Tulisan tentang “Antara Syariat dan Adat Istiadat” adalah transkrip dari khutbah jumat yang disampaikan Ustadz Ahmad Sabiq, Lc. Hafizhahullahu Ta’ala.
Navigasi Catatan:
Khutbah Jumat: Antara Syariat & Adat Istiadat
Khutbah Jumat Pertama
Jamaah shalat Jumat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,
Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang nabi dan rasul 15 abad yang lalu, tepatnya di jantung Kota Mekkah di jaziratul Arab. Ketika itu, Negeri Mekkah secara khusus atau bangsa Arab secara umum, bukan sebuah bangsa yang baru melainkan sebuah bangsa yang sudah tua/ kuno. Karena Mekkah berdiri sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang menempatkan istri dan putera beliau Hajar dan Ismail, yang kemudian berkembang menjadi satu peradaban.
Sebagai sebuah negeri yang sudah lama, maka mereka pasti mempunyai peradaban. Mereka sudah memiliki agama yang turun-temurun sejak zaman Nabi Ismail ‘alaihissalam sampai sebelum zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mereka memiliki budaya yang diwarisi dari generasi ke generasi, peradaban, adat-istiadat, dan mereka memiliki semua perangkat hidup yang lainnya selayaknya sebuah masyarakat yang berada dalam satu komunitas tertentu.
Tatkala Islam datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapati masyarakat kota Mekkah beragama paganisme. Mereka menyembah patung/ berhala. Meskipun mereka meyakini bahwasanya itu bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam masalah sosial budaya, mereka memiliki dua kasta. Ada orang-orang merdeka dan ada kaum budak. Mereka sangat zalim kepada orang-orang yang lemah/ tidak berdaya.
Dari sisi peradaban, mereka juga telah mempunyai peradaban. Bahkan bukan sekedar peradaban ringan. Peradabannya adalah peradaban internasional. Tatkala mereka sudah mampu berdagang sampai ke Negeri Yaman hingga Syam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ, إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS. Quraisy[106]: 1-2)
Dua Konsep Islam
Ketika Islam datang, dibawa oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengemban risalah langit, maka beliau merubah itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merubah itu semua dengan dua konsep utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى
“supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.” (QS. Ibrahim[14]: 1)
Islam datang membawa satu misi, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya[21]: 107)
Maka apapun itu yang bertentangan dengan syariat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ubah. Dari yang menyembah banyak Tuhan, menjadi Tuhan yang Esa, dari yang tidak menyamakan manusia antara satu dan yang lainnya, dijadikan semua manusia sama sederajat. Karena semua manusia adalah dari Adam ‘alaihissalam, dan Adam itu berasal dari tanah.
Ketika mereka mempunyai adat-istiadat tidak menghormati wanita, maka Islam menjadikan kaum wanita sebagai kaum yang mulia. Dan berbagai macam perubahan lainnya. Sampai-sampai Islam itu dianggap aneh pada waktu itu.
Agama Yang Asing
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا
“Islam datang dalam keadaan yang asing,” (HR. Muslim no. 145)
Tapi apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengubah semua budaya dan nilai peradaban yang ada pada waktu itu? Tidak, wallahi. Bahasa yang mereka gunakan selama ini tidak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ubah.
Sebagian adat-istiadat yang telah lama mereka jalankan, tidak beliau Shalallahu ‘Alaihi wa sallam ubah. Makan, minum, dan tata caranya tidak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ubah.
Intinya adalah bahwasanya budaya/ peradaban Mekkah/ Arab yang bertentangan dengan syariat, itulah yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ubah. Tapi yang tidak bertentangan dengan syariat itu beliau biarkan, renggangkan, dan teruskan.
Bahkan ada beberapa syariat yang asal-usulnya berawal dari adat kebiasaan bangsa Arab. Ketika itu, bulan Rajab adalah bulan haram. Dan tiga bulan yang lainnya, bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan sebagai bulan haram. Penetapan itu merupakan salah satu budaya/ adat yang sudah ada di zaman sebelumnya.
Karena orang-orang Arab sejak zaman Jahiliyyah memang menganggap keempat bulan tersebut sebagai empat bulan yang terhormat/ mulia, ini karena mereka menganggungkan siapapun yang datang berziarah ke tanah suci.
Islam di Nusantara
Jamaah kaum muslimin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,
Kalau kita kaitkan sejarah yang tadi saya sampaikan dengan kondisi Negeri ini, tidak terlalu jauh berbeda. Islam datang bukan sebagai agama yang pertama. Ketika Islam datang, entah pakai teori Mekkah pada abad ketujuh maupun pakai teori Cina Gujarat pada abad ke-12 dan 13, Islam bukanlah agama yang pertama.
Indonesia, negeri Nusantara, tanah Jawa ini jauh sebelumnya sudah ada peradaban. Budaya asli negeri ini adalah animisme dan dinamisme. Animisme adalah penyembahan kepada roh-roh nenek moyang, sedangkan dinamisme adalah penyembahan kepada benda-benda keramat yang mereka anggap sakral.
Baru kemudian setelah itu datanglah agama Hindu. Dengan teori apapun, Hindu-Budha datang ke negeri kita ini setelah dunia Indonesia mempunyai peradaban. Sehingga peradaban Hindu da Buddha akhirnya menjadi peradaban baru di negeri ini.
Begitu Islam datang, maka Islam pun menggeser peradaban-peradaban yang ada kepada apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tetapkan.
Oleh karena itu, ketika kemudian pada hari-hari ini banyak orang yang berbicara tentang masalah budaya dan syariat, ketahuilah konsep syariat sangat tegas dan jelas. Bahwasanya Islam datang bukan sebagai budaya Arab. Islam datang malah mengubah budaya Mekkah, mengubah peradaban yang ada pada waktu itu. Dan menetapkan serta membiarkan peradaban dan budaya Arab yang memang tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rahmat Bagi Seluruh Alam
Maka tatkala Islam datang ke negeri nusantara ini, konsepnya pun sama. Membawa ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua konsep utama, yaitu;
لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى
“supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.” (QS. Ibrahim[14]: 1)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya[21]: 107)
Apabila dua konsep ini tidak sejalan dengan budaya dan peradaban yang ada di negeri ini, maka muslim hendaknya memegang teguh ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Meskipun hal tersebut dianggap asing dan aneh. Karena memang itu yang pasti akan terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاء
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145)
Tapi apabila budaya/ tuntunan leluhur negeri ini yang sudah turun temurun sejak zaman animisme dan dinamisme, Hindu dan Buddha, itu kemudian tatkala Islam datang tidak bertentangan/ berlawanan, sejalan, dan selaras, maka Islam sama sekali tidak mengganggu gugat.
Semacam jenis pakaian, makanan, bahasa, tutur kata setiap hari, tata cara bergaul, bahkan dalam hal-hal tradisi yang itu tidak bertentangan dengan syariat, Islam malah menganjurkan agar orang mengikuti alur budaya/ tradisi tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barang siapa memakai pakaian syuhrah (pakaian yang tampil beda), niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal (pakaian kehinaan) pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 4029 dan Ibnu Majah no. 360)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang arif, mampu untuk memilah dan memilih kapan kita memegang syariat dan kapan kita tetap memegang budaya dan tradisi negeri ini.
Khutbah Jumat Kedua
Jamaah kaum muslimin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,
Kita hidup mempunyai banyak label/ sisi kehidupan. Kita adalah seorang muslim dan orang Indonesia, kita berbangsa Nusantara. Kemudian ketika semua ini selaras dan tidak bertentangan, keberadaan saya sebagai orang Jawa, kita sebagai orang Indonesia yang nusantara, dan keberadaan kita sebagai seorang muslim itu selaras tidak bertentangan, maka jalankan dan jangan dibenturkan.
Karena Islam bukan budaya Arab. Islam sendiri datang merubah banyak peradaban dan budaya Arab yang ada pada waktu itu. Tapi ketika harus bertentangan/ berbenturan/ berseberangan dan maka kita memiliki dua pilihan, yaitu memegang teguh ajaran agama kita ataukah memegang teguh warisan budaya leluhur kita.
Sangat bertentangan. Tidak ada kata kecuali kita mengatakan bahwasanya saya adalah seorang muslim. Karena itulah prinsip dan sikap yang akan menyelamatkan dunia dan akhirat kita ketika menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ikrarkan bahwasanya saya adalah seorang muslim, saya bangga menjadi seorang muslim tanpa melepas predikat saya sebagai seorang Indonesia. Tanpa melepas predikat saya sebagai bangsa Jawa.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang mampu berislam tanpa harus melepas negeri Indonesia sebagai negeri kita. Dan kita mampu berindonesia tanpa melepas keislaman yang akan kita pertanggungjawabkan nanti di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Video Khutbah Jumat: Antara Syariat dan Adat Istiadat
Mari turut menyebarkan “Khutbah Jumat: Antara Syariat dan Adat Istiadat” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum.
Komentar
Sangat bagus dan sangat membantu