Khutbah Idul Adha: Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah

Khutbah Idul Adha: Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah

Berikut ini transkrip khutbah idul adha tentang “Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Idul Adha: Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah

Jama’ah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Kita bertakbir di hari yang mulia ini dengan memperbanyak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan para makhluknya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih di antara makhluknya ada yang lebih mulia dibandingkan dengan yang lain. Maka sebagaimana ada tempat yang lebih mulia dibandingkan dengan di dataran bumi lainnya. Seperti tanah haram, Kota Mekkah dan Madinah, dan Masjidil Aqsha.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sebagian waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan lebih mulia dibandingkan dengan waktu yang lain. Di antaranya adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh,” (QS. Al-Fajr[89]: 1-2)

Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, menurut sebagian ahli tafsir.

Dan bagian dari bentuk takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memuliakan dan mengagungkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan dan agungkan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj[22]: 32)

Karena itulah, bagi seorang mukmin yang mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sudah seharusnya kita mengagungkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala agungkan. Jangan jadikan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana hari-hari biasanya. Tidak ada perubahan apapun yang kita lakukan dalam amal kita sehari-hari.

Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan motivasi, beliau bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” (HR. Bukhari)

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Jama’ah shalat idul adhha yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Kita perhatikan ada banyak sekali praktek amalan yang kaum muslimin lakukan di bulan Dzulhijjah, yang itu merupakan napak tilas dari peninggalan yang keluarganya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lakukan.

Bagi mereka yang sedang melakukan ibadah haji, mereka mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan thawaf, sa’i, dan ibadah lainnya yang mereka lakukan di tanah suci.

Bagi mereka yang berada di tempat lain selain tanah suci, mereka mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan banyak bertakbir dan salah satunya adalah ibadah yang besar, yaitu menyembelih qurban. Dan itu semua merupakan bagian dari kegiatan yang dulu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam laksanakan.

Seperti yang kita tahu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan banyak ujian. Dan oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan beliau pemimpin bagi seluruh umat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. (QS. Al-Baqarah[2]: 124)

Karena ketika seseorang ingin menjadi orang yang berprestasi, tentu saja tidak bisa sebatas mengandalkan nasab, harta, posisi, maupun jabatannya. Manusia yang berprestasi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia harus berusaha. Dan bagian dari usaha itu adalah dia harus berjuang ketika menghadapi ujian.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan banyak sekali ujian kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan beliau berhasil menyempurnakannya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan beliau sebagai imam bagi seluruh umat manusia.

Kaum muslimin, siapapun berpeluang menjadi imam bagi generasi setelahnya. Terutama bagi anak keturunannya. Karena itulah, bagian dari doa ‘ibadurrahman;

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan[25]: 74)

Mujahid bin Jabar menafsirkan ayat ini. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadi imam bagi orang yang bertakwa. Artinya adalah kita bermakmum kepada orang yang bertakwa sebelum kita, yaitu generasi orang-orang shalih sebelum kita. Dan seterusnya hingga sampai kepada sahabatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Puncaknya adalah bermakmum kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ketika orang bermakmum dengan orang-orang shalih yang sebelumnya, maka dia akan tertular menjadi shalih. Lalu nanti generasi setelahnya akan mengikutinya. Sehingga di saat itulah dia menjadi imam untu keshalihan bagi generasi setelahnya. Itulah makna dari doa di atas.

Saya, Anda, Bapak, dan Ibu semuanya memiliki peluang yang sama untuk menjadi imam bagi orang yang bertakwa dengan berusaha memperbaiki diri, meniru jejak para salafush shalih. Jejak para sahabat, tabi’in, dan ulama yang shalih. Dan dengan demikian kita akan menjadi shalih, lalu diikuti anak keturunan kita dalam keshalihan. Sehingga kita menjadi imam bagi orang yang bertakwa.

Dan tentu saja, dalam menempuh perjalanan yang semacam ini kita akan menjumpai banyak sekali ujian. Baik ujian di keluarga, lingkungan, dan termasuk ujian dari diri kita sendiri.

Mungkin ada sebagian dari kita yang tidak semangat dalam menjalankan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak semangat dalam beribadah. Sehingga ketika kita berusaha untuk melawan hawa nafsu kita, mengikuti apa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,di antara buahnya adalah nama kita akan dijadikan sebagai imam bagi para generasi setelah kita.

Jama’ah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Pelajaran lain dari kondisi keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, banyak sekali rutinitas dan amalan yang beliau dan keluarganya lakukan, itu Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan agar kaum muslimin melaksanakannya sampai akhir zaman.

Anda bisa bayangkan, setiap orang yang melakukan sa’i, antara Shafa dan Marwah, yang jumlahnya jutaan bahkan tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka setiap orang yang sa’i, Ibunda Hajar Ummu Ismail Radhiyallahu ‘Anha turut mendapatkan pahalanya. Karena beliaulah yang pertama kali mempraktekkannya.

Sehingga siapapun yang mempraktekkan kebaikan lalu generasi masyarakat setelahnya mengikutinya, in syaa Allah pahala yang mereka laksanakan akan diberikan kepada orang yang pertama kali melakukannya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْر أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Dan untuk bisa semacam ini, butuh perjuangan ikhlas yang besar. Karena amalan yang ikhlas, itulah yang akan Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan.

Pada waktu Imam Malik menulis kitab Al Muwatho’, ada sebagian orang yang memberi masukan kepada beliau, “Wahai Imam Malik, kitab Al Muwatho’ sudah banyak. Mengapa engkau menulis Al Muwatho‘?”

Kemudian Imam Malik menjawab, “Amal yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dialah yang akan abadi.”

Sekarang Anda bisa bayangkan. Kalau di zaman dahulu di zaman Imam Malik ada yang mengatakan bahwa kitab Al Muwatho’ sudah banyak, sekarang mana kitab Al Muwatho’ selain kitab Al Muwatho’nya Imam Malik?

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik, sementara Al Muwatho’ karya yang lainnya tidak terlihat. Karena amal yang dilakukan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti diabadikan oleh-Nya.

Teruslah beramal shalih, berjuang untuk ikhlas. Karena kita tidak tahu dari sekian banyak amal yang kita lakukan itu mana yang akan Allah Subhanahu wa Ta’ala terima dan mana yang akan Dia abadikan, maka sebaiknya kita terus berjuang mengukir sebuah prestasi, yaitu mendapatkan aliran pahala di saat kita meninggal dunia.

Itulah umur yang kedua, pada waktu kita sudah meninggal, namun pahala kita terus mengalir. Dan itulah harapan yang bisa seorang mukmin lakukan. Sebab ternyata amalannya tidak terhenti hanya dengan hembusan nafas terakhir, namun amalannya bisa terus berlanjut dengan amalan-amalan shalih yang dia lakukan dengan ikhlas dan diikuti oleh generasi setelahnya.

Selanjutnya jama’ah, barangkali bagian dari pelajaran yang bisa kita jumpai beberapa hari terakhir ini.

Banyak dari kaum muslimin yang menghendaki untuk bisa berangkat haji. Namun karena keterbatasan, baik biaya maupun jumlah quota, sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa melaksanakan. Mereka yang kaya yang sudah berusaha untuk mendaftar, ternyata harus mengantre dalam kurun waktu yang sangat lama. Bahkan di antara kita ada yang sampai putus asa.

Kalau daftar sekarang, kemudian harus antre hingga 30 bahkan 40 tahun ke depan. Kapan kita bisa berangkat? Demikian pula mereka yang antre di furoda/ haji plus, ternyata harus menunggu juga dalam waktu yang lama. Ribuan jama’ah pada waktu kemarin, tidak jadi berangkat.

Namun apapun itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Adil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesempatan bagi siapapun untuk mendapatkan nilai pahala.

Sebagaimana orang yang beramal, apabila ia mempunyai semangat untuk melakukan amal itu namun tidak bisa mewujudkannya karena udzur yang dia alami.

Sehingga mungkin ada di antara kita yang ingin sekali dan semangat untuk berangkat haji, namun kita membayangkan dengan keterbatasan dana. Kita merasa tidak bisa mendaftar haji yang mahal, hanya bisa mendaftar yang reguler dan itu pun antrenya sangat panjang. Dan kita tidak tahu, tawakkal ‘alallah, kapan akan berangkat.

Jama’ah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Bisa jadi kita berangkat haji dengan ruh kita. Dalam arti, kita mempunyai semangat untuk memperbaiki diri dan beramal shalih meskipun kita tidak berada di tanah suci.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sewaktu kembali dari Perang Tabuk, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau mengatakan,

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ

Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan udzur sakit.” (HR. Muslim no. 1911)

Maa syaa Allah, orang-orang ini tinggal di Madinah dan tidak ikut berangkat menuju Perang Tabuk. Namun kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Apapun yang kalian alami, perjalanan yang kalian tempuh, naik ke atas bukit dan turun ke lembah, kelelahan yang kalian alami, mereka yang berada di Madinah turut mendapatkan pahalanya.”

Orang seperti ini mengapa mendapat pahala? Karena mereka memiliki semangat namun mereka tidak bisa melaksanakannya sebab tertahan dengan kondisi sakit yang mereka alami.

Bisa jadi di antara kita mempunyai udzur karena tidak mampu atau tidak mendapatkan quota haji. Namun mereka yang memiliki semangat untuk melaksanakan ibadah haji, in syaa Allah ketika dia melakukan amal shalih di tempatnya, semoga dia mendapatkan pahala sebagaimana mereka yang berada di sana.

Inilah orang-orang yang menempuh perjalanan dengan ruhnya. Mereka mempunyai semangat untuk melakukan amal shalih, meskipun mereka tidak bisa karena memiliki udzur.

Selanjutnya, sebagai khutbah yang terakhir. Kami sampaikan kepada ummahat, para ibu, sebagaimana pesan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada mereka untuk memperbanyak sedekah.

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ

“Wahai para wanita, bersedekahlah.” (HR. Muslim)

Sehingga ketika beliau mengingatkan tentang bahayanya neraka, beliau mengingatkan mereka untuk bersedekah. Karena sedekah merupakan salah satu di antara tameng bagi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dari panasnya neraka.

Salah seorang bertanya karena ingin tahu penyebabnya, “Mengapa (para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka), ya Rasulullah?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

“Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim)

Nilai kesabaran yang ringan, itulah yang menyebabkan wanita menjadi mudah untuk mengeluh, mengumpat, mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai, dan tidak bisa berterima kasih kepada suaminya.

Sehingga kebaikan suami yang banyak barangkali mereka lupakan hanya karena satu kesalahan/ kekeliruan dalam pandangan matanya. Perlu untuk bersabar dalam menghadapi semua ini.

Alhamdulillah, ibu-ibu yang sudah mengenal Al-Qur’an dan sunnah dengan baik sesuai pemahaman para sahabat, syaa Allah nasihat semacam ini sangat ringan untuk diterima. Meskipun bagi sebagian orang ini terasa berat.

Karena sesungguhnya surga yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan bagi para wanita itu cara menempuhnya berbeda dengan lelaki. Jihadnya wanita bisa jadi dilakukan di dalam rumah. Namun jihadnya lelaki adalah perjuangan ketika dia menghadapi lingkungannya.

Karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)

Selanjutnya kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang mempunyai semangat untuk mengukir amalan yang bisa kita tinggalkan untuk generasi setelahnya. Dan kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga menjadikan kita imam bagi orang-orang yang baik dan bertakwa, serta imam dalam ketaatan.

Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus.

Video Khutbah Idul Adha: Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah

Mari turut menyebarkan link download kajian “Khutbah Idul Adha : Mendulang Pelajaran Dari Dzulhijjah” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Catatan:
[1] Sumber https://rumaysho.com/8862-kenapa-wanita-banyak-masuk-neraka.html

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0