Hukum-Hukum Seputar Ramadhan

Hukum-Hukum Seputar Ramadhan

Tulisan tentang “Hukum-Hukum Seputar Ramadhan” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala.

Hukum-Hukum Seputar Ramadhan

Menit ke-”00:37” Pertama-tama kita panjatkan syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memujiNya, memohon pertolongan, dan berlindung kepadaNya dari kejahatan diri kita. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak kita sembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarga, dan para sahabat beliau. Serta para pengikutnya sampai akhir zaman. 

In syaa Allah pada kesempatan malam hari ini kita akan membahas beberapa hukum yang penting yang berhubungan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah yang sebentar lagi kita akan memasukinya, in syaa Allah.

Menit ke-”02:52” Ibadah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umatNya pada bulan suci ini adalah ibadah puasa. Inilah ibadah yang dengannya bulan Ramadhan dikhususkan. 

Puasa adalah kewajiban dalam bulan ini. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah[2]: 183)  

Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya ibadah puasa juga merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Dia adalah salah satu rukun di antara rukun-rukun yang lain, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan ibadah ini karena di dalamnya terdapat berbagai manfaat yang besar dan hikmah-hikmah yang bisa hamba-hambaNya peroleh, baik di dunia maupun di akhirat.

Makna Puasa

Menit ke-”06:18” Puasa artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, diiringi dengan niat dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa ini diwajibkan dalam seluruh rangkaian hari selama bulan Ramadhan. 

Dan puasa merupakan salah satu ibadah yang paling agung. Karena di dalamnya terkumpul macam-macam kesabaran yang tiga, yaitu sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian sabar untuk tidak bermaksiat kepada-Nya, dan sabar kepada takdir-takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam FirmanNya dalam hadits qudsi,

الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151) 

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan bahwasanya Dia sendiri yang akan memberikan pahalanya. Padahal kita mengetahui bahwa semua ibadah itu kita lakukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan Dia yang akan memberikan pahalanya

Namun ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan demikian, itu menunjukkan kekhususan puasa di antara amalan-amalan yang lain. 

Manfaat Puasa

Puasa memiliki berbagai manfaat yang sangat besar yang akan kembali kepada pribadi dan masyarakat Islam. Baik yang berhubungan dengan akhlak dan adab, masalah-masalah sosial, saling menyayangi, bekerja sama, dan saling merasa memiliki di antara mereka. 

Kemudian juga di antara manfaatnya adalah pada bulan Ramadhan ini akan banyak umat Islam yang berbuat baik, bersedekah, dan memberikan apa yang dia miliki kepada orang lain.

Menit ke-”10:45” Pada kajian malam hari ini, In syaa Allah kita akan mempelajari bersama beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berhubungan dengan puasa dan bulan Ramadhan. 

Hukum Seputar Ramadhan

1. Puasa satu hari sebelum Ramadhan

Hadits yang pertama adalah hadits riwayat Abu Hurairah. Di mana beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082) 

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Beliau ingin ada perbedaan antara hal-hal yang wajib dengan hal-hal yang sunnah. Oleh karenanya, di sini beliau melarang orang untuk mendahului puasa Ramadhan dengan satu atau dua hari sebelumnya, sehingga bersambunglah puasa 1-2 hari tersebut dengan bulan Ramadhan. Hal ini dilarang. 

Dan salah satu maksud pelarangan tersebut adalah agar kita memiliki persiapan yang cukup untuk menghadapi bulan Ramadhan yang cukup panjang. Dalam hadits ini juga beliau memberikan pengecualian bahwasanya dibolehkan untuk berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan bagi orang-orang yang biasa melakukan puasa pada hari-hari tersebut. 

Misalnya orang yang biasa berpuasa pada hari Senin dan Kamis, kemudian bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ia boleh tetap melakukannya. 

Demikian juga orang yang mengqadha/mengganti puasa yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun yang lalu. Misalnya juga orang yang bernazar untuk berpuasa pada hari tersebut sejak jauh hari. 

Contoh-contoh ini pengecualian dari hukum yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebutkan dalam hadits di atas. Dan sekali lagi, dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin kita membuat perbedaan antara yang wajib dengan yang sunnah. Dan juga agar kita bersiap-siap di bulan Ramadhan, sehingga kita bisa mengisinya dengan sebaik mungkin.

2. Hilal sebagai patokan Ramadhan

Menit ke-”14:25” Hadits yang kedua adalah hadits riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 

صوموا لريته, و أفطروا لرؤيته, و انسكوا لها, فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين, فإن شهد شاهدان فصوموا و أفطروا

“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah [bilangan bulan Sya’ban] tiga puluh hari, jika dua orang bersaksi, berpuasalah kalian dan berbukalah” (HR.  Al-Bukhari no. 1776, An-Nasa’i 4/132, Ahmad 4/321, Daruqutni 2/167)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya yang dijadikan patokan dalam masuknya bulan Ramadhan atau selesainya bulan Ramadhan, dan masuknya Idul Fitri adalah hilal, yaitu bulan sabit yang muncul di setiap awal bulan. Inilah yang dijadikan patokan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. 

Dalam hadits yang lain pada shahihain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080)

Jadi seandainya jilal tidak nampak pada tanggal 29, maka kita anggap bahwa bulan Sya’ban jumlahnya 30 hari. Dan hadits ini menafsirkan riwayat pertama dari hadits Abdullah bin Umar yang sudah kita sebutkan di depan.

Menggenapkan Bulan Sya’ban

Menit ke-”16:47” Di antara hukum-hukum yang bisa kita ambil dari hadits yang kita bahas sekarang ini adalah jika seandainya hilal tidak tampak, baik itu karena mendung, cuaca yang kurang baik, debu yang menghalangi pandangan kita kepada hilal/ bulan sabit, maka yang harus kita lakukan adalah menjadikan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari. 

Demikian juga saat kita berusaha untuk melihat hilal sebelum Syawal, yaitu di akhir bulan Ramadhan kemudian tidak tampak hilal tersebut karena mendung atau cuaca yang kurang baik, maka yang menjadi kewajiban kita adalah menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari.

3. Berkah dalam sahur

Menit ke-”19:51” Hadits yang ketiga adalah hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095)

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk makan sahur. Sahur adalah makan dan minum pada waktu sahar, yaitu di akhir malam. Kemudian dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan hikmah yang ada di balik disyariatkannya sahur. 

Di sini beliau menyebutkan bahwasanya dalam sahur itu ada berkah. Dan berkah ini mencakup manfaat-manfaat dunia dan akhirat. Di antaranya yang pertama adalah menolong kita untuk beribadah dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada esok harinya. Karena orang yang tidak sahur itu akan merasa lapar dan dahaga, sehingga tidak bersemangat untuk menjalankan aktivitasnya. Dan mungkin dia hanya bermalas-malasan sepanjang hari karena meninggalkan sahur. 

Yang kedua, di antara berkah yang ada dalam sahur adalah bahwasanya orang yang sahur itu tidak bosan untuk mengulangi puasa pada hari setelahnya. Kebalikannya, orang yang tidak sahur maka dia barangkali bosan untuk berpuasa pada esok harinya. 

Kemudian yang ketiga adalah meraih pahala karena mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Meneladani beliau karena sahur telah beliau contohkan dan perintahkan untuk orang-orang yang mau berpuasa. Jadi ini adalah pahala tersendiri bagi orang yang melakukannya. 

Lalu yang keempat adalah kita bisa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada akhir malam yang merupakan waktu yang sangat mahal dan bernilai. Kita bisa berdzikir atau melakukan ibadah yang lain sampai tiba waktu subuh.

4. Mengakhirkan sahur

Menit ke-”24:10” Hadits yang keempat adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ ، قَالَ : قُلْتُ : كَمْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةٍ

“Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melaksanakan shalat. Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa jarak antara adzan dan sahur?” Dia menjawab, ‘Seperti lama membaca 50 ayat’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita bisa melihat dari kisah ini bahwasanya di antara sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah mengakhirkan sahur sampai sebelum waktu adzan subuh. Dan di sini dijelaskan bahwasanya jarak antara waktu sahurnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan waktu adzan subuh itu sebanyak kita membaca sekitar 50 ayat Al-Qur’an. 

Jadi jelas, bahwasanya waktu tersebut bukan waktu yang panjang. 

Ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan apa yang telah beliau perintahkan untuk mengakhirkan sahur sampai mepet waktu menjelang subuh. Dan waktu adzan subuh adalah waktu kita mulai berpuasa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah[2]: 187)  

Dengan terbitnya fajar dan dikumandangkannya adzan subuh, maka hendaklah kita segera meninggalkan makan dan minum, lalu segera berpuasa untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Keadaan junub ketika masuk waktu subuh

Menit ke-”27:52” Hadits yang ke-5 adalah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anhuma di mana keduanya mengatakan;

كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dan At Tirmidzi)

Hadits ini ini berlaku untuk puasa wajib dan puasa sunnah. Artinya orang yang puasa wajib maupun sunnah, tidak masalah baginya jika dia dalam keadaan junub ketika masuknya waktu fajar, dan jika pada waktu tersebut ia segera berhenti dan memulai menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Maka dia pun terhitung puasa meskipun saat masuk waktu fajar dia masih dalam keadaan junub. 

Hadits ini juga menunjukkan bolehnya berhubungan suami-istri pada malam-malam bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Dan dibolehkan juga untuk berhubungan suami-istri sekalipun sebelum adzan subuh. Namun jika sudah berkumandang adzan, maka hendaknya segera berhenti dan tidak melanjutkannya. 

Dengan demikian, siapa saja yang melakukan seperti itu, baik saat puasa wajib maupun puasa sunnah, maka keadaan dia junub saat adzan subuh itu tidak membahayakan dia. Dan dia tetap terhitung sebagai orang yang berpuasa penuh.

6. Makan ketika puasa karena lupa

Menit ke-”31:41” Hadits yang ke-6 adalah hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Barang siapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155). 

Hadits ini menunjukkan bahwasanya agama kita ini dibangun di atas kemudahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani kita dengan apa yang tidak kita mampui, Dia tidak menghukum kita dengan apa-apa yang di luar kesengajaan/ ikhtiar/ pilihan kita, maupun yang kita lakukan dengan tidak sadar. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak menghukum orang yang lupa. Sebagaimana firmanNya; 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ

“(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”. (QS. Al-Baqarah[2]: 286) 

Dalam hadits, penafsirannya disebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “Aku telah melakukannya”. Artinya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjawab doa kita untuk tidak menghukum jika kita lupa ataupun melakukan kesalahan karena tidak tahu. 

Hadits ini menunjukkan bahwasanya orang yang lupa saat puasa, sehingga dia makan atau minum, maka berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya makan dan minum. Dan hal tersebut tidak membahayakan puasanya. Maka dia boleh meneruskannya seakan-akan dia tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak puasanya.

7. Berhubungan suami-istri pada siang hari bulan Ramadhan

Menit ke-”38:14” Hadits yang ke-7 adalah hadits Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu di mana beliau berkisah;

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)[1]

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits/ kisah yang panjang ini. Yang pertama adalah bahwasanya bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan termasuk dosa besar yang membinasakan. 

Karena dalam hadits ini disebutkan ada orang yang datang pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, “Aku telah binasa/ celaka/ binasalah aku.” 

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membiarkan dia mengucapkan kalimat tersebut, itu menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak salah. Karena seandainya apa yang dia katakan salah, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskan bahwasanya hal tersebut tidak benar. 

Kemudian di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah bahwasanya orang yang berhubungan dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan, maka dia harus menebusnya dengan tebusan yang sangat berat. 

Yang pertama adalah mengqadha sejumlah hari yang puasanya batal pada hari itu. Kemudian yang kedua adalah menggantinya dengan kaffarah. Kaffarah ada tiga macam, secara berurutan dimulai dengan membebaskan budak. Kalau tidak bisa, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak bisa, baru berpindah ke yang ketiga yaitu memberikan makan kepada 60 orang miskin. 

Jika si istri menuruti permintaan suami untuk melakukan perbuatan ini, maka dia pun juga harus melakukan kewajiban yang sama. Namun jika dia dipaksa oleh suaminya, maka dia tidak wajib untuk melakukan kaffarah yang kita sebutkan ini.

8. Niat puasa sebelum fajar

Menit ke-”44:46” Hadits yang ke-8 adalah hadits Hafshah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barang siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya (tidak sah puasanya).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya orang yang berpuasa itu harus meniatkannya pada waktu malam, sebelum mulainya waktu puasa yaitu terbit fajar. Dan syarat ini khusus untuk puasa wajib saja. Adapun puasa sunnah maka tidak diwajibkan untuk meniatkan setiap malam. Jika ada seseorang yang melakukan niat pada siang hari untuk puasa sunnah, maka puasa tersebut sah baginya. 

Misalnya orang yang tidak makan pada waktu pagi kemudian dia ingin meneruskan untuk tidak makan sampai malam harinya, maka dia boleh meniatkannya pada siang itu juga. Itu sah bagi dia. 

Dalilnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,

 دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» فَقُلْنَا: لَا قَالَ: «فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ» . ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: «أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا» فَأَكَلَ.

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurma, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154)[2]

Hal ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum makan pagi itu dan belum niat untuk berpuasa. Namun ketika beliau tidak mendapatkan sesuatu untuk dimakan, maka akhirnya beliau niatkan hari itu untuk berpuasa. Dan niat ini baru beliau lakukan pada waktu pagi hari. 

9. Menyegerakan berbuka puasa

Menit ke-”49:37” Hadits yang ke-9 adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ. متفق عليه

“Seseorang itu senantiasa berada dalam kebaikan selagi mereka selalu menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya yang sunnah dalam berbuka adalah menyegerakannya. Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mencontoh teladan beliau. Tidak seperti yang sebagian orang lakukan dengan menunggu sampai bintang-bintang bermunculan. Yaitu setelah agak larut malam. 

Ini bukanlah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan yang terbaik adalah mengikuti apa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ajarkan. Dalam hal ini, beliau mengatakan orang-orang dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa. 

Beberapa waktu yang lalu telah kita bahas bahwasanya yang sunnah dalam sahur adalah mengakhirkannya. Jadi jelaslah bagi kita bahwa di antara sunnah puasa adalah mengakhirkan waktu sahur dan menyegerakan berbuka puasa setelah waktunya tiba.

10. Berbuka puasa dengan makanan bergizi

Menit ke-”52:49” Hadits yang ke-10 adalah hadits Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورٌ

“Jika salah seorang dari kalian berbuka puasa, hendaklah berbuka dengan kurma, jika ia tidak ada, hendaklah berbuka dengan air, sesungguhnya ia adalah penyucian kotoran.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima)

Hadits ini menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mana beliau menganjurkan umat Islam yang selesai berpuasa untuk berbuka dengan makanan yang bergizi dan menguatkan. 

Dalam hadits ini, berbuka dengan kurma. Kurma ini sangat sangat baik dan bermanfaat untuk kesehatan hati atau liver kita. Dan kurma termasuk ke dalam salah satu makanan yang bergizi. Bahkan yang paling bergizi. Kalau kita bisa melakukannya, alangkah baiknya. Namun jika tidak ada, maka kita bisa memulainya dengan berbuka dengan dengan air dan dengan makanan atau minuman yang lain yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam halalkan.

11. Berdusta ketika berpuasa

Menit ke-”55:27” Hadits yang ke-11 adalah hadits riwayat Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Kita ketahui bahwasanya makan dan minum ini dibolehkan di luar waktu puasa. Sedangkan berbohong/ melakukan/ mengucapkan kebohongan dan melakukan kebodohan, maka ini dilarang dalam semua keadaan. 

Oleh karenanya, orang yang tidak meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam hadits ini, maka untuk apa dia berpuasa? Untuk apa dia meninggalkan makan dan minum kalau dia tidak meninggalkan hal yang dilarang, baik dalam keadaan puasa maupun di luar puasa? 

Berkata bohong, melakukan kebohongan, atau melakukan kebodohan ini semuanya dilarang dalam semua keadaan. Namun lebih tegas lagi larangannya ketika kita sedang berpuasa. Karena larangan-larangan ini bisa mengakibatkan dosa untuk kita dan mengurangi pahala puasa kita.

12. Dilarang mencaci-maki ketika berpuasa

Menit ke-”57:47” Hadits yang berikutnya adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنَّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah ia mengucapkan perkataan kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ia dicaci oleh orang atau hendak diajak berkelahi, maka hendaknya ia mengatakan ‘Aku sedang puasa.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits ini menunjukkan larangan untuk mencaci-maki atau bertengkar selama kita berpuasa.

13. Mencumbu istri ketika berpuasa

Menit ke-”01:00:01” Hadits yang ke-13 adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha di Shahih Bukhari dan Muslim, beliau berkata; 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbu (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa itu beliau lakukan pada saat bulan Ramadhan. Hadits ini menunjukkan bahwasanya seseorang boleh mencium istrinya ketika berpuasa atau memegang istrinya ketika sedang puasa tapi dengan pembatas seperti kain, dan dengan syarat dia mengetahui dirinya tidak akan tergoda untuk melakukan hal yang lebih jauh. 

Adapun jika dia tahu bahwa dia lemah, jika dia mencium atau memegang akan membuat dia melakukan hal yang lebih jauh dari itu, maka ia tidak boleh untuk melakukannya.

Menit ke-”01:01:47” Barangkali itulah tadi beberapa hadits yang bisa kami bacakan pada kesempatan malam hari ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk bisa menyambut Ramadhan dengan baik dan mengisinya dengan amalan-amalan baik. 

Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kita kepada jalan yang lurus dan semoga Dia limpahkan shalawat dan salam kepada Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para pengikut beliau.

Mp3 Kajian Hukum-Hukum Seputar Ramadhan

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Hukum-Hukum Seputar Ramadhan” ini di media sosial yang Anda miliki baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum.

Catatan:

[1] https://rumaysho.com/3476-hubungan-intim-di-siang-hari-bulan-ramadhan.html
[2] https://rumaysho.com/3429-niat-puasa-sunnah-boleh-di-pagi-hari.html

 

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: