Perkara Mutasyabihat

Perkara Mutasyabihat

Tulisan tentang “Perkara Mutasyabihat” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafizhahumullahu Ta’ala.

Sebelumnya: Halal Dan Haram Sudah Jelas

Perkara Mutasyabihat

Jenis perkara di dalam Islam yang ketiga;

3. Perkara Mutasyabihat

Adapun bagian yang ketiga yaitu perkara mutasyabihat yaitu perkara yang samar, tidak jelas. Telah kita jelaskan tadi bahwasanya perkara yang tidak jelas ini maksudnya adalah yang tidak jelas antara halal atau haram. Apakah dia halal, apakah yang haram, masih belum jelas. Yang ini kebanyakan manusia tidak mengetahuinya kecuali sebagian kecil dari manusia, yaitu para ahli ilmu, para ulama, dan para fuqaha. Mereka mengerti hakikat dari perkara mutasyabihat ini. Adapun kebanyakan orang, mereka tidak mengetahuinya.

Kemudian bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi perkara yang mutasyabihat ini? Hal ini telah kita jelaskan bahwasanya kalau perkara yang halal, silahkan mengkonsumsinya tanpa ragu-ragu. Kemudian untuk perkara yang jelas keharamannya, maka silahkan jauhi sejauh dan sekuat mungkin. Adapun perkara mutasyabihat, bagaimana sikap kita?

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini telah menjelaskan bagaimana manhaj yang benar, bagaimana sikap yang benar yang harus seorang muslim ikuti tatkala menghadapi perkara yang mutasyabihat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقْد اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang samar tersebut, maka dia telah menjaga agamanya (membersihkan agamanya) dan harga dirinya.”

Oleh karena itu, seseorang yang menghadapi perkara-perkara mutasyabihat maka wajib baginya untuk menjauhi perkara tersebut. Jika kita menghadapi perkara yang masih samar, hukumnya halal atau haram kita tidak tahu, maka hendaknya kita berhenti dan diam (tawaqquf). Kita tidak nekat mengkonsumsinya. Baik masalah pakaian, maupun makanan dan minuman. Kalau masih syubhat maka kita tawaqquf. Jangan sampai kita nekat untuk mengkonsumsinya sampai jelas bagi kita hukumnya haram atau halal.

Menjaga Agama dan Harga Diri

Kalau setelah itu jelas bagi kita hukumnya halal, maka silahkan kita mengkonsumsinya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

فَقْد اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ

“maka dia telah menjaga agamanya (membersihkan agamanya)”

Dia telah menyelamatkan agamanya. Artinya antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang meninggalkan syubhat, maka dia tidak akan terjerumus dalam keharaman. Maka dia tidak akan berdosa dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghukumnya. Dia telah menyelamatkan agamanya.

وَعِرْضِهِ

“dan harga dirinya.”

Artinya, orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari perkara-perkara syubhat, maka harga diri mereka akan terjaga. Orang-orang tidak akan menjelek-jelekkan dia, karena dia tidak nekat untuk merumuskan dirinya dalam perkara-perkara syubhat.

Akibat Sikap Bermudah-Mudahan

Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara syubhat (samar/ tidak jelas), maka dia akan terjerumus dalam perkara yang haram,”

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwasanya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama yaitu dia terjerumus dalam perkara yang haram dan dia menyangka bahwasanya perkara yang haram itu halal. Padahal hakikatnya haram tapi dia tidak tahu. Dan ini banyak menimpa masyarakat. Banyak dari mereka yang terjerumus dalam perkara yang haram dan mereka menyangka perkara tersebut adalah perkara yang halal. Mereka mengkonsumsi perkara yang haram dan mereka tidak tahu bahwasanya itu perkara yang haram.

Mengapa bisa terjadi demikian? Karena kebanyakan masyarakat yang mereka itu sikapnya tahawun (bermudah-mudahan/ meremehkan) masalah ini. Menggampangkan perkara yang haram dan perkara yang halal. Akhirnya mereka mudah mengkonsumsi apa saja. Tidak peduli, bermudah-mudahan, menggampangkan. Dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam perkara yang haram. Padahal telah banyak dalil yang menunjukkan bahwasanya itu hukumnya haram. Namun mereka meyakini bahwasanya itu adalah halal, karena ketidaktahuan mereka. Karena sikap menggampangkan mereka.

Adapun makna yang kedua dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka ujung-ujungnya dia akan terjerumus kepada perkara yang haram. Barang siapa yang membiasakan dirinya mengkonsumsi segala perkara yang samar, dia tahu ini masih syubhat tapi dia cuek saja. Setiap menghadapi perkara yang syubhat, dia cuek. Dia mengkonsumsinya dan tidak peduli. Karena terbiasa dengan perkara yang syubhat, lama-kelamaan dia akan terbiasa juga dengan perkara yang haram. Dan akhirnya dia terjerumus dalam perkara yang haram.

Ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;

لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

“Allah melaknat orang yang mencuri, dia mencuri telur kemudian dipotong tangannya, dan dia mencuri tali kemudian dipotong tangannya.” (HR. Bukhari No. 6783 dan Muslim No. 1687)

Kita tahu bahwasanya orang yang mencuri sebutir telur, tidak akan dipotong tangannya karena kurang dari seperempat dinar. Demikian juga orang yang mencuri tali, tidak akan dipotong tangannya. Tapi apa makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Maksudnya adalah orang yang terbiasa mencuri telur, lama-kelamaan dia akan mencuri perkara yang lebih besar. Lama-kelamaan dia akan terjerumus ke dalam pencurian yang lebih besar dan akhirnya terkena had (hukuman), terpotong tangannya.

Demikianlah orang yang terjerumus dalam syubhat. Dia membiasakan dirinya cuek dengan perkara syubhat, terus menjerumuskan diri dan akhirnya terbiasa dengan perkara syubhat. Dan lama-kelamaan terjerumus ke dalam perkara yang haram.

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Bani Israil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan bagaimana sikap mereka;

وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“dan mereka membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 112)

Artinya, kemaksiatan yang sering dan sudah terbiasa mereka lakukan, akhirnya menjerumuskan mereka terhadap maksiat yang sangat besar. Yaitu membunuh Nabi mereka sendiri. Seperti tadi, karena orang terbiasa dengan syubhat, akhirnya terjerumus dalam perkara yang haram. Sebagaimana Bani Israil terbiasa dengan maksiat, akhirnya terjerumus dalam pembunuhan para nabi.

Sebagaimana kalau kita perhatikan yang para gembong penjahat, bagaimana awal mereka sebelum menjadi gembong-gembong penjahat/ ahli kriminal, mereka mungkin orang biasa. Mungkin akhlaknya bagus. Tetapi di awal-awal perkara, mereka melakukan kriminal yang ringan. Lama-lama terbiasa dengan kriminal yang ringan, akhirnya semakin parah, semakin parah, dan akhirnya menjadi gembong kriminal. Kebanyakan orang seperti itu.

Oleh karena itu, ini memberikan faedah kepada kita agar menutup seluruh pintu-pintu syubhat. Jangan kita tasahul dalam semua perkara. Karena kalau kita tasahul (bermudah-mudahan/ menggampangkan) dalam masalah-masalah yang masih samar, maka kita akan terjerumus dalam perkara yang haram. Dan kalau kita juga bermudah-mudahan dalam perkara haram yang ringan, kita juga akan terjerumus pada perkara haram yang lebih parah lagi.

Daerah Terlarang

Kemudian di antara kebaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberi nasihat kepada umatnya, untuk memudahkan kita memahami, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan permisalan yang sangat indah. Kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;

كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

“Sebagaimana seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar daerah terlarang yang hampir saja dia menggembalakan hewannya ke dalam daerah terlarang tersebut.”

Maksudnya daerah terlarang yaitu yang para raja miliki. Seperti tanah-tanah, sawah-sawah, atau perkebunan yang dilarang oleh para raja untuk dimasuki. Sebagian raja seperti itu. Mereka memiliki tanan yang mereka larang seseorang pun untuk masuk ke dalam tanah tersebut.

Demikianlah seorang penggembala kambing atau hewan gembala lainnya, misalnya dia bawa hewan gembalaannya dan dia meletakkan hewan gembalaannya di sekitar daerah terlarang. Lama-lama dia akan masuk ke dalam daerah terlarang tersebut dan hewan gembalaannya pun akan masuk ke dalam daerah terlarang tersebut. Dan akhirnya dia akan terkena uqubah (hukuman) dari Raja.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan;

أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Ketahuilah bahwasanya bagi setiap raja memiliki daerah terlarang. Dan ketahuilah bahwasanya daerah terlarang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki adalah hal-hal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.”

Oleh karena itu, barang siapa yang menjauhkan dirinya dari perkara-perkara yang haram, dia tidak akan terjerumus ke dalam daerah terlarang. Adapun barang siapa yang berputar di sekitar daerah terlarang, perkara-perkara yang syubhat dia lakukan, lama-lama dia akan terjerumus dengan daerah terlarang atau perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.

Selanjutnya: Pondasi Baiknya Amal

MP3 Kajian Perkara Mutasyabihat

 

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Perkara Mutasyabihat” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: