Khutbah Jumat: Antara Agama dan Budaya

Khutbah Jumat: Antara Agama dan Budaya

Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “Antara Agama dan Budaya” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat: Antara Agama dan Budaya

Khutbah Jumat Pertama

Jamaah Jumat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Syukur alhamdulillah layak kita haturkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kemudahan yang Dia berikan sehingga kita bisa melaksanakan salah satu di antara kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan bagi setiap muslim laki-laki yang telah baligh, yaitu shalat Jum’at berjamaah.

Dan kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga ibadah kita diterima sebagai amal shalih.

Manfaat Shalat Jumat

Salah satu di antara manfaat besar dari diwajibkannya kita untuk hadir dalam Jum’atan adalah agar kita minimal dalam setiap pekan bisa mendengarkan tausiyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena peringatan bagi orang yang beriman itu akan bermanfaat baginya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Az-Zariyat[51]: 55)

Budaya Menjadi Alasan

Jamaah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Di antara fenomena yang Allah Subhanahu wa Ta’ala singgung dalam Al-Qur’an adalah ketegangan yang terjadi antara para Nabi dengan orang-orang yang tidak mau beriman kepada mereka karena mereka beralasan dengan budaya.

Ada sebagian dari manusia yang saking kuatnya memegang budaya, sampai ia jadikan budaya alat untuk menolak kebenaran yang para Nabi bawa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 23)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan bahwa di antara sengketa yang terjadi antara musuh para Nabi utusan-Nya sejak masa silam sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka menjadikan budaya sebagai alasan untuk menolak kebenaran.

Dalam kesempatan kali ini kita akan menyampaikan sebuah khutbah yang merujuk kepada tema tentang masalah budaya. Agar jangan sampai budaya itu dijadikan sebagaimana layaknya agama.

Agama Lebih Tinggi Daripada Budaya

Jamaah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Kita mengakui bahwa budaya itu adalah buatan manusia, sedangkan agama itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Sang Pencipta manusia.

Dan dalam aturan perundang-undangan, apabila ada undang-undang yang lebih tinggi bertentangan dengan undang-undang yang lebih rendah statusnya, maka tentu saja undang-undang yang lebih tinggi tersebut kita unggulkandari pada undang-undang yang lebih rendah.

Maka apabila ada aturan yang lebih tinggi derajatnya lalu bertentangan dengan aturan yang lebih rendah, maka aturan yang lebih tinggi kita kuatkan dari pada aturan yang lebih rendah.

Secara sederhana, jika kemudian undang-undang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala buat, yang mana itu merupakan agama, bertentangan dengan budaya yang manusia buat maka logika sederhana manusia tentu saja undang-undang yang manusia buat harus kita kalahkan dari pada aturan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.

Namun ada hal penting yang harus kita catat bahwa agama Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak 100% menolak budaya. Terbukti ada banyak tradisi yang berkembang di daerah Arab dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tradisi itu dipertahankan. Bahkan Islam mendukungnya.

Pada waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi Nabi, beliau teringat peristiwa Hilful Fudhul. Adanya perjanjian damai yang dilakukan oleh bangsa Arab untuk kemudian melindungi satu sama lain dalam rangka menghindari setiap potensi kezaliman antar suku.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan,

لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ

Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)[1]

Ini merupakan salah satu di antara bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghargai kesepakatan dalam kebaikan yang mereka buat.

3 Jenis Budaya

Para ulama Islam menjelaskan bahwa budaya yang terjadi di tengah umat manusia itu terbagi menjadi tiga;

Pertama: Budaya yang Harus Dilestarikan

Budaya yang Islam perintahkan untuk kita lestarikan, lanjutkan, bahkan Islam menghukumi sebagian sebagai sebuah kewajiban. Di antara budaya tersebut adalah memuliakan tamu, tidak mengganggu sesama, memuliakan tetangga, dan seterusnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam mendukung budaya yang baik dan bahkan Islam memerintahkannya.

Kedua: Budaya yang Diperbolehkan

Budaya yang Islam tidak memberikan perintah dan juga tidak memberikan larangan. Sehingga Islam tidak memberikan keterangan apapun tentang budaya itu.

Maka untuk urusan semacam ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan hal itu kepada apa yang menjadi tradisi masing-masing masyarakat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah ke kota Madinah, beliau menjumpai masyarakat Madinah dalam posisi mereka sebagai petani yang suka mengawinkan pohon kurma. Mereka naik ke pohon kurma jantan untuk mengambil benang sari dan kemudian meletakkan benang sari tersebut di putik pohon kurma betina.

Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat peristiwa ini, beliau merasa para sahabat ini kerepotan sekali ketika mau mengawinkan pohon kurma. Maka beliau mengatakan, “Biarkan saja. Jika Allah takdirkan berbuah, pasti akan berbuah.”

Namun ternyata hasilnya berbeda. Pohon kurmanya tidak berbuah. Buahnya gagal, sehingga gagal panen pada waktu itu.

Lalu mereka lapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan kejadian ini. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

Sehingga budaya pertanian, budaya di tempat yang lain, di mana Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memberikan penjelasan baik berupa perintah maupun larangan, Islam mengizinkan. Karena hukum asal dalam urusan dunia itu adalah boleh.

Kita memiliki banyak sekali budaya dalam urusan pakaian maupun senjata. Orang Jawa lebih suka dengan senjata keris. Mungkin di daerah yang lain lebih suka dengan senjata panah, tombak, pedang, dan senjata lainnya. Dan itu bagian dari budaya. Masing-masing memiliki kondisi yang berbeda.

Pakaian juga demikian. Ada yang lebih suka dengan pakaian tipe A, B, maupun C dan itu berbeda-beda. Islam mengizinkan. Yang penting tidak ada unsur pelanggaran dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kalau di sana ada pakaian yang modelnya melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya tidak menutup aurat atau pakaian tersebut melambangkan sisi kekufuran, maka jelas dalam Islam hal semacam ini tidak diperbolehkan.

Ketiga: Budaya yang Tidak Diperbolehkan

Budaya yang ketiga adalah budaya yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tentu saja tidak boleh kita lestarikan. Dengan alasan yang tadi telah kita sampaikan bahwa budaya adalah buatan manusia. Sedangkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu turun dari Rabbul Izzah Sang Pencipta manusia. Maka hukum yang lebih tinggi derajatnya harus lebih kita kuatkan dari pada hukum yang lebih rendah derajatnya.

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang dengan alasan budaya lantas dia menolak kebenaran yang datangnya dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menyaksikan beberapa transaksi riba yang terjadi di tengah masyarakat jahiliyyah, beliau menolaknya. Dan bahkan beliau menyatakan bahwasanya seluruh budaya itu tidak lagi berlaku.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan,

أَلاَ كُلًّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوْعٌ

“Ketahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur (dibatalkan, tidak boleh lagi dilakukan).” (HR Muslim)[2]

Dan tidak ada satupun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang protes dengan dalih hal itu adalah budaya yang harus mereka pertahankan. Karena budaya semacam ini bertolak belakang dengan aturan yang sang Nabi bawa.

Demikian sebagai khutbah yang pertama, semoga bermanfaat.

Khutbah Jumat Kedua

Kaum muslimin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Bagian dari prinsip yang perlu kita jaga adalah bahwa kita tidak boleh mempertahankan sebuah tindakan yang bertolak belakang dengan prinsip kemanusiaan maupun ketuhanan dengan alasan kebiasaan.

Membiasakan Kebenaran

Sikap yang tepat adalah kita membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan. Karena tidak semua kebiasaan manusia itu sejalan dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena itulah apabila ada kebiasaan dan budaya yang bertentangan dengan aturan syariat, maka sebagai orang beriman yang sadar bahwa hidup tidak sekali, akan ada pertanggungjawaban di akhirat, sudah selayaknya untuk kita tinggalkan kebiasaan tersebut.

Dan marilah kita beralih untuk membiasakan diri mengikuti kebenaran. Karena itulah prinsip yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan dalam Al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raf[7]: 3)

Muslim yang Ideal

Jamaah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika tiba di Madinah, masyarakatnya memiliki dua perayaan. Dua hari besar yang mereka jadikan sebagai hari raya sebelum datangnya Islam.

Yang pertama adalah hari raya Nairuz dan yang kedua adalah hari raya Mihrajan. Kedua hari raya ini adalah hasil impor dari Persia yang dulunya beragama Majusi. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan kepada mereka,

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178)[3]

Sejak saat itu, masyarakan Madinah tidak lagi merayakan Nairuz dan Mihrajan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Ini salah satu di antara bukti bahwa muslim yang ideal yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Apabila dia memiliki sebuah kebiasaan atau tradisi yang mana tidak sejalan dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka mereka siap untuk meninggalkan budaya dan tradisi itu. Sebab kita tidak boleh mempertahankan kebatilan dengan alasan kebiasaan.

Yang lebih tepat adalah bagaimana kita berusaha untuk membiasakan diri agar selalu berada di atas kebenaran.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita hamba-Nya yang selalu siap untuk menampung dan menerima kebenaran serta berusaha untuk menyesuaikan diri kita dengan kebenaran dari bimbingan Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Video Khutbah Jumat: Antara Agama dan Budaya

Video: ANB Channel

Mari turut menyebarkan link download kajian “Antara Agama dan Budaya” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Sumber:
[1] https://muslim.or.id/13509-peristiwa-hilful-fudhul.html
[2] https://almanhaj.or.id/30111-mewaspadai-budaya-budaya-jahiliyah.html
[3] https://muslim.or.id/19858-hanya-ada-dua-hari-raya-dalam-islam.html

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: