Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “Jadi Muslim Di Pinggiran” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.
Navigasi Catatan:
Khutbah Jumat Pertama: Jadi Muslim Di Pinggiran
Hadirin jamaah jumat yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Syukur Alhamdulillah, kita layak haturkan kehadirat Allah, atas kemudahan yang Allah berikan kepada kita untuk bisa melakukan aneka kegiatan ibadah kepadaNya. Bagi Bapak dan saudara-saudara sekalian yang telah menyelesaikan puasa Syawal, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima puasa kita. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan dalam hadits riwayat Muslim:
مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كانَ كصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana puasa setahun.”
Jamaah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terdapat sebuah fenomena yang menjadi latar belakang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmanNya. Fenomena apakah itu? Fenomena yang terjadi adalah keberadaan sebagian manusia yang mereka masuk Islam tapi di pinggiran, menjadi muslim pinggiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Ada sebagian di antara manusia yang mereka beribadah kepada Allah di pinggiran, ketika dia mendapatkan rezeki yang lancar, mendapatkan hidup yang baik, dia merasa tenang dengan Islam yang dia ikuti, dan ketika dia mendapatkan ujian dari Allah, dia berpaling (alias dia murtad) dan meninggalkan agamanya. Manusia seperti ini adalah orang yang rugi dunia akhiratnya, dan itu merupakan kerugian yang paling nyata.” (QS. Al-Hajj[22]: 11)
Berkaitan dengan ayat ini, disebutkan dalam keterangan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kata Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengatakan bahwa dulu ada orang yang mereka datang ke Kota Madinah, lalu menyatakan masuk Islam, membaiat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian selesai dia masuk Islam, dia pulang. Ketika dia pulang, maka nanti yang menjadi acuan, apakah agama yang dia ikuti ini benar atau tidak, adalah melihat bagaimana kondisi duniawinya.
Kalau kemudian ketika dia pulang, lalu istrinya melahirkan anak laki-laki, kudanya melahirkan keturunan, kambing dan untanya semakin bertambah, maka dia berkomentar: “Ini adalah agama yang baik.” Tapi kalau istrinya tidak melahirkan anak dan kudanya tidak melahirkan keturunan, maka dia berkomentar: “Ini adalah agama yang bohong.”
Allah menyebut orang seperti ini sebagai manusia yang masuk Islam di pinggiran. Kenapa disebut di pinggiran? Karena dia tidak serius menjadi seorang muslim, tidak serius ketika beragama. Dan orang ketika tidak serius ketika beragama, gampang keluar dari agamanya, sehingga digambarkan sebagaimana layaknya dia berada di bagian tepi. Maka keluar masuk begitu mudahnya hanya disebabkan karena standar ukuran dunia.
Di antara fenomena yang bisa kita lihat di zaman sekarang, keberadaan orang yang dia murtad, meninggalkan Islam karena dia tidak mendapat keuntungan materi dari agama Islam. Dia mungkin dipengaruhi oleh agama yang lain, oleh faktor ekonomi. Kemudian dia pindah dari agama, meninggalkan agama Islam, dan menjadi manusia yang murtad. Orang seperti ini adalah contoh dimana dia adalah manusia yang menjadi muslim tapi berada di pinggiran.
Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa saksikan ada banyak orang yang dia tidak serius ketika menjadi seorang muslim. Sehingga ketika dia menjadi seorang muslim, tidak perhatian apa kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang muslim, shalat ora ngerti (tidak tahu), bagaimana cara ibadah yang benar dia tidak tahu, belajar dia tidak tahu, dalam pikirannya hidup itu yang penting dunia. Dalam pikirannya, hidup itu intinya adalah bagaimana bisa makan, bagaimana bisa tidur, bagaimana bisa ini dan itu. Padahal kalau hanya sebatas makan dan minum, maka tidak ada bedanya antara manusia dengan binatang. Karena mereka sama-sama makan dan minum.
Sebagai hamba Allah yang beriman, kita tahu hidup tidak sekali. Akan ada kehidupan yang kedua yang isinya hisab, tidak ada amal. Kesempatan kita untuk mendekat kepada Allah dalam bentuk amal hanya ketika di dunia.
Maka seorang muslim menyadari “Saya beragama karena menjalankan perintah dari Dzat yang memiliki agama dan Dzat yang memiliki agama itu memiliki syariat.” Maka kita harus menjadi muslim yang sadar akhirat, tidak boleh hanya di pinggiran. Karena di pinggiran, berarti orang ini tidak serius untuk menjadi seorang muslim.
Ada juga sebagian orang yang dia ketika berhijrah, meninggalkan sesuatu yang diharamkan dalam Islam, lalu ketika dia mengalami ujian yang berat, dia pun kemudian meninggalkan prinsip kebenaran, kembali lagi kepada kebiasaan lamanya. Sehingga ketika dia hijrah, lalu meninggalkan pekerjaan yang haram, dia balik lagi untuk melakukan pekerjaan yang haram, karena dia tidak kuat dengan ujian yang diberikan oleh Allah berupa ujian ekonomi.
Jamaah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah katakan orang semacam ini:
…فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ…
“Ketika rezekinya lancar, dia menganggap bahwasannya hijrah itu menguntungkan. Ketika dia mendapatkan ujian, dia menganggap bahwa hijrah itu merugikan.” (QS. Al-Hajj[22]: 11)
Padahal tidak ada syariat Allah yang merugikan bagi hambaNya. Maka jama’ah yang dimuliakan Allah Ta’ala, standar kebenaran, baik buruknya perbuatan hamba tidak bisa diukur dari kondisi dunia. Sehingga ketika seseorang memegang sebuah kebenaran, tapi ternyata kehidupan dunianya (ekonominya) tidak semakin baik dan seterusnya, itu tidaklah menunjukkan bahwa apa yang dia pegangi adalah sesuatu yang buruk. Sebab standar kebenaran kembali kepada bagaimana bentuk ajaran dan bukan kondisi dunia yang dialami oleh sang hamba.
Demikian sebagai khotbah yang pertama, semoga bermanfaat.
Khutbah Jumat Kedua: Jadi Muslim Di Pinggiran
Allah memberikan dunia kepada makhluk yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun, Allah tidak akan memberikan kesempurnaan agama kecuali kepada hambaNya yang Dia cintai. Dalam hadits riwayat Ahmad, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ
“Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada hambaNya yang Dia cintai dan hamba yang tidak Dia cintai.”
Makanya baik muslim maupun non-muslim, semuanya dikasih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلاَ يُعْطِي الإيْمَانَ إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ
“Dan Allah tidak akan memberikan taufik agama (sehingga dia dipahamkan oleh Allah Ta’ala tentang agama) kecuali kepada hambaNya yang Dia cintai.” (HR. Ahmad)
Maka bagian dari bukti kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah dia diberi taufik oleh Allah untuk mau mengkaji agamanya. Dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki jadi orang yang baik, dia akan dipahamkan dalam masalah agama.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berangkat dari ketika dia punya keinginan dan rasa cinta untuk belajar. Itulah kata kuncinya. Kalau sudah tidak ada keinginan untuk belajar, tidak ada keinginan untuk mencintai ilmu agama, maka dia berada di bagian paling tepi dari agama ini. Dan itu bisa berbahaya. Karena salah satu di antara sasaran setan adalah orang yang tidak sadar dengan agamanya.
Hadirin yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Sebagai gambaran pada waktu orang itu tidak menyadari akan pentingnya belajar agama, dan dia tidak paham dengan agamanya, gampang bagi dia untuk berbuat maksiat, berbuat dosa, sementara dia tidak sadar. Hal ini karena dia tidak paham. Dan sebaliknya, ketika orang memiliki pemahaman agama yang baik, dia seperti berada di tengah. Sehingga tidak mudah bagi setan untuk menggodanya.
Maka di antara perjuangan yang perlu kita lakukan adalah menjadi hamba Allah yang mencintai ilmu agama.
Ada sebuah pesan yang disampaikan oleh para ulama:
كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ.
“Jadilah orang yang alim. Kalau tidak bisa menjadi orang yang alim, jadilah pembelajar (orang yang mau belajar). Kalau tidak bisa jadi pembelajar, jadilah orang yang mau mendengarkan. Kalau tidak bisa mendengarkan, jadilah orang yang mencintai ilmu agama. Dan jangan menjadi orang yang kelima, maka kau akan menjadi orang yang menyimpang.”
Ini sebuah pesan yang sangat menarik yang perlu kita renungkan agar kita bisa terjaga sebagai muslim yang baik.
Video Khutbah Jumat
Download mp3 khutbahnya di sini:
Video: ANB Channel
Mari turut menyebarkan link download kajian “Jadi Muslim Di Pinggiran” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Komentar