Praktek Salaf Terhadap Ibadah Sirriyyah

Praktek Salaf Terhadap Ibadah Sirriyyah

“Praktek Salaf Terhadap Ibadah Sirriyyah” ini adalah transkrip kajian yang dibawakan oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. Hafizhahullahu Ta’ala.

Lihat sebelumnya: Muhadharah Kubra Ke-4: Mengenal Ibadah Sirriyyah

B. Praktek Salaf Terhadap Ibadah Sirriyyah

Menit ke-56:06 Sekarang kita ingin mengetahui tentang bagaimana praktek para Salaf kita di dalam ibadah sirriyyah ini. Kita lihat mereka mempraktekkan ibadah sirriyyah supaya kita bisa mempraktekkan juga dalam kehidupan sehari-hari.

1. Mengilmui agama Islam

Ternyata mengilmui/mendalami Islam, berusaha untuk memahami agama Allah, ini merupakan ibadah sirriyyah. Ketika seseorang duduk bersama orang lain, (maka terlihat) sama, tapi di dalam hatinya memiliki pemahaman terhadap agama Allah. Dia paham tentang masalah aqidah, fiqih, tafsir, padahal kalau dilihat dari luarnya sama dengan yang lain, tapi dia memiliki pemahaman terhadap agama Allah.

Sebagian ulama mengatakan:

العلم صلاة السر ، وعبادة القلب

“Ilmu adalah shalat yang rahasia dan ibadah hati.”

Pemahaman seseorang terhadap agamanya adalah shalat yang rahasia dan ternyata itu adalah ibadah yang dilakukan oleh hati seseorang. Sehingga tadi kita sebutkan kenapa para ulama memiliki kedudukan yang tinggi di mata manusia? Yaitu karena mereka memiliki ibadah tersembunyi yang satu ini, mereka memiliki pemahaman yang dalam terhadap agama Allah.

Mereka memakai pakaian seperti yang kita pakai, memakan apa yang kita makan, tapi di dalam hati mereka ada pemahaman yang dalam. Inilah ibadah yang mereka lakukan yang tidak dilihat oleh orang lain.

Al Hasan Al-Bashri menyebutkan bagaimana dahulu para Salaf bahkan ketika mereka menuntut ilmu, mereka berusaha untuk -kalau bisa tidak dilihat oleh orang lain- maka mereka sembunyikan. Berkata Hasan Al-Bashri :

إِنْ كَانَ الرَّجُل لَقَدْ جَمَعَ الْقُرْآن وَمَا يَشْعُر جَاره , وَإِنْ كَانَ الرَّجُل لَقَدْ فَقِهَ الْفِقْه الْكَثِير وَمَا يَشْعُر بِهِ النَّاس

“Bahwasanya dahulu ada seseorang yang menghafal Al-Qur’an dan tetangganya tidak menyadarinya, dan ada yang memahami banyak perkara agama, dan manusia tidak menyadarinya.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Mubaarak dalam Az Zuhd wa Ar Raqaaiq hal: 45)

Dia mungkin ke pasar, keluar masuk rumah menghantar anaknya, mengantar istrinya, tapi dia sembunyikan amalan menghafal Al-Qur’an sampai dia selesai Al-Qur’an dan tetangganya tidak tahu bahwasanya Si Fulan telah menghafal Al-Qur’an, dia jadikan ini rahasia antara dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Mungkin juga seseorang memahami banyak perkara dalam agama ini. Seseorang mungkin membaca buku, mendengarkan ceramah, mentadabburi Al-Qur’an, memahami ucapan para ulama, dan manusia tidak mengetahui bahwa orang ini sudah mencapai derajat yang tinggi di dalam masalah ilmu.

Seseorang mungkin tidak banya berbicara, bahkan bukan seorang penceramah, tapi dia belajar dan ingin memahami agama Allah. Karena ini adalah agama/ajaran Rabbnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dia sebagai seorang hamba Allah ingin memahami agama Allah dan dia menjadi orang yang paham benar tentang aqidah, paham benar tentang fiqih, paham benar tentang tafsir, dan banyak manusia yang tidak tahu bahwasanya dia telah memahami itu semua.

2. Ibadah – ibadah hati secara umum ( takut, harap, cinta, berbaik sangka, tawakkal, tafakkur terhadap alam semesta, tadabbur Al Quran dll)

Di antara praktek para Salaf dalam masalah ibadah sirriyyah adalah mereka sangat memperhatikan ibadah-ibadah hati secara umum. Karena memang dia bukan sesuatu yang ditampakkan, dia adalah amalan hati. Seperti misalnya rasa takut kepada Allah, rasa harap kepada Allah, cinta kepada Allah, bertawakal kepada Allah, seseorang tafakur (memikirkan alam semesta), seseorang mentadaburi ayat-ayat Allah, maka ini adalah amalan-amalan hati.

Lihat: amalan hati

3. Meninggalkan kemaksiatan dalam keadaan sendiri atau ketika orang lain tidak melihatnya seperti melihat atau mendengar yang diharamkan, mengambil harta tanpa hak, berzina dll.

Di antara praktek para Salaf terhadap ibadah sirriyyah adalah meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam keadaan mereka sendiri atau bersama orang lain tapi orang lain tidak melihatnya.

Kita tahu bahwasanya taat kepada Allah itu ada dua macam; yaitu taat kepada Allah dengan menjalankan perintah dan taat kepada Allah dengan menjauhi larangan. Para Salaf dahulu meninggalkan larangan Allah dalam keadaan mereka sendiri. Dalam keadaan sendiri saja mereka meninggalkan larangan Allah, apalagi dalam keadaan bersama orang lain.

Mereka tidak melihat sesuatu yang diharamkan dalam keadaan sendiri, tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan, tidak mengambil hak orang lain meskipun orang lain tidak melihat dan di depannya ada harta orang lain maka dia tidak akan berani untuk mengambil harta tersebut. Meninggalkan sesuatu yang diharamkan adalah termasuk ibadah sirriyyah.

Disebutkan oleh sebagian bahwasanya ternyata yang demikian juga banyak dilakukan oleh orang-orang shalih dizaman kita. Ada yang menghikayahkan bahwa ada sebagian orang-orang shalih yang mereka sedang melakukan safar dan ternyata disitu negerinya adalah banyak wanita-wanita yang tidak menjaga auratnya. Maka dia memejamkan matanya sampai menabrak sesuatu.

Sebagian menceritakan kenapa dia tidak menundukkan sebagaimana yang dilakukan oleh yang lain? Yaitu karena dia ingin meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah tanpa dilihat oleh orang lain. Karena ketika dia menundukkan wajahnya maka dilihat oleh orang lain bahwasanya dia menundukkan pandangan. Tapi kalau dia dalam keadaan lurus dan dia memejamkan mata, maka orang lain tidak melihat dia memejamkan mata. Ternyata dia menabrak. Inilah usaha sebagai mereka untuk menutupi amal shalih.

4. Melakukan ibadah sunnah tanpa diketahui orang lain

a. Sedekah

Contohnya adalah sedekah/berinfak. Para Salaf dahulu berusaha bagaimana mereka melakukan صدقة السر (sedekah yang tidak dilihat oleh orang lain) sampai keluarganya juga tidak tahu.

Kisah Zainal Abidin (sekitar th 93 H). Disebutkan dalam biografi beliau bahwasanya ketika beliau masih dalam keadaan hidup, beliau kalau malam hari keluar dari rumahnya membawa tepung dengan tangan beliau sendiri. Kemudian beliau membagikan tepung tersebut kepada para janda dan juga orang-orang fakir dan miskin, mengetuk pintu mereka dan meletakkan tepung tersebut di depan rumah mereka. Dan mereka tidak tahu siapa yang bersedekah dengan tepung tersebut.

Sampai meninggal Zainal Abidin. Ketika beliau meninggal, maka orang-orang fakir miskin dan para janda yang biasa mendapatkan makanan di depan rumahnya, setelah itu mereka tidak mendapatkan makanan tersebut. Dan ketika dimandikan, manusia melihat di belakang punggung Zainal Abidin ada bekas berwarna hitam yang menunjukkan bahwasanya beliau terbiasa memikul sesuatu yang berat.

Barulah mereka tahu bahwasanya selama ini yang bersedekah adalah Zainal Abidin. Mereka tidak tahu kecuali setelah meninggalnya Zainal Abidin.

b. Puasa

Kisah Dawud bin Abi Hind (sekitar th 140 H). Disebutkan bahwasanya Dawud bin Abi Hind berpuasa selama 40 tahun. Bayangkan ini bukan sesuatu yang sebentar. Beliau berpuasa dan tidak ada di antara keluarganya yang mengetahui bahwasanya beliau berpuasa.

Yang dimaksud 40 tahun di sini bukan berarti setiap hari, mungkin beliau melakukan Senin Kamis atau puasa Nabi Dawud, ini dilakukan selama 40 tahun dan tiada seorangpun keluarganya mengetahui yang demikian. Bagaimana caranya?

Berkata Ibnu Adi: “Dawud bin Abi Hind berpuasa selama 40 tahun, tidak ada diantara keluarganya yang tahu, beliau adalah seorang penjahit kulit. beliau membawa makanan beliau dari keluarganya, dan bersadaqah dengan makanan tersebut di jalan, kemudian pulang di malam hari dan makan bersama mereka.” (Disebutkan oleh Qawwaamussunnah Al Ashbahaani dalam Siyar As Salaf Ash Shaalihiin hal: 756)

Jadi yang dipasar tidak tahu bahwasanya beliau berpuasa, keluarganya juga tidak tahu bahwa beliau berpuasa. Yang keluarganya tahu bahwa Si Fulan ini makan malam, ternyata dia berbuka puasa bersama mereka.

c. Membaca Al-Qur’an

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

الجاهرُ بالقُرآنِ كالجاهرِ بالصدقةِ، والمُسِرُّ بالقُرآنِ كالمُسِرِّ بالصدقةِ

“Orang yang mengeraskan suara ketika membaca Al-Qur’an seperti orang yang terang-terangan dalam bersadaqah, dan orang yang merahasiakan ketika membaca Al-Qur’an seperti orang yang merahasiakan shadaqah.” (HR. Ashaabussunan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albani)

Ini secara umum dorongan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam supaya kita merahasiakan ketika membaca Al-Qur’an. Jadi tidak membaca Al-Qur’an itu didengarkan oleh orang banyak, atau harus didengarkan oleh seluruh keluarga kita. Tapi bisa kita merahasiakan dan melirihkan di dalam membaca Al-Qur’an sehingga tidak dilihat oleh orang lain.

Seorang Salaf, yaitu Ar-Rabii ‘ bin Khutsaim (wafat sekitar th 61 H), diceritakan oleh budak wanitanya:

كان عمل الربيع كله سراً، إن كان ليجيء الرجل وقد نشر المصحف فيغطيه بثوبه

“Dahulu amal shalih Ar-Rabii’ semua tersembunyi, sungguh terkadang datang seseorang dan beliau dalam keadaan membuka mushafnya, ketika melihat orang yang datang maka segera beliau menutup mushaf tersebut dengan kainnya.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa 2/107)

Sehingga orang tadi tidak tahu ternyata beliau dalam keadaan membaca mushaf. Ar-Rabii’ ingin supaya amalan tersebut yang tahu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

d. Shalat malam

Kisah Ayyuub As-Sikhtiyaani Rahimahullah disebutkan bahwasanya beliau shalat tahajud semalam suntuk dan berusaha merahasiakannya, ketika datang waktu subuh, beliau mengeraskan suaranya seakan – akan baru bangun saat itu. (Lihat Tadzkiratul Huffaazh 1/131)

Keluarganya tahunya bahwa Ayyuub as-Sikhtiyaani tidur terlelap seperti mereka dan bangun seperti yang lainnya. Ternyata selama semalam suntuk beliau sudah melakukan shalat malam dan tidak ada keluarganya mengetahui yang demikian.

e. Shalat rawatib di rumah

Berkata Hassaan bin ‘Athiyyah (wafat sekitar th 120 H):

صلاة الرّجل عند أهله من عمل السرِّ

“Shalat seseorang diantara keluarganya adalah termasuk amalan yang rahasia.”(Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ 6/72)

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat rawatib (qabliyah maupun ba’diyah) di rumah beliau dan melakukan shalat wajibnya di masjid. Dan ini termasuk amalan yang sirr.

f. Menangis karena Allah

Dari Zaaidah bin Qudaamah (sekitar th 160 H):

أن منصور بن المعتمر ، صام ستين سنة ، يقوم ليلها ، ويصوم نهارها ، وكان يبكي فتقول له أمه : يا بني ، قتلت قتيلا ؟ فيقول : أنا أعلم بما صنعت بنفسي ، فإذا كان الصبح كحل عينيه ، ودهن رأسه ، وفرق شقتيه ، وخرج إلى الناس

“Bahwa Manshuur bin Al Mu’tamir (wafat th 132 H) selama 60 tahun, beliau melakukan shalat malam, dan berpuasa di siang hari, dan beliau menangis, sampai ibunya berkata: ‘Wahai anakku, apakah engkau membunuh orang?’ Beliau berkata: ‘Aku lebih tahu (wahai ibuku) tentang apa yang aku perbuat.’ Kemudian ketika datang pagi beliau mencelak matanya dan meminyaki rambutnya, dan memisahkan dua syiqqah beliau, kemudian keluar rumah.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, dalam Hilyatul Auliyaa 5/41)

Beliau tidak mengatakan “Saya menangis karena takut kepada Allah”, tapi beliau hanya mengatakan secara umum “Saya lebih wahai ibuku tentang apa yang aku lakukan.” Beliau berusaha menutupi jangan sampai menangisnya beliau di malam hari yang biasanya ada bekasnya itu dilihat oleh manusia sehingga orang melihat bahwasanya Si Fulan ini dimalam hari dia dalam keadaan menangis karena Allah.

Berkata Muhammad bin Waasi’ (wafat th 123 H):

لقد أدركت رجالاً كان الرجل يكون رأسه مع رأس امرأته على وسادة واحدة قد بل ما تحت خده من دموعه لا تشعر به امرأته، ولقد أدركت رجالا يقوم أحدهم في الصف فتسيل دموعه على خده ولا يشعر به الذي إلى جانبه

“Sungguh aku menemui orang-orang (shalih) dimana salah sorang diantara mereka tidur bersama istrinya dalam satu bantal, orang shalih tersebut pipinya menangis karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan istri (yang disampingnya) tidak mengetahui. Dan aku menemui orang-orang shalih di antara mereka berada di shaff, kemudian meleleh air matanya, sementara orang yang disampingnya tidak mengetahui.”(Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, dalam Hilyatul Auliya 2/347)

Jasadnya bersama istrinya tapi hatinya bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memikirkan Allah Rabbul ‘Alamin. Ini termasuk usaha mereka untuk merahasiakan amal shalih mereka.

Berkata Hammaad bin Zaid (wafat th 179 H):

كان أيوب في مجلسه، فجاءته عَبرة، فجعل يمتخط، ويقول: ما أشد الزكام

“Dahulu Ayyuub As Sikhtiyaani dalam sebuah majelis, kemudian tiba tiba beliau menangis, maka beliaupun pura-pura membuang ingus dari hidungnya, dan berkata: pilekku sangat parah.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Ja’d dalam Musnadnya hal: 190)

g. Berbuat baik kepada orang lain

Berbuat baik kepada orang lain juga termasuk ibadah sirriyyah yang hendaknya masing-masing dari kita memilikinya.

Dahulu Abu Bakar As-Shiddiq Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu disebutkan bahwasanya beliau mendatangi sebagian wanita yang mereka sudah tua renta dan tidak ada yang melayani mereka, beliau secara sembunyi-sembunyi -padahal beliau seorang khalifah- mendatangi rumah-rumah mereka dan membantu urusan rumah seperti menyapu dan lain-lain dan tidak ada yang mengetahui yang demikian.

Abdullah bin Mubarak disebutkan dalam biografi beliau dan juga kisah yang berkaitan dengan beliau bahwasanya beliau pernah mendapatkan seseorang yang beliau kenal ketika pulang dari Safar ternyata dia dalam keadaan dipenjara. Ketika beliau bertanya kepada manusia ternyata sebabnya adalah karena dia belum bayar hutang. Akhirnya beliau Rahimahullah membayarkan hutang untuk orang tersebut.

Ketika orang tersebut datang, maka Abdullah bin Mubarak bertanya: “Ya Fulan, dari mana engkau, kemana saja, aku mencarimu?” Seakan-akan dia tidak tahu kemana Si Fulan ini. Si Fulan itu menceritakan “Saya dipenjara karena demikian dan demikian dan ada orang yang membantu saya.”

Abdullah bin Mubarak mengucapkan ucapan tadi tujuannya adalah supaya tidak diketahui bahwa ternyata beliau adalah orang yang membantunya. Ini juga bisa kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita membantu orang lain dan tidak harus orang lain tersebut tahu bahwasanya kita yang membantunya.

h. Doa

Doa juga bisa dirahasiakan. Tidak harus kita mendoakan itu didengar oleh orang lain. Ada sebuah kisah Ibnu Al-Munkadir, bahwasanya beliau punya sebuah tempat khusus di Masjid Nabawi yang biasanya beliau shalat di situ. Suatu saat di malam hari, ada orang datang kemudian berdoa yang doanya didengar oleh Ibnu Al-Munkadir. Isi doanya adalah memnta kepada Allah supaya Allah menurunkan hujan. Karena saat itu manusia sudah ber-istisqa’ ternyata belum turun hujan. Maka dia berdoa kepada Allah, meminta supaya diturunkan hujan. Ketika keluar laki-laki ini ternyata sudah ada kilat dan petir yang menunjukkan akan turunnya hujan.

Ibnu Al-Munkadir berusaha untuk mencari siapa orang ini. Dia mencari rumahnya di kota Madinah. Dan setelah dia tahu, maka dia berkenalan dengan orang ini. Singkat cerita orang ini marah karena apa yang dia lakukan diketahui oleh orang lain.

Keesokan harinya ketika Ibnu Al-Munkadir mendatangi rumah tersebut, maka dia sudah tidak mendapatkan orang tersebut. Ternyata dia sudah meninggalkan tempat kontrakannya karena merasa bahwasanya amalan yang sudah dia usahakan untuk dirahasiakan diketahui oleh orang lain.

Itu adalah beberapa praktek yang dilakukan oleh para Salaf kita terhadap ibadah sirriyyah ini.

C. Hal – Hal Yang Penting Terkait Ibadah Sirriyyah

Untuk mengakhiri muhadharah kita kali ini ada beberapa perkara yang perlu kita sampaikan.

1. Jangan menceritakan amalan tersebut

Kalau kita sudah berusaha untuk melakukan sebuah ibadah sirriyyah, baik itu memahami agama Allah, bersedekah, melakukan shalat, berbuat baik kepada orang lain, maka jangan kita menceritakan itu kepada orang lain. Karena kalau sudah ceritakan berarti bukan ibadah sirriyyah lagi.

Antum hafal Juz ‘Amma, maka sudah biarkan antara diri Antum dengan Allah saja. Antum hafal surat Al-Baqarah, biarkan antara diri Antum dengan Allah saja. Kalau sudah diceritakan kepada orang lain maka bukan menjadi ibadah yang sirriyyah lagi. Kan kita ingin mendapatkan pahala yang besar dalam ibadah sirriyyah kita.

Berkata Sufyan Ats-Tsauri:

بلغني أن العبد يعمل العمل سرا فلا يزال به الشيطان حتى يغلبه فيكتب في العلانية ، ثم يزال الشيطان به حتى يحب أن [ ص: 31 ] يحمد عليه فينسخ من العلانية فيثبت في الرياء

“Telah sampai kepadaku bahwa seorang hamba mengamalkan sebuah amalan yang rahasia, maka stan terus menggodanya sampai mengalahkannya sehingga ditulis amalan tersebut sebagai amalan yang terang-terangan, kemudian syetan berusaha lagi sampai dia menjadi orang yang senang dipuji dengan amalan tersebut, kemudian dihapuslah amalan tadi dan dihitung sebagai amalan yang riya.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa 7/30)

Setan tahu pahalanya orang yang melakukan ibadah sirr. Biasanya keikhlasan lebih kuat sehingga pahalanya lebih besar. Setan berusaha untuk meruntuhkan hal tersebut. Dia menggoda untuk menceritakan kepada orang lain. Ini bukan hanya sekali, tapi terus dia menggoda sampai akhirnya dia pun menceritakan amalan tersebut kepada orang lain.

Akhirnya ditulislah amalan tersebut termasuk amalan ‘alaniyyah, bukan termasuk amalan sirriyyah. Bahkan bukan hanya disitu setan menggoda. Kalau dari amalan sirriyyah ke ‘alaniyyah maka ini masih dapat pahala, hanya saja berkurang. Bahkan setan menggoda bagaimana supaya batal. Caranya adalah digoda terus sampai orang tadi senang untuk dipuji dengan amalan tersebut. Ketika sudah diceritakan kepada orang lain maka dengan mudah setan menggoda sehingga dia pun senang untuk dipuji karena melakukan amalan tersebut. Akhirnya terjerumus kedalam riya’.

2. Waspada dari ingin dihormati

Tadi kita ceritakan tentang haibah (wibawa) para ulama. Maka seseorang waspada jangan sampai ketika melakukan ibadah yang sirriyyah, terkadang seseorang berangan-angan bahwa manusia ini akan selalu menghormati dia. Ketika dia duduk di sebuah pertemuan ingin didahulukan/dipersilahkan/disalami/disambut, ketika dia membeli sesuatu kepada orang lain ingin dimurahkan, ketika dia ada urusan ingin dimudahkan. Ini karena dia menyangka bahwa telah mengamalkan ibadah yang sirriyyah. Ingin disana keuntungan/pahala duniawi. Dikawatirkan yang demikian ini menjadi sebab kurangnya ibadah sirriyyah yang kita lakukan.

Ibadah sirriyyah adalah untuk Allah saja, jangan kita mengharapkan pahala dunia. Jadikan amalan tersebut adalah antara kita dengan Allah. Masalah kita tidak dihormati oleh orang lain, tidak didahulukan oleh orang lain, jangan kemudian kita jadikan itu sebagai niat utama melakukan ibadah sirriyyah. Ini sesuatu yang tentunya sangat mengurangi pahala orang yang melakukan ibadah sirriyyah.

3. Jangan meninggalkan amalan karena manusia

Karena telah mengikuti muhadharah kubro tentang ibadah sirriyyah kemudian seseorang meninggalkan amalan karena dilihat oleh manusia. Justru para ulama menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggalkan amalan karena manusia, misalnya dia mengatakan: “Ana takut riya’. Kalau menghadiri majelis ilmu takut dikatakan seorang penuntut ilmu yang rajin.” Berarti dia meninggalkan amalan karena manusia. Seharusnya yang dia lakukan terus melakukan amalan tersebut karena kita tidak bisa menghilang. Majelis ilmu harus dilihat oleh orang lain. Yang menjadi kewajiban kita mengikhlaskannya.

InsyaAllah kalau seseorang terbiasa melakukan amalan-amalan yang sirri akan dimudahkan oleh Allah untuk ikhlas ketika melakukan amalan-amalan yang ‘alani.

4. Jangan melarang orang lain untuk beramal secara terang-terangan

Kalau kita melihat orang lain melakukan amalan-amalan yang ‘alaniyyah, mungkin dia melakukan shalat rawatib di masjid atau melakukan shalat dhuha di mushala kantor dan dilihat oleh orang lain. Apakah boleh kita melarang “Kamu jangan shalat dhuha di sini, kamu jangan shalat rawatib di masjid.”

Sebagian ulama menjelaskan bahwa tidak boleh kita melarang. Karena yang namanya melarang itu kalau dari kemungkaran. Sementara orang yang melakukan shalat dhuha di mushala kantor atau shalat rawatib di masjid itu bukan sebuah kemungkaran. Memang kalau bisa kita lakukan itu di rumah, tapi jangan kita melarang orang yang melakukannya.

Itu adalah beberapa perkara penting yang semoga bisa menjadi perhatian kita dalam melaksanakan ibadah sirriyyah. Dan akhirnya ana berharap satu jam kebersamaan kita di muhadharah kubro ini ada faedah dan manfaat yang besar bagi kita semua.

Ana berharap secara pribadi kepada para ikhwah, para akhwat, para peserta HSI Abdullah Roy secara umum, dan para pemirsa sekalian hendaklah kita memiliki niat, masing-masing kita memiliki azzam untuk memiliki apa yang dinamakan dengan ibadah sirriyyah ini. Apakah harus semuanya? Jawabnya tidak. Seandainya kita memiliki satu atau dua saja ibadah sirriyyah itu sudah bagus. Dan tadi sudah kita sebutkan bahwa semakin banyak maka semakin kokoh.

Ada sebagian masyaikh/duat bercerita bahwa ketika pertama kali menghadiri majelis ilmu, maka sama syaikhnya dipanggil kemudian ditanya apakah kamu ingin menjadi orang yang istiqamah dalam menuntut ilmu? Dia menjawab iya. Kalau kamu ingin istiqamah, maka hendaklah engkau memiliki ibadah sirriyyah antara dirimu dengan Allah yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali dirimu saja.

Ini diingat oleh beliau. Dan seperti yang tadi kita sebut bahwa memang ibadah sirriyyah ini memiliki pengaruh yang besar terhadap keistiqamahan seseorang.

Wallahu ta’ala a’lam mungkin itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali.

صلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Video Muhadharah Kubra Ke-4: Mengenal Ibadah Sirriyyah

Sumber video: HSI Abdullahroy

Mari turut menyebarkan kultum tentang “Praktek Salaf Terhadap Ibadah Sirriyyah” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: