Nasihat Untuk Sang Fakir

Nasihat Untuk Sang Fakir

Tulisan tentang “Nasihat Untuk Sang Fakir” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala.

Nasihat Untuk Sang Fakir

Para hadirin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati,

Menit ke-3:30 Kemarin Syaikh telah menjanjikan bahwasanya pembahasan kita pada halaqah/ pengajian kita hari ini adalah tentang permasalahan yang berkaitan dengan kefakiran/ kemiskinan. Yaitu masalah yang dihadapi oleh banyak masyarakat dan bagaimana Islam memberikan solusi dalam menghadapi permasalahan ini.

Syaikh telah menjelaskan bahwasanya telah tsabit/ valid/ sah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlindung (berta’awudz) dari fitnah kemiskinan (al-faqr). Karena sesungguhnya al-faqr (kemiskinan) itu merupakan fitnah. Sebagaimana juga al ghina (kekayaan) itu juga merupakan fitnah dan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kaya dan Miskin adalah Fitnah

Seseorang yang fakir dan miskin, Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan kefakirannya. Dan demikian juga seseorang yang kaya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan kekayaannya. Oleh karena itu, kefakiran mendatangkan fitnah, demikian pula bahwa kekayaan juga mendatangkan fitnah.

Dalam Hadits yang Shahih yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdoa;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَالْهَرَمِ وَالْمَغْرَمِ وَالْمَأْثَمِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْغِنَى وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْفَقْرِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّ قَلْبِي كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَبَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمغْرب

“Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari kemalasan, aku berlindung kepada Engkau dari pikun, dari dosa dan dari hutang. Dan aku berlindung kepada Engkau dari fitnah di kuburan, demikian juga adzab di kuburan. Aku berlindung kepada  Engkau ya Allah dari fitnahnya api neraka dan juga adzab api neraka. Dan Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari keburukannya fitnah kekayaan dan aku berlindung kepada Engkau ya Allah dari fitnah kefakiran dan aku berlindung kepada Engkau ya Allah dari fitnah Al Masih Dajjal. Ya Allah bersihkanlah dosa-dosaku dari diriku dengan air salju dan air dingin. Ya Allah bersihkanlah hatiku dari dosa-dosa sebagaimana Engkau membersihkan pakaian yang putih dari kotoran dan Ya Allah jauhkanlah aku dari dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat.” (Hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim)

Para pendengar radio Rodja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati,

Menit ke-08:12 Ketahuilah bahwasanya kemiskinan dan kekayaan harta yang berlimpah, keduanya merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala terkadang menguji sebagian hamba-Nya dengan kefakiran dan kemiskinan. Sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji sebagian hamba-Nya dengan kekayaan. Oleh karena itu semuanya diuji, baik dengan kemiskinan ataupun dengan kekayaan.

Hina dan Mulia

Syaikh mengajak kita untuk merenungkan sebuah ayat yang terdapat dalam surah Al Fajr, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.” (QS. Al-Fajr[89]: 15)

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.” (QS. Al-Fajr[89]: 16)

Lihatlah dalam ayat ini orang yang diberi kemiskinan, dia merasa bahwasanya Allah Subahanhu wa Ta’ala telah menghinakan dia. Dan sebaliknya, orang yang diberi kekayaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilapangkan hartanya, dia merasa bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan dia.

Apakah ini benar bahwasanya setiap yang diberi harta berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakannya, dan setiap yang disempitkan hartanya berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala menghinakannya? Kita lihat jawabannya, ternyata selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab langsung dalam surah Al Fajr. Kata Allah Subahanhu wa Ta’ala;

كَلَّا ۖ

“Sekali-kali tidak!” (QS. Al-Fajr[89]: 17)

Persangkaan ini tidak benar. Artinya tidak setiap orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan dan lapangkan rezekinya itu berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakannya. Sebagaimana pula bukan merupakan kelaziman kalau ada seseorang yang disempitkan hartanya, kemudian jadi orang miskin, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dia. Tidak!

Yang benar dari  الإكْرَامُ (kemuliaan) itu adalah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan seorang hamba taat kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala, rajin beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakannya.

Dan sebaliknya, الإِهَانَةُ (penghinaan) yaitu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan seorang hamba lari dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak beribadah, dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kaya Bersyukur, Miskin Bersabar

Menit ke-11:48 Setelah kita mengetahui dari penjelasan tentang ayat ini dalam surah Al Fajr, maka kita mengetahui bahwasanya semua perkara itu merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekayaan merupakan ujian dan kemiskinan juga merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala uji dengan kekayaan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat apakah dia bersyukur ataukah dia malah kufur kepada nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebaliknya, orang yang miskin demikian juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala uji dia dengan kemiskinan, Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat apakah dia bersabar ataukah dia malah tidak bersabar. Maka orang yang beruntung dari mereka berdua, sama saja apakah miskin ataupun kaya, adalah yang menegakkan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menegakkan ubudiyah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang kaya maka ubudiyahnya (peribadatannya) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bersyukur atas nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada dia dan menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun orang yang miskin/ fakir yang diuji dengan kemiskinan, maka peribadatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sikap bersabar atas ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan.

Menit ke-0:13 Jika yang kaya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia telah beruntung dan telah menang. Demikian juga jika si miskin bersabar, maka dia telah beruntung dan telah menang. Si kaya menang dengan mendapatkan pahala orang-orang yang bersyukur, dan si miskin menang dengan mendapatkan pahala orang-orang yang bersabar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menit ke-14:15 Kedua perkara ini telah dikumpulkan dalam sebuah hadits. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda;

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim, no. 5318)

Dan inilah perkara orang mukmin.

وَلَيْسَ ذَالِكَ إَلَّا لِلْمُؤْمِنِ

“dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin.”

Orang mukminlah yang jika diberi kesenangan dia bersyukur dan jika diberi kesulitan dia bersabar.

Yang Paling Mulia

Menit ke-16:19 Berdasarkan apa yang tadi telah kita jelaskan, maka kita dapati para ulama berselisih pendapat. Mana yang lebih afdhal, mana yang lebih mulia, apakah orang yang  الغَنِيُ الشَاكِرُ (orang yang kaya dan bersyukur) ataukah الفَقِيْرُ الصَابِرُ (orang yang fakir namun dia bersabar) atas apa yang menimpanya.

Khilaf di antara para ulama, mana di antara mereka berdua yang lebih mulia. Permasalahan ini pernah Ibnul Qayyim rahimahullah tanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau pernah bertanya kepada gurunya tentang permasalahan ini. Maka beliau mengatakan bahwasanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan jawaban yang menenangkan hati;

أفضلهما أتقاهم لله تعالى فإن استويا في التقوى استوى في الدرجة

Yang paling afdhal di antara mereka berdua yaitu yang paling bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ternyata keduanya sama dalam ketakwaan, maka derajat keduanya sama.” (Badai’ul Fawaidh, 3: 683)

Oleh karena itu kita pahami bahwasanya al-ibrah yang menjadi patokan dalam masalah ini yaitu tahqiq taqwallah, bagaimana seseorang mewujudkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat[49]: 13)

Selanjutnya: Solusi Islam Terhadap Kemiskinan (Bag. 1)

MP3 Kajian Nasihat Untuk Sang Fakir

 

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Nasihat Untuk Sang Fakir” ini di media sosial yang Anda miliki baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum.

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: