnya. Ini adalah sifat tawadhu’. Padahal mungkin dia sama atau lebih dari orang tersebut.

وقيل: هو تعظيم مَن فوقه فضله

“Ada yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang yang lebih mulia daripada dia.”

Definisi ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Jadi, secara sederhana, tawadhu’ secara bahasa menunjukkan sifat merendah. Secara istilah yaitu jangan sombong, jangan angkuh, jangan menunjukkan kehebatan di hadapan orang lain, ridha kalau disikapi dengan martabat yang dibawah yang seharusnya, bahkan dia rela merendahkan dirinya untuk memuliakan orang lain, tidak merasa angkuh, tidak merasa tinggi daripada orang lain.

Ini tawadhu’ secara bahasa dan istilah.

▬▬•◇✿◇•▬▬

Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Materi 54 – Makna Tawadhu’” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Baarakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: