Video: https://www.youtube.com/watch?v=mif0Gic91Iw&feature=youtu.be&t=101
Tanggal Kajian: Kamis, 30 Muharram 1445 H / 17 Agustus 2023 M
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, apabila seseorang meminjam dalam jumlah terpisah, misalnya beberapa pinjaman, maka dia boleh mengembalikannya secara keseluruhan, asalkan tidak dipersyaratkan demikian.
Contohnya, seseorang meminjam sejumlah harta secara terpisah, dia bisa mengambil pinjaman tersebut setiap bulan sebesar 100 riyal misalnya. Setelah 10 bulan, total pinjamannya menjadi 1.000 riyal, dan dia bisa mengembalikan keseluruhan pinjaman tersebut dalam satu kali pembayaran. Ini diperbolehkan jika tidak ada persyaratan dari pemberi pinjaman.
Namun, apabila peminjam menerima pinjaman secara bertahap, misalnya dalam beberapa kali pembayaran, dan pemberi pinjaman mensyaratkan agar pengembalian dilakukan sekaligus, maka ini tidak diperbolehkan. Misalnya, seseorang meminjam 1 gram emas setiap kali hingga mencapai 100 gram, kemudian dia mengembalikan semuanya sekaligus. Ini dibolehkan jika tidak ada persyaratan yang mengikat. Mayoritas ulama membolehkan hal ini karena dianggap sah sebagai pengembalian pinjaman.
Akan tetapi, jika ada syarat bahwa pemberi pinjaman harus mengembalikan dalam bentuk tertentu, misalnya dengan mengumpulkan 1 gram per hari sampai mencapai 100 gram, maka pemberi pinjaman memperoleh manfaat. Sehingga banyak yang bisa dilakukan dengan uang yang terkumpul.
Atas dasar ini, sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa arisan hukumnya haram. Misalnya, ketika peserta arisan mendapatkan saat pengocokan, di mana dia mendapatkan uang terkumpul dalam jumlah besar. Ini dianggap sebagai manfaat dalam pinjaman, dan manfaat seperti ini dalam syariat dihukumi sebagai riba.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa setiap pinjaman yang memberikan manfaat kepada pemberi pinjaman termasuk riba. Beliau bersabda,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang memberikan manfaat bagi pemberi pinjaman, maka itu adalah riba.”
Contoh lain, jika seseorang meminjamkan emas dalam bentuk cicilan, misalnya 1 gram per hari, dan disyaratkan untuk melunasinya sekaligus dalam bentuk batangan 25 gram pada akhir masa pinjaman, maka ini juga dianggap sebagai manfaat bagi pemberi pinjaman. Setiap manfaat yang diperoleh dari pinjaman, sebagaimana disebutkan dalam hadits, dihukumi sebagai riba.
Pensyarah mengatakan “لِمَا رُوِيَ” diungkapkan dengan shighat yang menunjukkan kelemahan (dhaif). Memang, para muhaqqiqin (peneliti hadits) mengatakan bahwa perkataan “Setiap pinjaman yang memberikan manfaat bagi pemberi pinjaman, maka itu adalah riba” tidak menemukan hadits yang shahih sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun perkataan para sahabat mengenai hal ini cukup banyak yang menguatkan makna tersebut.
Al-Mawardi dalam Al-Hawi al-Kabir menjelaskan bahwa ini adalah kaidah fiqhiyyah, bukan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi ini tetap boleh dijadikan sebagai dalil. Karena kaidah diambil dari banyak dalil, sehingga terbentuk suatu prinsip.
Dalam fiqih, ada prinsip serupa yang dikenal sebagai kaidah. Salah satu contohnya adalah kaidah “segala sesuatu tergantung niatnya.” Di antara hadits yang digunakan sebagai dasar adalah hadits Innamal a’malu binniyat. Kaidah lebih luas dari hadits. Misalnya, dalam fiqih, wudhu tidak sah tanpa niat. Jika hanya sekadar mencuci muka atau tangan, tanpa niat wudhu, maka itu hanya perbuatan biasa, bukan ibadah. Begitu juga mandi junub tidak sah tanpa niat, sama seperti mandi biasa karena merasa gerah. Hal ini berlaku dalam semua ibadah, di mana niat menjadi syarat utama sahnya ibadah tersebut. Maka ditarikbenang merahnya bahwa segala sesuatu (baik perbuatannya qalbiyah atau dengan anggota tubuh yang lain) harus dengan niat.
Sama juga dengan kaidah “Setiap pinjaman yang memberikan manfaat, maka itu adalah riba” dalilnya yang pertama jelas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah mengharamkan riba (pertambahan pinjam meminjam). Kemudian Nabi mengatakan,
إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
“Bila seseorang kalian memberikan pinjaman, lalu penerima pinjaman memberikan hadiah atau jasa tumpangan tunggangan, maka jangan terima hadiahnya jangan terima jasa tunggangannya, kecuali jika hal itu telah terjadi antara keduanya sebelum itu.” (HR. Abu Dawud)
Jika pemberian hadiah atau tumpangan tunggangan sudah terjadi antara keduanya sebelum itu, maka sudah hilang makna manfaat karena pinjaman. Tapi bila sebelumnya tidak ada transaksi saling memberi hadiah atau memberikan jasa tunggangan, kemudian dengan adanya pinjaman hal tersebut muncul, ini berarti manfaat dari pinjaman. Dari hadits ini diambil kaidah tersebut.
Demikian dalil yang mengatakan haram memberikan pinjaman yang dipecah-pecah kemudian disyaratkan membayarnya harus tunai pada waktu tertentu.
Adapun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hal tersebut bukan manfaat yang diharamkan. Hal ini sama seperti ketika seseorang menabung di bank dengan tujuan menyimpan dana agar tidak terpakai, tetapi sekarang dengan adanya mobile banking dan kartu debit, penggunaan uang menjadi lebih mudah. Dalam konteks ini, sebagian ulama mengatakan bahwa ada manfaat yang didapatkan oleh peminjam meski tidak ada tambahan langsung.
Beberapa ahli manajemen keuangan pribadi sampai menyarankan bahwa jika ingin menghemat uang, jangan menggunakan mobile banking, kartu kredit ataupun debit. Sebaiknya, pengambilan uang dilakukan ke teller bank dengan perencanaan yang matang, misalnya hanya sebulan sekali untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan begitu, uang bisa lebih hemat.
Si pemberi pinjaman dianggap mendapatkan manfaat dengan menabung, walaupun tidak ada tambahan, seperti dalam rekening wadiah yang tidak memberikan bunga. Namun, manfaat yang diperoleh berupa dana terkumpul bisa terjatuh pada keharaman riba berdasarkan pendapat Imam Ibnu Qudamah. Akan tetapi, banyak ulama yang menguatkan pendapat bahwa hal tersebut tidak termasuk riba. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Abdullah Muhammad Al-‘Umrani, seorang dosen di Fakultas Fiqh Jamiatul Imam, dalam tesisnya “Manfaat dalam Akad Qardh”. Ia menyatakan bahwa jika manfaat tersebut datang sebagai bagian yang tidak terpisah dari akad, maka hal itu tidak haram dan bukan riba, melainkan halal.
Contohnya, ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain yang mempunyai kemampuan membayar, otomatis dananya tersimpan, maka manfaat yang diterima tidak dianggap riba. Sama halnya seperti ketika menabung di bank, atau memberikan pinjaman kepada kerabat yang memiliki usaha dan mampu mengelola pinjaman dengan baik. Manfaat yang diterima dari hal tersebut tidak menjadi masalah selama tidak ada unsur yang melanggar prinsip riba.
Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Zubair menerima banyak titipan dari orang-orang Quraisy yang berdagang ke Syam dan Yaman. Mereka menitipkan uang emas kepada Zubair karena khawatir jika disimpan di rumah, uang tersebut bisa hilang atau dirampok. Namun, Zubair membuat akad yang berbeda. Dia tidak hanya menerima titipan, tetapi juga berkata, “Kenapa akadnya tidak dirubah menjadi qardh? Sehingga jika terjadi kehilangan, saya bertanggung jawab menggantinya, dan dana ini bisa saya putar.”
Para sahabat menerima akad qardh ini, sehingga Zubair mengelola banyak titipan. Namun, ketika Zubair wafat, hutangnya banyak. Sebelum wafat, Zubair berpesan kepada putranya, “Hutangku banyak, jika engkau merasa kesulitan untuk melunasi hutangku, maka berdoalah kepada Allah: ‘Wahai Rabbnya Zubair, bayarkan hutang Zubair.'”
Putranya, Abdullah, mengikuti nasihat tersebut. Ketika merasa sulit melunasi hutang, ia membaca doa yang diajarkan ayahnya. Dengan izin Allah, hutangnya pun dimudahkan. Salah satu kebun Zubair dijual oleh Abdullah seharga satu juta tujuh ratus ribu keping dinar.
Kesimpulannya, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal tersebut diperbolehkan. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah hal yang biasa, terutama karena ruangnya adalah ijtihad.
Menentukan Tempo Pembayaran
Apabila ditentukan tempo, maka tempo itu tidak berlaku. Jika ada kesepakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai pinjaman yang dikembalikan secara tempo, misalnya tidak dikembalikan pinjaman itu setelah satu tahun, maka tempo ini tidak berlaku. Peminjam wajib menunaikan hutangnya kapan pun diminta oleh pemberi pinjaman, bahkan jika baru satu hari sejak akad pinjaman. Pengembalian pinjaman menjadi lazim secara tunai, dan pemberian tempo adalah bentuk kebaikan dari pemberi pinjaman, tetapi tidak dilazimkan untuk menunaikannya sebagaimana akad ariyah dan akad-akad hutang lainnya yang tunai.
Misalnya, si peminjam berkata, “Saya akan bayar bulan depan karena sekarang anak saya sakit, Insya Allah gaji bulan depan saya gunakan untuk membayar 10 juta.” Namun, jika pemberi pinjaman membutuhkan dana tersebut setelah dua hari, mungkin karena hal tak terduga, maka pemberi pinjaman tetap berhak meminta pengembalian segera, meskipun sebelumnya telah disepakati tempo.
Jika diawal, pemberi pinjaman tidak memiliki kebutuhan, dan tiba-tiba muncul kebutuhan mendesak seperti kasus yang dijelaskan tadi, pemberi pinjaman tentu lebih berhak atas 10 juta tersebut daripada orang lain. Karena itulah, meskipun awalnya diberikan izin untuk menggunakan dana tersebut dalam tempo tertentu, ketika ada kebutuhan mendesak dari pemberi pinjaman, sangat tidak mungkin dia akan mengizinkan menunda pembayarannya. Maka, pendapat ini kuat dari sisi tersebut
Dari sisi lain, hutang menjadi tunai dalam tanggungannya, hal ini karena akadnya tabaaru yang tidak ada imbalan. Hal ini berbeda dengan akad jual beli tidak tunai, harga biasanya lebih tinggi karena ada imbalan atas ketidakpastian waktu. Karena imbalan inilah, jika memang tempo maka harus sesuai tempo yang ditentukan. Karena kalau tidak tempo harganya lebih murah.
Oleh karena itu, seseorang yang mampu membayar hutangnya namun menunda-nunda pembayarannya, itu termasuk bentuk kedzaliman. Misalnya, seseorang berjanji akan membayar dalam satu bulan, tetapi ternyata baru dua jam setelah pinjaman, si peminjam menerima transfer dana ke rekeningnya. Maka, dia wajib segera membayar hutangnya dan menginformasikan kepada pemberi pinjaman, “Alhamdulillah, awalnya saya pikir bisa membayar bulan depan, tetapi Allah memberikan rezeki melalui transfer dari kakak sebagai hadiah, jadi saya bisa membayar sekarang.”
Sebagian ahli ilmu berpandangan bahwa jika sudah ada kesepakatan tempo dalam akad pinjaman, maka wajib ditunaikan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah [5]: 1).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ
“Sesungguhnya kaum muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka buat di antara mereka.” (HR. Bukhari)
Menurut pensyarah kitab, inilah yang lebih dekat kepada kebenaran. Bahwa jika sudah ada kesepakatan untuk membayar bulan depan, maka kewajiban itu harus dipenuhi bulan depan.
Saya tadi menyebutkan bahwa setelah menyampaikan dalil-dalil beliau, ada contoh yang mirip dengan situasi meminjam mobil tetangga. Misalnya, Anda meminjam mobil selama dua hari karena memang tidak ada rencana bepergian. Namun, tiba-tiba orang tua menghubungi dan meminta dijemput di kampung, tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Dalam situasi seperti ini, apakah Anda akan menyewa kendaraan atau menarik pinjaman mobil tersebut? Jika kita melihatnya secara naluriah, saat sedang membutuhkan, maka Anda akan menarik pinjaman. Kalau dikatakan “penuhilah akad-akad kalian” maka Anda harus sewa mobil.
Jika pendapat kedua ini yang diambil (kesepakatan mengenai tempo dalam akad pinjaman wajib dipenuhi), maka banyak orang mungkin enggan memberikan pinjaman.
Misalnya, seseorang meminjam uang Rp10 juta dengan kesepakatan akan dibayar sebulan kemudian, tetapi baru tiga hari setelah dipinjam, pemberi pinjaman sudah membutuhkan uang tersebut kembali. Dalam hal ini, peminjam seharusnya berusaha mengembalikan pinjaman secepatnya, meskipun jatuh tempo. Ketika peminjam memegang prinsip membayar ketika jatuh tempo, yaitu sebulan kemudian, maka mungkin pemberi pinjaman enggan untuk memberikan pinjaman lagi. Akibatnya, kebaikan dalam masyarakat, seperti membantu sesama dengan pinjaman, bisa terhenti.
Kalau dikatakan bahwa dalilnya jelas dari Al-Qur’an untuk memenuhi akad, kenapa dilawan dengan dalil perasaan? Maka dijawab bahwa yang dimaksud “akad-akad” dalam Al-Maidah ayat 1 adalah akad mu’awadhah (motif bisnis). Adapun akad ariyah, para ulama sepakat membolehkannya, karena bagian dari akad tabarru. Namun, akad ini tidak mengikat dalam hal pemberian hadiah, misalnya. Jika Anda memberi hadiah kepada tetangga A, tetangga B tidak bisa menuntut hal yang sama. Akad ini tidak bersifat mengikat seperti akad mu’awadhah. Wallahu ta’ala a’lam.
Komentar