Tiga Tingkatan Agama

Tiga Tingkatan Agama

Tulisan tentang “Tiga Tingkatan Agama” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala.

Sebelumnya: Syarah Hadits Jibril

Tiga Tingkatan Agama

Kalau begitu kita pahami dari sini bahwasanya agama kita ini terbangun di atas tiga tingkatan (tiga maratib). Yang pertama  adalah Islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi adalah iman, dan tingkat yang lebih tinggi lagi adalah al-ihsan.

1. Islam

Maka Jibril ‘Alaihissallam memulai pertanyaannya dengan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam.

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ

‘Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam.’
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab tentang Islam. Islam yaitu sikap tunduk dan patuh. Tunduk kepada perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan patuh menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah yang disebut dengan Islam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab pertanyaan tersebut dengan berkata, “Islam adalah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, engkau menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullahil Haram“.

Syahadatain

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini menafsirkan Islam dengan syari’at-syari’at yang zhahirah (yang nampak). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala menjawab tentang Islam, maka beliau memulai dengan mengatakan, “Islam adalah engkau bersaksi dengan syahadat, bersaksi bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Illah yang berhak disembah dan Muhammad adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Karena kedua perkara tersebut merupakan landasan atau pokok ajaran Islam yang paling tinggi dan yang paling utama. Syahadatu Laa Illaaha Ilallah persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maksudnya adalah engkau bersaksi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan wahdaniyah yaitu bahwasanya engkau tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Engkau ikhlas tatkala beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Syahadatun Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, syahadat bahwasanya Nabi adalah Rasulullah. Syahadat bi risalah artinya yaitu taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjalankan segala perintahnya. Karena beliau adalah Rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima agama kecuali memenuhi dua persyaratan ini. Yaitu kalau agama tersebut ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agama tersebut sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena Nabi adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada kalimat Laa Ilaaha Ilallah ada nafyu dan itsbat. Di awalnya ada nafyu (keumuman) artinya tidak ada Illah yang berhak disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Illah apapun tidak boleh disembah. Kemudian itsbatnya khusus bahwasanya penyembahan itu hanya dikhususkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu segala ibadah apapun bentuknya baik nazar, doa, shalat, puasa, semuanya hanya ditujukan khusus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Shalat

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan setelah syahadatain Rasulullah, menjalankan Islam di antaranya adalah shalat (menegakkan shalat). Kita tahu bahwasanya shalat merupakan termasuk rukun Islam yang sangat agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu kewajiban untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam.

Zakat

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “Engkau menunaikan zakat”. Kita tahu bahwasanya zakat itu yang dikeluarkan dari harta kita hanya sedikit (hanya berapa persen saja) diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan atau diberikan kepada fakir miskin.

Puasa dan Haji

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan “Engkau berpuasa”. Dan alhamdulillah, puasa itu yang diwajibkan hanyalah sebulan dalam setahun, bukan dua bulan tapi hanya satu bulan yaitu di bulan Ramadhan. Kemudian juga haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan haji hanya sekali dalam seumur hidup. Hal ini menunjukkan kemudahan Islam.

Islam itu terbangun di atas rukun-rukun Islam yang  lima. Dan mudah bagi orang yang hendak melaksanakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan, karena perkaranya bukan perkara yang sulit.

2. Iman

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan tentang keimanan. tatkala Malaikat Jibril mengatakan;

أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ

“Kabarkanlah kepadaku tentang iman”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhirat, dan demikian juga beriman kepada takdir. Inilah yang disebut dengan enam rukun iman yang kita semua sudah mengetahuinya.

Iman Kepada Malaikat

Kemudian beriman kepada para malaikat. Yaitu iman kepada malaikat merupakan rukun yang kedua dari rukun-rukun iman. Kita meyakini bahwasanya pasukan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat megah ini, para malaikat yang jumlahnya sangat banyak, diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka diciptakan dengan nur (cahaya). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan bagi mereka tugas-tugas khusus bagi setiap para malaikat. Sebagaimana telah ada rinciannya di dalam Al-Qur’an dan juga di dalam sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kita meyakini itu semua, baik yang terperinci maupun yang masih global. Kita meyakini tentang jumlah mereka yang sangat banyak, meyakini tentang kekuatan mereka, dan tugas-tugas mereka sebagaimana telah ada rinciannya di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Iman Kepada Kitab-Kitab

Kemudian beriman kepada kitab-kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu mengakui tentang semua kitab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada rasul-rasul-Nya. Kitab apa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para rasul-Nya kita imani. Dan kita meyakini bahwasanya kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkannya.

Kemudian meyakini bahwasanya kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah firman-Nya, bukan makhluk. Meyakini juga bahwasanya kitab-kitab suci yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan, di situlah letak kebahagiaan manusia. Barang siapa yang memegang kitab-kitab tersebut, maka dia akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat. Dan barang siapa yang meninggalkan kitab-kitab tersebut atau membuang kitab-kitab tersebut di belakang mereka, maka dia akan merugi baik di dunia maupun di akhirat. Kita juga beriman tentang nama-nama kitab tersebut, apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an ataupun sunnah tentang nama-nama kitab tersebut maka kita imani.

Iman Kepada Rasul

Kemudian berikutnya beriman kepada para rasul yaitu kita meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih di kalangan manusia para rasul yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus dan angkat mereka sebagai rasul. Yang mana tugas mereka adalah mengeluarkan manusia dari dzulumat ilan-nur (kegelapan menuju cahaya yang terang benderang). Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

ٱللَّهُ يَصْطَفِى مِنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ ٱلنَّاسِ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memilih di kalangan para malaikat sebagai Rasul dan memilih di antara manusia sebagai rasul-rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala” (QS. Al-Hajj[22]: 75)

Tidak ada kebaikan apa pun kecuali para rasul akan menunjukkan dan tidak ada keburukan apapun kecuali rasul-rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan.

Iman Kepada Hari Akhir

Kemudian beriman kepada hari akhir yaitu beriman tentang apa-apa yang akan terjadi setelah kematian. Dan kematian adalah peristiwa seseorang meninggalkan dunia ini.

مَن مات فقد قامت قيامته

“Barang siapa yang meninggal maka telah tegak kiamatnya.”

Karena kematian merupakan awal dari tahapan hari akhir. Dan termasuk beriman kepada hari akhir yaitu beriman tentang hari kebangkitan (yaumul ba’ats), tentang syafa’at, dan haudh yaitu telaga yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Juga beriman tentang Al-Mizan, timbangan yang akan menimbang antara amalan baik dan amalan shalih. Demikian juga beriman kepada ash shirath, yaitu jembatan yang terletak di antara neraka dan surga, kemudian juga beriman kepada surga dan neraka. Semuanya termasuk dalam beriman kepada hari akhir.

Iman Kepada Takdir

Kemudian rukun iman yang keenam yaitu iman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang buruk maupun yang baik, yaitu beriman tentang apa yang akan terjadi. Meyakini bahwasanya semua yang terjadi hingga hari kiamat kelak telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan dan tetapkan. Oleh karena itu, iman tentang takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala memenuhi empat persyaratan (tingkatan);

1. Al ‘Ilmu

Seseorang yang beriman kepada takdir, dia mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui semua yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak zaman azali sudah mengetahui apa yang terjadi hingga hari kiamat kelak. Semuanya di atas ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Al Kitabah

Beriman tentang kitabah. Mengimani bahwasanya apa yang akan terjadi hingga hari kiamat kelak telah Allah Subhanahu wa Ta’ala catat 50.000 tahun sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat tentang takdir Allah yang akan terjadi hingga hari kiamat kelak.

3. Al Masyii-ah

Masyii-ah Naafidzah, yaitu meyakini bahwasanya semua kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti terjadi. Semua yang terjadi di alam semesta ini semuanya atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak satupun yang keluar dari kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Al Khalq

Allahu Khaliqu kulli Syai-i. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta segala sesuatu. Tidak ada yang ditakdirkan di atas alam semesta ini kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ciptakan.

3. Ihsan

Kemudian tingkatan yang berikutnya yaitu Malaikat Jibril bertanya tentang ihsan. Kita ketahui bahwasanya ihsan merupakan tingkatan agama yang paling tinggi. Tadi telah kita jelaskan bahwasanya tingkatan agama ini ada tiga, yaitu Islam, iman, dan ihsan. Apa makna ihsan? Kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

‘Yaitu engkau beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak mampu untuk melihat-Nya, maka yakinlah bahwasanya Allah melihat engkau’.

Apa maksudnya ‘engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah’? Artinya adalah engkau beribadah seakan-akan engkau berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seakan-akan engkau melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika perkaranya demikian, maka seseorang yang beribadah dengan menghidupkan perasaan seperti ini -seakan-akan dia beribadah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala- maka dia akan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan أعلى تمام (sempurna). Karena dia merasa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa dia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian kalau tidak mampu untuk menghadirkan perasaan seperti ini, maka meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti melihat dia. Meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang dia lakukan. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua perbuatan dan amalannya pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui.

Selanjutnya: Hari Kiamat

MP3 Kajian Tiga Tingkatan Agama

 

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Tiga Tingkatan Agama” ini di media sosial yang Anda miliki baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum.

Newer Post

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: