Tulisan tentang “Tanda-Tanda Dicabutnya Hidayah” ini adalah catatan yang kami tulis dari video kajian Islam yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafidzahullah.
Navigasi Catatan:
A. MUKADDIMAH KAJIAN
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيمً لِشَعْنِيهِ
وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ،
In syā` Allǻh kali ini kita akan membahas tentang tanda-tanda orang yang meninggalkan hidayah, dicabutnya hidayah darinya, tidak mengikuti hidayah.
Tapi sebelum itu kita akan membahas tentang macam-macam hidayah, jenis-jenis hidayah, agar kita tahu mana hidayah-hidayah yang ditinggalkan oleh kita, mana hidayah-hidayah yang harusnya kita sambut, tidak berdiam diri saja, pasrah, tapi kita harus berusaha untuk menyambut hidayah tersebut.
Hidayah, atau Al-Hidayah artinya: petunjuk. Hidayah ini sangat penting (urgent), karena barangsiapa diberi hidayah, maka dia sangat beruntung, dan barangsiapa tidak diberi hidayah maka dia sangat merugi.
Kata Allǻh subḥānahu wa ta’ālā :
مَن يَهْدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلْمُهْتَدِى ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allǻh, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allǻh, maka merekalah orang-orang yang merugi.
(Al-A’rǻf : 178)
مَن يَهْدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ وَلِيًّۭا مُّرْشِدًۭا…
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allǻh, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
( Al-Kahfi : 17)
Dan juga sering disampaikan oleh Nabi ﷺ dalam khotbahnya : beliau berkata bahwa :
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
Barangsiapa yang Allǻh beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa yang Allǻh sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Intermezo :
Saya (Ustadz Firanda) beberapa waktu lalu sepat mengunjungi dosennya di rumah dosennya, sementara dosen tersebut sedang membimbing suatu disertasi (risalah ilmiah), tentang bantahan kepada orang-orang atheis, dan yang nulis adalah seorang mahasiswa dari Eropa (jika tidak salah dari Swedia/Swiss), yang subḥānallǻh, dia berasal dari keluarga atheis semua. Tinggal di tengah-tengah keluarga di Eropa, di tengah orang kafir, subḥānallǻh tiba-tiba Allǻh kasih hidayah, kemudian dia sekolah di Universitas Islam Madinah, kemudian dia masuk S2, S3, dan sedang menulis bantahan terhadap orang-orang atheis.
Subḥānallǻh, siapa yang kasih dia hidayah? Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Meskipun dia tinggal di negara yang lokasinya penuh kesesatan, bahkan dari keluarga yang dalam kesesatan, tapi subḥānallǻh, jika Allǻh ingin kasih hidayah, Allǻh kasih dia. Dan dia ditugaskan oleh Allǻh untuk membantah mereka.
Jadi masalah hidayah adalah rahasia Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Kalau Allǻh beri hidayah maka orang tersebut sangat beruntung. Oleh karenanya di antara bentuk yang sangat penting (urgent), kita sangat dianjurkan untuk selalu meminta hidayah. Dan ini banyak sekali dalilnya, bahwa kita disuruh untuk berdoà untuk meminta hidayah.
Contohnya :
Di dalam Surat al Fātiḥah :
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
(Al Fātiḥah : 5)
Dibaca minimal 17 kali sehari di dalam shålāt fardhu kita.
Di dalam Doà Qunut Witir :
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ] اَللّهُمَّ اهْدِنَا[ فِيْمَنْ هَدَيْت
Allǻhhummahdiniy [Allǻhummah dinā] Fīman Hadait
Yā Allǻh, berikanlah petunjuk kepadaku [kepada kami] Bersama dengan orang-orang yang Engkau beri petunjuk kepadanya.
Doà nabi ﷺ :
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Allǻhumma as`alukal hudā wattuqǻ wal àfāf wal ghinā
Yā Allǻh, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afāf dan ghinā.
B. HIDAYAH YANG DIPERLUKAN MANUSIA
Jadi, kita memerlukan hidayah. Hidayah apa yang kita perlukan?
Dijelaskan oleh Ibnul Qåyyim, dijelaskan oleh Ibnu Katsīr råḥimahumullǻhu ta’ālā, apa hidayah yang kita perlukan? Banyak hidayah yang kita perlukan.
Di antaranya :
1. Hidayah Menuju Kebenaran.
Bisa jadi kita di atas kesesatan, sehingga kita butuh hidayah agar Allǻh memberi petunjuk/hidayah kepada kita kebenaran tersebut.
2. Hidayah Untuk Tegar Di Atas Kebenaran Tersebut.
Mungkin seseorang mengatakan, kita sudah Islam, kenapa kita minta hidayah terus? Iya, hidayah agar kita tegar, istiqåmah di atas hidayah tersebut.
3. Hidayah Agar Bisa Menjalankan Syariàt Yang Benar.
Banyak orang yang mereka sudah di atas hidayah, tapi mereka menjalankan hidayah tersebut tidak benar. Mereka sudah shålāt, tapi shålātnya tidak benar, kurang bagus. Mereka sudah puasa tapi puasanya tidak benar. Untuk menuju puasa dengan baik butuh hidayah, untuk bisa shålāt yang baik butuh hidayah. Untuk bisa menjalankan shålāt, tegar di atas shålāt butuh hidayah, agar bisa shålāt dengan benar butuh hidayah tersendiri.
4. Hidayah-Hidayah Lainnya Yang Kita Tidak Tahu Yang Kita Butuh Hidayah Allǻh Kepadanya.
Masih banyak hati kita belum terbuka untuk ini, untuk itu. Melihat kebaikan kita belum tertarik, Allǻh berikan hidayah agar kita melangkahkan kaki menuju kebaikan tersebut.
Jadi, kita merenungkan model-model hidayah yang kita perlukan, wajar saja jika kita setiap hari harus berdoà ihdinash-shirǻthål mustaqīm minimal 17 kali dalam shålāt-shålat fardhu/wajib kita. Ini juga hidayah taufīq dari Allǻh.
Karena banyak hidayah yang kita butuhkan. Ibnul Qåyyim merinci masih banyak lagi selain ini. Saya ringkas saja dari perkataan Ibnu Qåyyim dan juga perkataan Ibnu Katsīr dalam buku tafsirnya. Jadi kita sangat dianjurkan untuk meminta hidayah.
C. MACAM-MACAM HIDAYAH
- Hidayah Umum, berkaitan dengan seluruh makhluq, bahkan hewan sekalipun.
- Hidayah Umum berkaitan dengan penjelasan kebenaran. Ini mencakup muslim dan kāfir/non muslim. Hidayah ini disebut dengan hidayah al Irsyād. Para da’i bisa melakukan.
- Hidayah untuk menjalankan kebenaran. Ini yang disebut dengan hidayah Taufīq.
Contoh :
1. Hidayah Umum berkaitan dengan seluruh makhluq
Hidayah Umum berkaitan dengan seluruh makhluq seperti firman Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Ketika nabi Mūsā ditanya oleh Fir’aun :
فَمَن رَّبُّكُمَا يَٰمُوسَىٰ
“Maka siapakah Råbb-mu berdua, hai Mūsā?
Mūsā menjawab :
قَالَ رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ
Mūsā berkata: “Råbb kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya (setiap makhluq/ciptaannya), kemudian memberinya petunjuk.
(Thåha : 49-50)
Setiap makhluk diberi bentuk khusus oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, kemudian memberi petunjuk. Hidayah ini, kata para ulama` maksudnya adalah naluri (insting).
Seperti hewan, bagaimana dia mencari makan, bagaimana dia melakukan perkawinan, bagaimana ketertarikan jantan kepada betina, bagaimana semut begitu lahir dia langsung bisa membagi tugas, mana semut pekerja, semut ratu. Ini semua yang kasih petunjuk siapa? Tidak ada yang ngajarin mereka. Yang ngajarin Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
Sebagaimana seorang anak (bayi) yang baru lahir, mungkin matanya belum bisa terbuka, belum bisa melihat, telinga juga belum bisa mendengar, tapi Ketika di sodori putting ibunya dia langsung bisa menyusu. Siapa yang ngajarin? Allǻh.
Seperti firman yang lain :
سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ
Sucikanlah nama Råbbmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dst…
2. Hidayah Umum Berkaitan Dengan Penjelasan Kebenaran.
Yaitu Allǻh menjelaskan kebenaran bagi orang mu`min dan orang kafir. Kata Allǻh subḥānahu wa ta’ālā misalnya :
وَهَدَيْنَٰهُ ٱلنَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
(Al Balad : 10)
Petunjuk dengan dua jalan : jalan kebenaran jelas, jalan keburukan juga jelas, tinggal pilih yang mana.
Contoh juga firman Allǻh :
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu.
(Fushshilāt : 17)
Ini namanya hidayah irsyād. Hidayah dalam rangka memberi penjelasan. Dan semua banyak yang bisa melakukan ini. Para da’i bisa melakukannya.
Allǻh memuji nabi dalam firmannya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(Asy-Syurǻ : 52)
3. Hidayah Untuk Menjalankan Kebenaran.
Yang penting yang ketiga ini adalah hidayah yang hanya milik Allǻh.
Allǻh subḥānahu wa ta’ālā berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allǻh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allǻh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
(Al Qåshåsh : 56)
Ayat ini turun Ketika Abū Thǻlib meninggal dunia, dan nabi ﷺ ingin memberi petunjuk kepadanya agar dia mendapat hidayah dari Allǻh, tapi ternyata dia tidak mendapatkannya. Maka Allǻh mengatakan seperti dalam ayat di atas, karena hidayah taufīq hanya milik Allǻh. Para råsūl tidak memiliki hidayah ini, mereka hanya memiliki hidayah irsyād. Oleh karenanya nabi ﷺ tidak bisa memberi hidayah kepada pamannya (Abū Thǻlib, Abū Lahab), Nabi Nūh àlaihissalam tidak bisa memberi hidayah kepada istrinya, anaknya, bahka meninggal kafir di depan matanya. Nabi Luth àlaihissalām tidak bisa memberi hidayah kepada istrinya.
Ini yang kita fokus, karena kita ingin dapat hidayah ini dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā untuk menjalankan kebenaran, dan ini yang kita butuhkan menuju kebenaran.
Jika sudah kita jalankan, kita ingin tegar di atas kebenaran tersebut, jika sudah tegar di atas kebenaran, kita ingin menjalankan syariàt dengan benar, bukan asal-asalan. Jika sudah menjalankan syariàt dengan benar, kita ingin hidayah-hidayah yang lain.
Contoh sederhana :
Ada orang yang menjelaskan tentang shålāt, seseorang mau shålāt atau tidak. Ustadz menjelaskan tentang shålāt, itu Namanya hidayah irsyād.
Logikanya : ustadz mengajak untuk shålāt, ini na,manya hidayah irsyād (menjelaskan), kemudian selanjutnya terbuka hati untuk shålāt, ini Namanya hidayah taufīq (milik Allǻh subḥānahu wa ta’ālā), kemudian selanjutnya hidayah untuk tegar dan rajin shålāt terus (agar istiqåmah dalam shålāt), kemudian agar shålāt dengan khusyu’, ini juga hidayah taufiq dari All subḥānahu wa ta’ālā. Butuh hidayah tersendiri. Nanti ingin lagi dibukakan pintu-pintu kebaikan yang lain.
D. HIDAYAH KHUSUS
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Hidayah taufiq itu bagaimana kita bisa menjalankan kebaikan :
① Hidayah Al Islam : Ini bersifat umum kepada kaum muslimin.
② Hidayah Yang Terperinci : hidayah kepada seluruh kebaikan-kebaikan secara rinci.
Kalau seseorang dicabut hidayah dari al Islam (meninggalkan hidayah Islam) berarti dia murtad. Jika dia dicabut dari hidayah yang terperinci maka tergantung pada hidayah yang dia tinggalkan. Macam-macam hidayah ini banyak. Allǻh sebutkan dalam al-qur`ān dan ḥadits nabi ﷺ.
Contohnya :
1. Lapang Dada Dalam Menerima Syariàt.
Kata Allǻh dalam ayatnya :
فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًۭا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Barang siapa yang Allǻh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allǻh kesesatannya, niscaya Allǻh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allǻh menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
( Al-An’ām : 125)
Jika kita lihat, seseorang naik ke langit, semakin tinggi maka semakin sulit bernafas, kita melihatnya dalam kondisi lapang, ternyata dia sulit bernafas dan ini di antara ilmu dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, menjelaskan bahwasanya yang naik ke langit itu dia susah untuk bernafas. Ini ilmu pengetahuan dalam al-qur`ān di antaranya, Adapun orang-orang yang diberi hidayah maka mudah baginya menerima Islam ini, ini contoh ciri-ciri orang yang mendapat hidayah, diajari ilmu ini, diajari syariàt ini, ḥaditsnya råsūlullǻh begini, maka dengan mudah dia menerima.
contohnya memakai jilbab adalah syariàt dalam Islam, mudah diterima, mungkin masalah dia belum bisa menjalankan, itu urusan belakangan, tapi dia menerima. Oh ya,ini benar, lojik, ḥaditsnya diterima, imannya diterima, makanya Allǻh subḥānahu wa ta’ālā berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا
Maka demi Råbbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(An-Nisā` :65)
Jadi seorang mu`min/mu`minah jika datang syariàt yang jelas, dalilnya shåḥīḥ, dadanya menjadi lapang, berarti dia dapat hidayah terperinci dalam hal ini dapat hidayah. Ada seseorang mungkin muslim akan tetapi sedikit-sedikit dia ngeyel, dia pertentangkan dengan logikanya, maka dia sedang dicabut hidayahnya dari sisi ini. Maka jika kita kebalikannya, maka ciri orang yang dicabut hidayahnya : sulit menerima dalil, sulit menerima syariàt, meskipun dia orang Islam. Dari sisi ini sulit nebdapatkan hidayah. Ciri dia tidak mendapat hidayah dari point ini.
2. Sabar Dalam Menjalani Musibah.
Allǻh subḥānahu wa ta’ālā berfirman :
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allǻh; Dan barang siapa yang beriman kepada Allǻh, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allǻh Maha Mengetahui segala sesuatu.
(at-Taghǻbūn : 11)
Jadi kalau dia bersabar, yakin jika semuanya karena taqdir Allǻh subḥānahu wa ta’ālā maka dia mendapatkan hidayah, يَهْدِ قَلْبَهُۥ [yahdī qålbahu] : Allǻh beri hidayah pada hatinya.
Sebaliknya, jika orang tidak bersabar dalam menjalani musibah, dia meronta-ronta, kemudian ngamuk-ngamuk, ini menunjukkan bahwasanya dia tidak mendapat hidayah dari sisi ini, dan ini menunjukkan bahwasanya hidayah hilang darinya.
3. Merasa Bersalah Jika Melakukan Kemungkaran.
Orang yang ada hidayah dalam hatinya, dia akan merasa bersalah jika melakukan kemungkaran. Kenapa? Karena hatinya masih bersih.
Sebaliknya, Adapun jika dia tidak merasa bersalah (tidak merasa berdosa) Ketika melakukan kemungkaran, maka dia telah dicabut hidayahnya.
4. Di Penghujung Umur Rajin Beribadah.
Kata nabi ﷺ dari Anas bin Mālik :
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ
idza arǻdallǻhu biàbdin khåirǻn ista`malahu.
Jika Allǻh menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allǻh akan jadikan dia beramal.
قِيلَ : وَمَا اسْتَعْمَلَهُ ؟ قَالَ : ” يُفْتَحُ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ مَنْ حَوْلَه
Qīla : wamā ista’malahu? Qǻla : yuftaḥu lahu àmalun shǻliḥ bayna yadā mautihi ḥattā yardhǻ ànhu man ḥaulahu.
Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal, wahai Råsūlullǻh?” Maka Råsūlullǻh ﷺ bersabda, “Dijadikan dia beramal shǻliḥ di akhir hayatnya sehingga menjadi ridhǻ kepadanya orang-orang yang ada di sekitarnya.””
Yaitu Allǻh beri hidayah kepadanya sebelum meninggal.
Tapi jika sebaliknya : sudah tua, namun masih sibuk dengan dunia, lupa ibadah, ketahuilah, ini orang paling sengsara, hidayah dicabut di penghujung umurnya. Wal iyādzu billāh.
Kita berusaha untuk rajin beribadah di masa muda, ada 7 golongan yang Allǻh naungi pada hari kiamat, di antaranya adalah anak muda yang sudah taàt kepada Allǻh, apalagi sampai dipenghujung hayatnya.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abū Huråiråh Rådhiyallǻhu ànhu, dari Nabi ﷺ, Beliau ﷺ bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allǻh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allǻh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allǻh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allǻh.’ Dan (6) seseorang yang bershådaqåh dengan satu shådaqåh lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allǻh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”
Tapi sebaliknya : di masa tua, masih sibuk ini, sibuk itu, shålāt ketinggalan, baca qur`ān gak pernah, wal iyādzu billāh, itu hidayah dicabut oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā .
5. Selalu Bersandar Kepada Allǻh Subḥānahu wa Ta’ālā.
Makanya di antara doà nabi ﷺ :
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
Yā ḥayyu yā qåyyūm biråḥmatika astaghīts, wa ashliḥliy sya`niy kullahu walā takilniy ilā nafsiy thårfata àinin abadan.
Wahai Råbb Yang Maha Hidup, wahai Råbb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya].”
Jadi seseorang dalam kesehariannya dia harus senantiasa bertawakkal kepada Allǻh subḥānahu wa ta’ālā dalam segala hal. Tawakkal dalam hal ibadah, tawakkal dalam kehidupan sehari-hari, kita senantiasa selalu serahkan kepada Allǻh, dan nabi ajarkan : bertawakkal : keluar rumah berdoà :
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Bismillāhi tawakkaltu àlallǻhi lā ḥawla walā quwwata illā billāh.
“Dengan nama Allǻh, aku bertawakkal kepada Allǻh. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allǻh.”
(HR. Abu Dāwud 5.095).
Bahkan sampai mau tidur kita berdoà :
وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ
Wa fawwadhtu amriy ilaika
Dan aku serahkan urusanku kepada-Mu.
Seseorang senantiasa bertawakkal kepada Allǻh, dalam hal berjualan dia bertawakkal, jalan-jalan bertawakkal, berdagang bertawakkal, beli barang bertawakkal, jalan-jalan bertawakkal, ingat kepada Allǻh. ini orang selalu diliputi oleh hidayah dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā .
Sebaliknya : kapan dia bersandar kepada diri sendiri, lupa kepada Allǻh, merasa kagum dengan kecerdasannya, kagum dengan kepiawaiannya dalam berdagang, dalam orasinya, dalam kekuatannya, dalam kepintaranya, maka ini orang yang sedang dicabut hidayahnya dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā , sehingga dia rawan kena penyakit ùjub. Wal iyādzu billāh.
Ini contoh, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Contoh sederhananya : saya ingin sampaikan pada ikhwah sekalian bahwasanya kalau kita bicara tentang hidayah, maka hidayah taufīq, bisa jadi dia dapat hidayah yang ini, tapi tidak dapat hidayah yang lainnya. Kita berusaha senantiasa minta hidayah kepada Allǻh semuanya, bahkan dalam hal akhlaq sekalipun.
6. Hidayah Untuk Berakhlaq Mulia.
Yā akhi ini nggak mudah. Akhlaq mulia ini banyak : tidak pelit, murah senyum, sabar dengan keluarga, suami, anak, istri, tidak mudah kalau Allǻh tidak kasih hidayah, orang tidak bisa berakhlaq mulia.
Makanya doà nabi ﷺ :
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻫْﺪِﻧِﻲ ﻟِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦِ ﺍﻟْﺄَﺧْﻼَﻕِ، ﻻَ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻟِﺄَﺣْﺴَﻨِﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ . ﻭَﻗِﻨِﻲ ﺳَﻴِّﺊَ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﻭَﺳَﻴِّﺊَ ﺍﻟْﺄَﺧْﻼَﻕِ، ﻻَ ﻳَﻘِﻲ ﺳَﻴِّﺌَﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ
Allǻhummahdiniy li aḥsanil a’māli wa aḥsanil akhlāqi, lā yahdiy li aḥsanihā illā anta. Waqiniy sayyi`al a’māli wa sayyi`al akhlāqi, lā yaqiy sayyi`ahā illā anta.
Ya Allǻh, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.”
(HR. An-Nasā`iy no. 896 dari Jabir Dishåḥiḥkan dalam Shåḥīḥ Ibni Mājah dan Al-Misykat no. 820)
Bisa tidak suka marah-marah ini butuh hidayah Allǻh subḥānahu wa ta’ālā .
Dan ini Namanya hidayah terperinci. Bisa jadi seseorang mendapati sebagian hidayah, tapi dicabut hidayah yang lain. Tapi ada yang sangat berbahaya yaitu hidaya terperinci yang disebutkan pertama yaitu Tidak Merasa Lapang Dada Dalam Menerima Perintah/Larangan/Syariàt dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
Hidayah ini sangat penting, bahkan jika hidayah ini dicabut kemudian tidak mau mengikuti syariàt Islam, atau jengkel dengan syariàt Islam, maka ini bahaya, bisa terjerumus ke dalam kekufuran.
7. Hidayah Untuk Mengikuti Manhajnya Para Sahabat.
Satu lagi yang terakhir sebagai penutup yaitu di antara tanda-tanda hidayah : Hidayah Untuk Mengikuti Manhajnya Para Sahabat.
Kata Allǻh subḥānahu wa ta’ālā :
فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍۢ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu (para sahabat) telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk (hidayah); dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allǻh akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqåråh : 137)
Nah,… kalau mereka tidak mau mengikuti para sahabat, merasa lebih pintar dari para sahabat, merasa lebih rajin dari para sahabat, merasa lebih berkreasi dari para sahabat, waspada… maka dia telah keluar dari hidayah.
Dia tidak puas dengan cara ibadahnya para sahabat, tidak puas dengan imannya para sahabat, dia pengin iman-iman sendiri, pengin model ibadah sendiri, sesungguhnya dia keluar dari hidayah.
Demikian saja yang dapat kami sampaikan kepada pemirsa sekalian, wallǻhu a’lam bish-showab.
E. TANDA DICABUTNYA HIDAYAH
Jika kita berbicara tentang ciri-ciri orang yang dicabut hidayahnya maka kebalikan dari ini semua :
1. Tidak Merasa Lapang Dada Dalam Menerima Perintah/Larangan/Syariàt dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
Hawa nafsunya tidak mau terima jika hukum sesuatu itu Harǻm. misalnya dalil-dalil shåḥiḥ yang menunjukkan bahwa music itu ḥarǻm, hawa nafsunya bilang tidak menerimanya. Berbeda dengan orang yang menerima bahwa itu ḥarǻm, tapi dia belum bisa meninggalkan music. Itu lain, tapi jika mengatakan Tidak Harǻm karena ini, karena begitu, pakai dalilm pakai otak, pakai logika, padahal dalil keḥarǻmannya jelas, ijmā’ ulama. Berarti dia hidayah dalam hatinya tidak ada, hatinya tidak lapang.
2. Protes terhadap taqdir/keputusan Allǻh
Orang yang sabar mendapat hidayah dari Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, sebaliknya jika protes terhadap taqdir/keputusan Allǻh, yang protes tersebut nampak dari sikapnya dengan lisannya : kata-kata : “kenapa begini”, “kenapa begitu”, Nampak dari sikap badannya : yang mungkin dia merobek-robek bajunya, menampar-nampar pipinya. Kata nabi ﷺ :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُوْدَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوْبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Laysa minnā man dhåråbal khudūda au syaqqål juyūba au da’ā bi da’wal jāhiliyyah.
“Tidaklah termasuk golongan kami orang yang menampar pipi atau merobek-robek pakaian atau berteriak dengan teriakan Jahiliyah”.
[Disepakati keshåḥiḥannya : Al-Bukhǻri dalam Al-Jana’iz 1294, Muslim dalam Al-Iman 103]
3. Hilang kepekaan terhadap kemungkaran
Karena jika hati masih benar, dia masih mengenal kebenaran, maka dia peka dengan kemungkaran. Dia tahu itu salah.
Sebaliknya : jika hilang kepekaan terhadap kemungkaran, sudah menjadi hal yang biasa, maksiat menjadi hal yang biasa, dia meninggalkan kewajiban santai saja, dia melakukan maksiat santai saja, maka ini menjadi masalah.
Oleh karenanya nabi ﷺ bersabda :
إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت فى قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذى ذكر الله (كلا بل ران على قلوبهم ما كَانُوا يَكْسِبُونَ)
“ Seorang hamba sedia melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam sebuah titik hitam. Jika ia meninggalkannya dan meminta maaf serta bertaubat, dibersihkan. Apabila ia kembali (terapkan maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar Rǻn” yang Allǻh sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ .
كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
(al Muthåffifīn : 14)
Jika sudah hitam meliputi hati mereka, maka susah. Kemungkaran dianggap biasa, kemaksiatan dianggap biasa, meninggalkan kewajiban dianggap biasa, maksiat dianggap biasa,
Ini yang kita khawatirkan di zaman sekarang ini. Oleh karenanya seseorang yang sering melakukan maksiat (terbiasa) jadi kecanduan, bahkan dianggap biasa, tidak merasa pilu hatinya sama sekali.
Contoh : banyak di antara kita yang melihat aurot wanita yang terbuks di medsos, seharusnya kita tahu jika itu maksiat. Harusnya kita merasa… (berdosa… tidak enak dll). Karena sudah terbiasa, hitam lagi, hitam lagi, untuk point ini jikakita merasa biasa dan tidak merasa berdosa sama sekali, bahkan untuk istighfār kepada Allǻh saja tidak, karena saking biasanya dan ini na’udzubillāh, oleh karenanya hati-hati. Dan ini bahaya karena seringnya dan terbiasanya.
Seperti meninggalkan shålāt, pertama kali mungkin sedih, kedua gelisah, lama-lama terbiasa. Minum khåmr, sekali merasa takut, lama-lama biasa, ga ada masalah. Jadi seakan-akan hal yang biasa sampai hatinya tertutup, dia tidak merasa berdosa. Jika orang masih punya iman, dia melakukan maksiat pasti dia merasa berdosa, bertaubat, meskipun dia melakukannya lagi, berarti dia masih ada iman di dalam hatinya.
Tapi kalau sering melakukan maksiat, berulang-ulang, dan dia merasa nyaman-nyaman saja, ini berarti hidayah telah dicabut dari hatinya.
Contoh : seorang suka berdusta, apakata nabi ﷺ :
وَ إِيَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَإِنَّ اْلكَذِبَ يَهْدِى إِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ إِنَّ اْلفُجُوْرَ يَهْدِى إِلىَ النَّارِ وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَ يَتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Waspadalah kalian terhadap dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kemaksiatan dan kemaksiatan itu menyeret ke neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allǻh sebagai pendusta.”
Contoh lain : seorang wanita buka aurot misalnya. Keluar buka aurot, mungkin pertama kali malu, mungkin sambal tutup kanan, tutup kiri, lama-lama dia buka, lama-lama dia tampil telanjang dia tidak malu, lama-lama dia berhubungan dengan lelaki, dia shooting film, dia sebarkan, dia tidak punya malu. Kenapa? Karena sudah ditutup hatinya. Dalam point ini hidayah sudah dicabut dari hatinya. Wal iyādzu billāh.
Contoh lain : meninggalkan kewajiban, malas shålāt berjamaàh di Masjid bagi laki-laki, dan akhirnya biasa, makanya Ibnul Qåyyim råḥimahullǻh berkata :
واللهِ لَوْ أَنَّ الْقُلُوْبَ سَلِيْمَةٌ لَتَقَطَّعَتْ أَسَفًا مِنَ الْحِرْمَانِ
Wallǻhi lau annal qulūba salīmatun lataqåththåàt asafan minal ḥirmān
(Demi Allåh kalau seandainya hati kita itu bersih maka akan terasa tercabik-cabik tatkala kita terhalangi dari suatu kebaikan)
Sungguh benar perkataan Ibnul Qoyyim, kalau seandainya hati kita bersih tentunya kita akan sangat bersedih tatkala ketinggalan shålāt berjama’ah…bahkan tercabik-cabik…, akan tetapi…???!! Yā Allǻh bersihkanlah hati kami ini…
Makanya di antara hidayah adalah merasa bersalah jika melakukan kemungkaran.
Selanjutnya cabangnya adalah merasa bersedih jika luput dari kebaikan, lawannya : santai-santai saja meskipun luput dari kebaikan.
Orang yang masih ada hidayah, dalam hatinya jika terlambat bangun shubuh pasti sedih banget. Kenapa bangunnya telat, kenapa shålāt shubuhnya jam 7, jadi shålat shubuḥ di waktu dhuḥā. Dia merasa sedih, kenapa bisa saya terlambat, … dan seterusnya, berarti hatinya masih jalan.
Tapi jika hidayah sudah dicabut, mau shålāt shubuḥ jadi shålāt dhuḥā, shūbuḥ jam 9 setiap hari cuek saja.
Bahkan jika imannya lebih tinggi sedikit, tidak shålāt malam dia bersedih, kenapa tidak shålāt malam hari ini, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Berarti hatinya masih bersih.
Seperti ada kesempatan berbakti kepada orang tua, terus dia tidak bisa membantu orang tuanya, dia sangat sedih, pintu kebaikan tidak bisa dimasuki karena ada halangan (udzur). Tapi kalau hatinya sudah tidak ada hidayah, mau ada orang tuanya mau ini, cuek saja, berarti hidayah telah dicabut dari hatinya.
F. TANYA JAWAB
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
1. Hidayah dicari atau pasrah?
Dari Aḥmad di Sidoarjo.
Apakah hidayah itu harus dicari atau pasrah, terserah Allǻh?
Jawab :
Hidayah dicari. Jadi seseorang mencari hidayah dengan dua :
① Berusaha , ikhtiyar Bahasa kita.
② Berdoà.
Makanya Allǻh di dalam ḥadits qudsi berfirman :
يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hambaKu, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti (niscaya) Aku memberinya.”
Jadi selain berdoà dengan doà yang nabi ﷺ ajarkan seperti :
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Allǻhumma inniy as`alukal hudā, wattuqǻ wal àfāfa, wal ghinā.
Ya Allǻh, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afāf dan ghinā.
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
(Al Fātiḥah : 5)
Juga berusaha (ikhtiyar), jika pengin dapat hidayah ilmu, kata nabi ﷺ
إِنَّمّا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
Innamal ‘ilmu bit-taàllum.
“Sesungguhnya ilmu itu didapat dengan belajar”
Barangsiapa pengin punya akhlaq sabar, kata nabi ﷺ :
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
Waman yatashåbbar yushåbbirhullǻhu wamā u’thiya aḥadun àthǻ`an khåirǻn wa ausaàminash-shåbr.
“Siapa yang sungguh-sungguh berusaha untuk bersabar, maka Allǻh akan mudahkan kesabaran baginya. Dan tidaklah seseorang dianugerahkan (oleh Allǻh Subḥānahu Wa Ta’ālā) pemberian yang lebih baik dan lebih luas (keutamaannya) dari pada sifat sabar.”
[HR. Al-Bukhâri № 6.105 dan Muslim №1.053].
Kata Allǻh subḥānahu wa ta’ālā :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ؕ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
‘Dan bagi orang-orang yang berjuang untuk Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan’
(Q.S. 29 / Al Ànkabūt : 70).
Jangan pasrah, harus dua-duanya, kita minta (berdoà) dan berusaha, jangan seperti orang Yahūdi, sudah dibuka pintu hidayah di depan mereka, mereka berpaling. Makanya maghdhūbi àlaihim (dimurkai oleh Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Bayangkan, ini orang Yahūdi mencari kapan råsūlullǻh diutus oleh Allǻh. Mereka sengaja tinggal di Madinah (Yatsrib sebelumnya), karena mereka tahu bahwa nabi terakhir tersebut akan berhijråh. Mereka tahu ciri-cirinya, semuanya. Begitu datang nabi tersebut, mereka berpaling. Berusaha tapi mungkin tidak berdoà kepada Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُوا۟ كَفَرُوا۟ بِهِۦ ۚ فَلَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ
Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allǻh-lah atas orang-orang yang ingkar itu.
(Al-Baqåråh : 89).
Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
2. Mendapat hidayah untuk taat lalu berbuat maksiat
Bila sudah dapat hidayah untuk taàt beribadah, kemudian maksiat, kemudian beribadah lagi, kemudian maksiat lagi, Nah itu sampai kapan ustadz?
Jawab :
Tadi saya bilang, selama hati kita masih ada iman, dan iman itu naik turun. Selama itu masih ada kepedihan, itu masih ada hidayah. Kita berdoà kepada Allǻh : yā Allǻh ampunilah aku.
Nanti kita ibadah lagi, kemudian maksiat lagi, begitu lagi. Jangan kita biarkan. Masalahnya, kalau orang sudah bermaksiat terus dia cuekin saja, dibiarin saja. Ada bisikan : nanti saja taubatnya, akhirnya : hitam lagi, hitam lagi, akhirnya biasa bermaksiat.
Kalau seseorang tidak dari awal dia bertaubat kepada Allǻh, ini manusia ya seperti itu. Makanya kata nabi, Kalau dia bertaubat maka dihapuskan (dibersihkan), sehingga cahaya hidayah akan terus ada dalam hati seseorang.
Dan sampai kapan dia terus seperti itu? Sampai meninggal. Yang penting Kalau dia bermaksiat, dia bertaubat. Jangan sekali-kali tertunda taubatnya. Jangan dengar kata setan, dosa kamu sudah terlalu banyak, percuma kau bertaubat, taubat sambal, tidak akan diterima. Itu kata setan, jangan dengerin. Allǻh, tuhan kita maha pengampun lagimaha penyayang. Yang penting seorang Ketika bermaksiat, bertaubat dengan sungguh-sungguh. Wallǻhu a’lam bish-shåwab.
3. Bagaimana cara memberikan hidayah?
Bagaimana cara memberikan hidayah kepada saudara yang belum mengenal manhaj salaf.
Jawab :
Di awal kajian sudah dijelaskan, bahwa hidayah itu ada dua : hidayah irsyād (menjelaskan) para råsūl, para nabi, mereka ahli menjelaskan juga para da’I, semakin orang punya ilmu semakin mudah (mampu) untuk menjelaskan dan hidayah taufīq (hanya milik Allǻh). maka agar saudara-saudara kita mendapatkan hidayah, kita lakukan dua-duanya.
Kita minta (doà) kepada Allǻh (hidayah taufīq) : Yā Allǻh berilah petunjuk kepada saudaraku terhadap manhaj salaf, dia sudah dapat hidayah secara umum yaitu hidayah Islam, tapi hidayah terperinci masih ada yang kurang. Jangan kita bilang ~“ente belum dapat hidayah”~, semua orang Islam dapat hidayah, tapi hidayah umum, Adapun hidayah terperinci belum tentu dapat semua, saya sendiri (ustadz), tidak semua hidayah kita dapatkan, masih banyak hidayah yang kita belum tahu, masih banyak hidayah yang belum kita terima, maka kita juga meminta kepada Allǻh agar kita diantarkan kepada hidayah dan seterusnya, sampai kita tiba pada puncak hidayah yaitu masuk surga.
Makanya para penghuni surga Ketika mau masuk surga sebagai puncak dari segala hidayah mereka mengatakan :
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ
“Segala puji bagi Allǻh yang telah menunjuki kami kepada (kebaikan) ini (surga).
Nah, Kalau ingin dapat hidayah lakukan dua-duanya.
- Hidayah taufiq yang penting dengan berdoà kepada Allǻh.
- Kita berusaha menjelaskan, yaitu hidayah irsyād. Jelaskan pelan-pelan, kasih link, jangan modalnya bertengkar, kasih pandangan meskipun dia nolak, coba dengar dulu deh…, saya tak pandai menjelaskan, o… “saya gak mau dengar”, coba kau dengar dulu nanti kita diskusi, pelan-pelan sambil kita doàkan, mudah-mudahan Allǻh memberinya hidayah kepada saudara tersebut. Wallǻhu a’lam bish-shåwab.
4. Saudara terus-menerus berbuat maksiat
Bagaimana jika seorang saudara kita terus-menerus berbuat maksiat, bahkan sampai berbuat kriminal, bahkan sempat membuat ancaman fisik.
Apakah sengan melaporkan ke aparat keamanan dengan harapan dapat hidayah, apakah ini berlebihan?
Jawab :
Saya rasa tidak. Seseorang terkadang dia baru mendapat hidayah dengan penjeraan (biar jera), menurut kita, jika dia tidak dilaporkan semakin merajalela, maka kita boleh laporkan, oleh karenanya datanglah yang Namanya hukum hād.
Kenapa orang yang mencuri tangannya dipotong? supaya dia jera, supaya dia berhenti dan kembali kepada hidayahnya, kenapa yang berzina yang belum nikah dicambuk? Agar mereka jera.
Seperti itu.
Jadi, jika memang kita melaporkan kepada pihak berwajib membuat dia berhenti dari maksiat/kriminal yang dia lakukan, lalu kita beri masukan-masukan, kita jenguk (datang) ke penjara, kita berikan wejangan-wejangan.
Maka itu mudah-mudahan cara yang terbaik. Tapi yang paling penting berdoà kepada Allǻh agar Allǻh kasih hidayah.
Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
5. Minta di doàkan oleh orang-orang shǻlīḥ
Apakah bisa minta di doàkan oleh orang-orang shǻlīḥ agar hidayah kita tidak hilang, hidayah Islam dan hidayah sunnah tersebut.
Jawab :
Boleh, tidak jadi masalah. Kepada orang yang kita anggap orang shålīḥ meminta dia supaya doà dikabulkan, atau misalnya kepada orang yang lagi ḥajian, lagi umråh, lagi di tanah suci, kita minta doà kepadanya, maka ini tidak jadi masalah. Tapi yang paling penting diri kita sendiri yang berdoà, itu hanya sekedar sebagai penguat. Yang paling penting kitanya sendiri yang berdoà kepada Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Oleh karenanya
seorang sahabat datang kepada nabi ﷺ yang meminta supaya bisa menemaninya nanti di surga.
Dari Råbi’ah bin Ka’ab al-Aslami rådhiyallǻhu’anhu, beliau berkata,
” كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ ، فَقَالَ لِي : سَلْ ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ “. رواه مسلم في ” صحيحه“(489).
Aku pernah bermalam bersama Råsūlullǻh ﷺ, lalu aku menyiapkan air wudhu` dan keperluan beliau. Lalu beliau ﷺ bersabda kepadaku, ‘Mintalah sesuatu!’ Maka sayapun menjawab, ‘Aku meminta kepadamu agar memberi petunjuk kepadaku tentang sebab-sebab agar aku bisa menemanimu di Surga’. Beliau menjawab, ‘Ada lagi selain itu?’. ‘Itu saja cukup ya Råsūlullǻh’, jawabku. Maka Råsūlullǻh bersabda, ‘Jika demikian, bantulah aku atas dirimu (untuk mewujudkan permintaanmu) dengan memperbanyak sujud (dalam shålāt)‘”
(HR. Muslim, no. 489).
Jadi, plong dua-duanya, jangan hanya kita pasrah dengan sudah minta di doàkan oleh ustadz, sudah minta di doàin habīb, minta ulama doàin, sedangkan kita sendiri cuek. Yang paling utama kitanya.
Makanya Ketika Allǻh berkata :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(Al-Baqåråh : 186).
Makanya yang paling penting kitanya yang berdoà, karena kita tidak akan merasakan kepiluan kita seperti orang lain. Kita yang sedang merasakan masalah, kita yang merasakan hati kita hitam, hati kita yang keras. Kita bilang “ustadz, tolong doàin saya, biar hati saya lembut”.tapi kita sendiri yang menangisdi hadapan Allǻh.
Jadi dua-duanya. Jangan
kita serahkan kepada ustadz, tetapi kitanya kacau, ya… susah. Makanya perlu digabungkan sebab-sebab tersebut agar bisa mencapai akibat.
Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
6. Orang tidak mendapat hidayah tapi sikapnya baik
Allǻh tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia.
Pertanyaannya : untuk orang yang tidak mendapat hidayah, misalnya orang Kristen (kafir/non muslim), tetapi sikapnya baik sekali dan sangat tinggi ḥablun minan-nās-nya.
Itu maksud penciptannya bagaimana?
Jawab :
Ini perkara yang tidak masuk di benak kita, di luar daripada nalar kita. Kita tahu bahwasanya Allǻh menciptakan dengan perencanaan Allǻh. saya bicara tentang masalah taqdir. Sederhananya taqdir Allǻh menciptakan Iblis. Kenapa Iblis jadi korban, Kalau Allǻh kasih hidayah (pada Iblis) dari awal kita sudah selesai. Kita tidak perlu ada pengajian seperti sekarang, karena Iblis sudah tewas dari awal, atau sudah dapat hidayah dari awal. Kenapa Allǻh ciptakan Iblis? Itu tidak akan bisa kita jawab. Itu nalar Allǻh, kita tidak akan sampai pada logika kita. sedangkan kita saja, banyak hal yang tidak bisa kita logikakan. Apalagi kita tanya kenapa Allǻh begini, begitu. Makanya Allǻh tutup dengan firmannya :
لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.
( Al Anbiyā`: 23).
Iblis adalah keburuka. Dari sisi dzatnya sangat buruk, akan tetapi ternyata dia punya maslahat yang banyak. Dengan adanya Iblis maka adanya surga dan neraka, dua yang kontradiktif. Allǻh bisa menciptakan Jibril àlaihis-salām yang sangat patuh, sedangkan Iblis yang sangat pembangkang. Allǻh ciptakan Firàun dan Mūsā, Allǻh ciptakan Muḥammad ﷺ dan Abū Jahal, Allǻh Maha pengampun, kalau tidak ada Iblid tidak ada yang berdosa, tidak ada yang bertaubat. bagaimana Allǻh tawwāb dan lain-lain. Dan ini semua adalah rahasia Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
Sampai ada seorang atheis berkata : bisakan Allǻh menciptakan semuanya dengan tidak ada yang buruk, semuanya baik, semuanya enak, semuanya nyaman, semuanya minta apa saja dipenuhi. Kita bilang ya…, Kalau orang dikasih seperti itu, dia mau jadi tuhan, dia mau jadi apa saja, dan itu adalah sesuatu yang tidak logis. Coba bayangkan jika semua orang semuanya baik, semua yang diinginkan terpenuhi, kalau begitu siapa yang jadi bos, siapa yang menyuruh, siapa yang disuruh.
Kemudian tidak ada yang merasakan yang rasanya rahmat. Kita tahu bahwa itu rahmat, setelah ada keburukan. Kita baru tahu itu kasih sayang jika ada kejahatan, Jika sempurna semuanya tidak ada lawanya menurut saya ini bukan ciptaan yang baik, justru ciptaan yang baik itu yang komplit, ada begininya, ada begitunya, ini hanya sekedar logika-logikaan semata.
Adapun tentang ada seseorang yang kafir seperti Abū Thǻlib yang baik, tapi kemudian kafir, kita bilang itu urusan Allǻh. Allǻh ingin menunjukkan bahwa hidayah itu di tangan Allǻh subḥānahu wa ta’ālā. Jadi, itu pertanyaan tidak bisa kita jawab, itu rahasia Tuhan, rahasia Allǻh subḥānahu wa ta’ālā, karena nalar kita tidak sampai pada hal tersebut. Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
7. Suami belum shalat lima waktu
Berikut kami ajukan dua pertanyaan sekaligus :
① saya punya suami yang belum bisa shålāt 5 (lima) waktu, saya selalu doàkan beliau agar Allǻh memberikan hidayah, apakah Langkah saya sudah tepat, apalagi yang harus saya lakukan agar suami saya rajin.
② bagaimana caranya membantu pasangan
p kita yang selalu maksiat, jika coba diingatkan tersinggung dan marah. Apakah itu artinya hidayah sudah dicabut? Bagaimana sikap istri yang baik?
Jawab :
Saya rasa itu sudah tepat. Karena kita, terus terang…, kita hidup bukannya sejak awal berada dilingkungan yang sudah kenal agama, yang sudah banyak ustadznya di mana-mana, yang ilmu agama diajarkan di sekolah sejak awal, dulu kita hidup, ustadznya cuma satu-dua orang, kemudian sarana belajarnya juga ga ada (terbatas), kemudian juga jika belajar agama juga paling dua jam sepekan, entah yang diajarinnya apa. Kadang-kadang yang penting cuma untuk lulus ujian.
Jadi kita memang jauh dari sebab-sebab hidayah, kemudian alḥamdulillāh di jaman sekarang ini, salah satu di antara pasangan suami/istri dapat hidayah, istrinya sudah, suaminya mungkin belum, atau sebaliknya, maka kesempatan bagi istri yang sudah dapat hidayah untuk mengajak pasangannya yang belum dapat hidayah kepada hidayah dengan hidayatul irsyād (menjelaskan). Bimbing pasangannya, pelan-pelan dengan meningkatkan pelayanan, dengan meningkatkan kasih sayang, sambil didoàkan. Yang dilakukan oleh sang penanya ini sudah luar biasa, jadi memang, mungkin dia belum bisa sempurna, ga apa apa, pelan-pelan saja, mungkin saja baru tiga dulu, nanti tambah lagi, tetap harus didoàkan dengan perlahan-lahan, semoga pasangannya (suaminya) dapat hidayah, sedikit demi sedikit, terkadang hidayah tidak datang langsung pleg, datang sekaligus, tapi tahap demi tahap. Maka kita menjadi salah satu sebab agar suami (pasangan)kita mendapat hidayah, bukannya semakin ada hidayah datang, kemudian suami kita menghindar hingga akhirnya tidak dapat hidayah.
Adapun jika dia melakukan kemaksiatan, tegur dengan baik-baik, tegur dengan logis, bicara dengan baik, tidak perlu teriak-teriak, tidak perlu marah-marah, ngomong baik-baik : “ sayang… Allǻh bilang begini…, råsūliullǻh bersabda begini…” pelan-pelan, sambil kita doàin, kemudian, kita shålāt di hadapan suami, baca qur`ān di hadapan suami, kita berdoà, menangis di hadapan Allǻh swt. Ini ujian bagi sang penanya, in syā` Allǻh, apa yang dilakukan, berhasil/ tidak berhasil dapat pahala dari Allǻh. Thåyyib.
8. Perempuan buka tutup hijabnya
Pertanyaan langsung : seorang Ikhwan dikantornya, ada seorang ibu-ibu (perempuan), dia sering buka tutup hijabnya, kadang Ikhwan tersebut sering melihatnya tatkala sedang membuka hijabnya karena sering lewat di depan Ikhwan tersebut, dan Ikhwan tersebut sudah sering menasehatinya. Apa yang harus dilakukan lagi dan apa solusinya?
Jawab :
Saya rasa kondisinya memang berat. Nasehat sudah dilakukan. Doàin, mungkin lupa…, “ ya Allǻh, berikanlah hidayah pada ibu fulan, agar tidak mengganggu saya, agar tidak mengganggu pemandangan saya”, doàin.
Doàin agar dia dapat hidayah, kemudian nasehat. Kalau memang dia tidak mau (tidak berubah), ya kita yang memang harus pergi (menghindar), namanya tantangan hidup, kita bilang astaghfirullǻh…, dia mau bilang apa… biarin, itu bisa menghilangkan noda hitam, kalau tidak kita sertakan istighfar, itu lama-lama akan menjadi biasa. Tapi kalau setiap kali memandang, kita bilang astaghfirullǻh… lalu kerja lagi, kemudian lihat lagi…, istighfar lagi, jika dia bilang “kamu kok tip ngelihat saya istighfar terus?”, bilang : “saya minta ampun pada Allǻh, karena tidak kuasa melihat kamu (buka hijab)”. Adapun kalau kita cuek, atau malah kita ketawa-ketiwi dengannya, akhirnya nanti akan jadi biasa, akhirnya kita merasa itu bukan lagi suatu kemungkaran. Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
9. Berdakwah kepada wanita bukan mahram
Ada orang (Ikhwan) ingin berbuat baik pada wanita dengan maksud berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, sering mengirim pesan kebaikan, mengingatkan shålāt, dan lain-lain, sedangkan dia sendiri (Ikhwan) sudah beristri.
Bagaimana ustadz, apakah ini bisa dibenarkan?
Jawab :
Sebenarnya sih boleh…, yang penting niat kita menasehati, tidak ada niat lain. Cuma… hati ini lemah, sang wanita juga lemah, kalau enggak, bisa lewat istri kita atau…. Karena jika kita nasehati, kita canda-canda, ketawa-ketiwi, ketertarikan… kita bisa merasakan itu, khawatirnya kita tergoda. Tapi jika seandainya ini bisa kirta hindari, hanya sekedar menasehati, tidak jadi masalah. Kita kenalkan dengan istri kita, lebih mudah, lebih menutup celah, karena setan bisa masuk di antara pembicaraan antara laki-laki dengan wanita. Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
10. Dibilang sok alim saat menasihati
Saya punya sahabat di grup, ada yang di Kuwait, ada yang sudah kenal manhaj salaf, dan ada yang belum kenal, kita dulu seperti apa dan bagaimana saling tahu, kadang dibilang munafik, sok alim lah… bagaimana kita menyikapi hal yang demikian?
Jawab :
Kita harus pandai belajar berinteraksi dengan siapa saja, jangankan sama sesama muslim, beda manhaj, bahkan sama yang non muslim (kafir) terkadang kita harus berinteraksi dengan mereka, selama interaksi tersebut tetap ada tujuannya. Seperti temen yang belum kenal salaf tadi, pelan-pelan, sabar. Kalau kita tidak sabar terus siapa yang jadi wasilah agar saudara-saudara kita, kawan kita dapat hidayah. Sabar, terus sabar, sampai kita memandang pertemanan kita dalam grup tersebut membuat mudhåråt mending kita keluar, karena keselamatan agama lebih utama daripada segalanya. Tapi selama kita masih bisa berdiskusi apalagi berdua, ajak berdialog. Orang terkadang kalau kita kasih penjelasan, walau dia belum menerima sekarang, masuk dalam benaknya, lama-lama dia mikir, mungkin suatu saat dia akan dapat hidayah. Tapi tadi, jangan lupa doàin dia. Saya tidak menganjurkan untuk lepas, tetap saja berteman, kita ada urusan bisnis, dan urusan lainnya, sambal diberi masukan, kemudian sampai pada tahapan jika kita teruskan kita yang dapat mudhåråt, maka kita ijin untuk keluar grup. Selama belum sampai ke tahapan tersebut, kita masih bisa kasih masukan, meskipun dia menolak, tidak mengapa, kalau tidak mau bicara agama, bicara yang lain. Sesekali kita masukin lagi, “ada ceramah nih… bagus… dengerin”.
11. Menyebarkan dakwah salaf di kampus
Pertanyaan terakhir. Saya seorang mahasiswa di kampus, yang nota bene ada yang anti dakwah salaf. Itu terjadi di Lembaga dakwah kampus sendiri. Bagaimana baiknya bagi saya da teman-teman yang sudah menerima dakwah salaf ini untuk menyebarkan dakwah di kampus.
Jawab :
Dakwah perlu perjuangan, saudara-saudara kita alḥamdulillāh muslim seperti kita, Cuma mungkin butuh sedikit perjuangan dari kita, dengan penuh kasih sayang, kita jelaskan kepada mereka, kita mau agar hidayah yang kita rasakan hendaknya juga mereka rasakan, saya rasa kawan-kawan yang sudah kenal dakwah sunnah bikin grup sendiri, kemudian mereka diskusikan, perlu maju… perlu diam… jika ada kesempatan bicara agama, kita bicara agama, antum yang bisa melihat situasi dan kondisi, mana maslahat, mana mudhåråt itu ditimbang, maksud saya sejak awal kemudian berhenti, tidak mau berdakwah, ya ini tidak benar, dakwah memang perlu ada tantangannya, siap dimaki-maki, siap direndahkan, makanya Ketika Luqman berkata kepada anaknya :
يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ
Kata Luqman : Hai anakku, dirikanlah shålāt dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allǻh).
(Luqman : 17).
Kata para ulama amar ma’ruf pasti diganggu, kenapa?
Antum mengatakan pada mereka “pendapat kalian kurang tepat”, orang tidak suka jika dikatakan pendapatnya tidak tepat, apalagi disalah-salahkan, gak suka, Antum mengatakan “ini harǻm”, orang tidak suka syahwatnya (keinginannya) dipotong, ini gak boleh, itu gak boleh, dia tidak suka itu wajar. Maka meskipun sudah menyampaikan dengan cara yang terbaik tetap saja ada yang tidak suka, maka kita akan dibalas dengan cemoohan, gangguan fisik terkadang, ya sabar… kalau semua orang di awal pertempuran sudah gugur, tidak ada yang sabar, dengan sebab apa dakwah bisa berkembang? Kecuali pada tahapan kalau kita lanjut dapat mudhåråt lebih besar ya sudah ga usah maju, ya sudah… Allǻh maha tahu, kita sudah berusaha, ini mudhåråtnya lebih besar ya sudah, kita enjoy di grup kita sendiri, in syā` Allǻh saling mengingatkan, saling kuat di tengah lingkungan yang seperti itu.
Wallǻhu a’lam bish-shåwwāb.
Demikian saja, semoga Allǻh subḥānahu wa ta’ālā memberikan taufiq kepada kita seluruhnya kepada kita, menuju akhlaq yang baik, menuju kebaikan-kebaikan yang lainnya, dan semoga Allǻh subḥānahu wa ta’ālā mengantarkan kita kepada puncak hidayah yaitu hidayah menuju surga Allǻh subḥānahu wa ta’ālā.
Wabillāhit taufīq wal hidāyah.
Wassalāmuàlaikum waråḥmatullǻhi wabaråkātuh.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
Di transkrip oleh : @🄰🄼🄰🄻
G. Video Tanda-Tanda Dicabutnya Hidayah
🎙️ Ustadz Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A. ḥafizhåhullǻhu ta’ālā
🏡 Ceger Jakarta Timur [Indonesia]
🗓️17 Dzul Qå’dah 1441H [09 Juli 2020 M]
Komentar