Tulisan tentang “Ceramah Singkat : Sikap yang Tepat Terhadap Poligami” ini adalah catatan faidah dari ceramah yang dibawakan oleh Ustadz Abdullah Taslim, MA. Hafidzahullahu Ta’ala
Navigasi Catatan:
Sikap yang Tepat Terhadap Poligami
Saudaraku yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Dalam menyikapi hukum-hukum Islam yang seperti ini (poligami), akan ada dua golongan yang tersesat.
Satu yang bersikap berlebih-lebihan, mendukungnya sampai memprovokasi semua, meskipun tanpa persiapan. Ini tentu perkara yang tidak dibenarkan. Tidak semua orang kita katakan, “Anda harus melakukan ini.” Apalagi timbul kesan bahwa ustadz/ ikhwan yang sudah melakukannya berarti dia lebih mulia, lebih kuat, dan mencerminkan pria sejati. Dibandingkan dengan orang yang belum melakukannya. Hingga terkesan pembahasan masalah ini hanya pantas dibicarakan oleh ustadz yang sudah melakukannya. Bagi yang belum melakukannya, meskipun bagus penyampaiannya, katanya kurang berkesan. Itu tidak benar.
Siapapun yang menyampaikannya dengan baik, dengan proporsional, dengan penilaian yang tentu saja bersumber dari dalil, maka alhamdulillah dari penjelasan tersebut dapat kita ambil manfaatnya untuk kita meluruskan kesalahpahaman kita, atau salahnya kita dalam bersikap.
Kemudian muncul pihak yang kedua. Yang menamakan dirinya sebagai “pembela ummahat”. Istilah seperti ini muncul karena ada sebagian yang menamakan dirinya sebagai “pembela akhawat”. Sehingga dahulu ada salah seorang ustadz di Surabaya yang bercanda dengan ana, mengatakan bahwa, “Maa syaa Allah, inilah ustadz pahlawan akhawat.” Sementara sekarang muncul yang dikatakan “pembela akhwat”.
Mereka yang kemudian membahas masalah ini dengan menyebutkan atau membandingkannya dengan sesuatu yang kesannya dari ana sendiri, atau dari apa yang kita dengar, seolah-olah mengesankan bahwa orang yang melakukan poligami itu berarti menzholimi akhawat. Jika hal ini kita dengar dari orang awam (umum) mungkin bisa kita katakan adalah sesuatu hal yang wajar karena mereka belum paham agama. Tapi jika kita dengar dari orang yang paham agama, apalagi ustadz, mungkin hanya karena beliau belum melaksanakannya, bisa jadi beliau memang tidak membutuhkan untuk melaksanakannya. Kita katakan, alhamdulillah untuk diri Anda sendiri, silahkan. Tapi jika sampai dikesankan bahwa orang yang melakukannya itu adalah orang yang hanya sekedar gagah-gagahan, atau sekedar mencoba kekuatan, atau mengesankan kurang pertimbangan. Subhanallah, ini adalah suatu hal yang tidak pantas kita nisbatkan kepada keburukan tersebut, ikhwan-ikhwan yang kita kenal mereka punya kebaikan, paling tidak, dalam melakukan secara umum dari pemahaman sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan dalam kajian-kajian.
Ada juga yang membuat ketentuan dengan perhitungan matematika. Bila Anda menikah dengan satu wanita, penghasilannya 10 juta, kalau menikah lagi berarti penghasilannya harus 20 juta. Kalau tiga, nanti tambah lagi, harus 30 juta. Entah dari mana dalil yang diambil, yang jelas dibuat perhitungan seperti itu. Ini masalah pembagian warisa atau masalah apa? Sementara kalau orang punya anak, tidak ada syaratnya, seperti “Anda silahkan tambah anak sebanyak-banyaknya, penghasilannya seperti itu ya sudah, qana’ah saja.”
Ada sebagian yang membahas seperti itu. Dikatakan, “ini masalah tanggung jawab.” Betul ini masalah tanggung jawab, para ulama juga mengingatkan bahwa ini adalah masalah tanggung jawab. Bertambahnya tanggung jawab berarti bertambahnya kewajiban Anda. Atau kita katakan ini bisa berpotensi menimbulkan fitnah. Bila seperti itu, ada orang yang menambah mobil, mengapa tidak kita ingatkan bahwa menambah mobil itu adalah fitnah, harta itu adalah fitnah? Mengapa ketika ada orang yang membeli mobil baru, rumah baru, kita katakan “Maa syaa Allah, baarakallahu fiik.” Seolah-olah dengan membeli mobil dan rumah baru berarti dia bertambah kebaikannya. Akan tetapi jika orang yang melakukan poligami dikatakan, “Wah hati-hati ini fitnah. Banyak contoh-contoh yang gagal. Banyak menimbulkan pro dan kontra.” Nah bagaimanakah dengan masalah kendaraan yang ditambah oleh orang tersebut? Bukankah juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sabdanya ;
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتْنَةُ اُمَّتِي المَالُ
“Sesungguhnya masing-masing umat itu ada fitnahnya, maka fitnah bagi umatku adalah harta.” HR. At Tirmidzi
Komentar