Ceramah Singkat: Tinggalkan yang Meragukan

Ceramah Singkat: Tinggalkan yang Meragukan

Materi 54 – Makna Tawadhu’
Muhadharah Kubra Ke-1: Menggapai Surga Dengan Ilmu
Khutbah Jumat: Penyesalan Tak Berguna

Tulisan tentang “Tinggalkan yang Meragukan” ini adalah transkrip dari ceramah singkat yang dibawakan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc Hafizhahullahu Ta’ala.

Ceramah Singkat: Tinggalkan yang Meragukan

Tinggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukan. Apa itu ragu? Kapan sesuatu itu disebut dengan meragukan? Ragu artinya antara iya dan tidaknya sama-sama seimbang. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i, dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib)

Ragu ketika kita ingin memutuskan apakah iya atau tidak. Kita tidak tahu karena antara iya dan tidaknya ternyata sama 50:50. Kalau kita perhatikan, perkara yang meragukan ini banyak sekali di dalam kehidupan kita. Sebuah contoh, apabila kita misalnya ragu ketika sedang shalat. Apakah berada di rakaat dua atau tiga, kita bingung apa yang harus kita lakukan.

Ketika kita ragu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambil yang tidak meragukan.” Apa itu? Yang yakin, itu yang tidak meragukan. Kalau kita misalnya ragu kita shalat ini tiga atau dua? Berarti yang yakin dua, yang meragukan tiga. Kita ambil yang dua ditambah satu lagi. Kemudian sujud syahwi dua rakaat.

1. Kedudukan Hadits Lemah

Ikhwatal Islam,

Ada beberapa perkara yang itu kita katakan masih di dalam ambang keraguan. Yang pertama hadits lemah (dhaif). Tahukah kita bahwa hadits lemah itu masih di ambang keraguan? Dalam ilmu hadits, hadits yang lemah yang paling ringan lemahnya itu kalau ada perawi yang disebut sayyi’ul hifzh. Apa itu? Buruk hafalan. Kapan seorang perawi disebut buruk hafalan? Kata al-Hafizh Ibnu Hajar,

أن لا يترجح جانب إصابة الراوي على جانب خطئه

“Sisi benarnya tidak bisa mengalahkan sisi salahnya (seimbang).”

Berarti salah dan benarnya seimbang. Ini namanya ragu. Berarti atas dasar itu, hadits lemah itu menghasilkan keraguan. Makanya Imam Bukhari dan Muslim mengatakan bahwa hadits lemah tidak boleh dipakai. Baik dalam masalah hukum, aqidah, demikian pula dalam fadhilah, atau amal. Mutlak tidak boleh dipakai. Karena hadits lemah hanya menghasilkan keraguan.

Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengikuti zhan (dugaan-dugaan)?

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim)

Sedangkan hadits lemah itu hanya menghasilkan dugaan (prasangka). Berarti hadits lemah harus ditinggalkan sama sekali. Maka pendapat yang mengatakan boleh mengamalkan hadits lemah, itu pendapat yang sebetulnya tidak mempunyai dasar. Hanya sebatas kehati-hatian saja tidak cukup. Sampai sesuatu itu terangkat dari sesuatu yang sifatnya meragukan.

2. Taklid bukan Ilmu

Taklid, kalau kita mengikuti seseorang dengan tanpa dalil. Berarti antara ada dalil dan tidak ada dalilnya sama-sama seimbang. Kita tidak mengetahui ketika anda mengikuti pendapat kyai, kemudian kita tidak tahu dalilnya apa. Itulah taklid/ membeo. Maka itu tidak disebut ilmu. Karena taklid itu hakikatnya masih meragukan, antara ada dalil atau tidak ada dalilnya. Masih sama-sama kuat.

Imam Suyuthi berkata,

وقد أجمعَ العلماءُ قديماً وحديثاًً أنَّ التَّقليدَ ليس بِعِلْم، والمقلِّد ليسبعالِمٍ

“Para ulama bersepakat bahwa taklid itu bukan ilmu. Dan bahwasanya orang yang bertaklid itu bukan ulama.”

Kalau dalam permasalahan-permasalahan kita selalu mengikuti yang ragu, itu bahaya untuk agama kita. Maka kembalikan kepada yang yakin. Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”

3. Asal Hukum Ibadah

Dalam masalah ibadah, para ulama memberikan kaidah; pada asalnya ibadah itu adalah tidak boleh. Karena ibadah itu hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Berarti pada asalnya, ibadah itu tidak boleh. Sekarang kalau kita merasa ragu tentang ini ibadah disunahkan atau tidak? Ada yang mengatakan sunnah, maka jangan kita amalkan dulu. Karena pada asalnya, ibadah itu tidak boleh dikerjakan sampai kita betul-betul mendapatkan dalil yang kuat yang menunjukkan akan diperintahkannya ibadah tersebut.

4. Asal Hukum Perkara Dunia dan Muamalah

Dalam masalah dunia. Pada asalnya, perkara dunia itu halal. Maka pada waktu itu jangan kita haramkan dulu sampai ada dalil yang tegas mengharamkan. Kalau kita ragu ini halal atau haram, kita katakan : “Saya tidak berani mengharamkan karena saya belum menemukan dalilnya. Tapi saya juga belum berani untuk memakannya karena khawatir ini syubuhat. Sedangkan syubuhat itu dianjurkan untuk kita meninggalkannya.”

Kemudian dalam masalah pernikahan. Pada asalnya, kemaluan itu haram. Seorang suami yang ragu, “Apakah saya sudah menjatuhkan talak atau belum?” Kata para ulama, pada dasarnya talak belum ada.

Dalam masalah muamalah. Pada asalnya, muamalah itu halal. Tidak boleh kita haramkan sampai ada dalil. Kita kembalikan kepada yang yakin. Sehingga pada waktu itu kita akan merasa tenang dalam hidup kita. Ketika kita misalnya jam 11 sudah berwudhu, kemudian saat masuk waktu zuhur kita ragu, “Tadi saya batal atau tidak, ya? Sepertinya batal, deh. Sepertinya tidak, deh.” Maka pada asalnya, wudhu masih ada karena kita sudah yakin bahwa tadi kita sudah berwudhu. Maka kalau kita tidak berwudhu lagi, tidak mengapa.

Beda kalau kita misalnya sudah yakin tadi saya masuk WC dan buang air. Tapi setelah itu saya ragu, “Tadi saya wudhu atau tidak, ya?” Maka pada waktu itu kita kembalikan kepada asal yang yakin; bahwa kita belum wudhu.

Subhanallah, ini sebuah kaidah yang agung. Ini menunjukkan bahwa kita di dalam masalah beragama harus berdasarkan kepada sesuatu yang sifatnya berilmu. Bukan sesuatu yang meragukan. Dalam menuntut ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita pun seharusnya demikian; tidak mencukupkan diri hanya sebatas membeo dan membeo, mengikuti pendapat tanpa kita mengetahui dalilnya.

Karena taklid itu, sudah saya sebutkan, masih pada kategori yang meragukan. Bisa jadi ada dalilnya dan bisa jadi tidak ada dalilnya.

5. Agar Tidak Taklid

Akhal Islam,

Ketika kita berhadapan pada permasalahan di masyarakat lalu kita ragu mana yang benar. Yang ini kah atau yang itu kah. Keraguan itu akibat dari ketidaktahuan kita. Keraguan itu muncul akibat dari kurangnya keilmuan kita. Akhirnya kita jadi ragu-ragu. Saya yakin, ketika kita ilmunya sudah banyak, sudah paham tentang permasalahan tersebut. Kita tidak akan ragu lagi. Tapi ketika keilmuan kita kurang atau keilmuan kita terbalik, akhirnya pada waktu itu keraguan itu terus menghantui hati kita.

Itulah sebabnya banyak orang yang merasa bingung ketika berhadapan pada fenomena ini. Mengaku dirinya masing-masing berada di atas kebenaran. Akhirnya dia merasa bingung, “Mana yang di atas kebenaran? Ini siapa yang benar? Semua mengaku bahwa dirinya benar.”

Kita katakan bahwa, tinggalkan yang meragukan. Dengan cara menuntut ilmu. Cari literatur-literaturnya. Bagaimana pendapat ulamanya, penafsirannya, dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga kita beragama betul-betul di atas keyakina. Bukan berdasarkan kepada sesuatu yang meragukan. Maka tinggalkan sesuatu yang ragu, ambil yang tidak meragukan.

Video Ceramah Singkat: Tinggalkan yang Meragukan

Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Ceramah Singkat: Tinggalkan yang Meragukan” ini di media sosial yang Antum miliki, baik itu facebook, twitter, telegram, whatsapp, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi sebab hidayah bagi kaum muslimin. Barakallahu fiikum…

 

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0