Khutbah Jumat: Hati-Hati Dalam Urusan Agama

Khutbah Jumat: Hati-Hati Dalam Urusan Agama

Khutbah Jumat: Ilmu Agama dan Ilmu Dunia
Khutbah Jumat: Pentingnya Berilmu Sebelum Beramal
Khutbah Jumat: Rush Hour

Khutbah Jumat tentang “Hati-Hati Dalam Urusan Agama” ini kami catat dari khutbah Ustadz Mizan Qudsiyah, Lc., M.A. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat: Hati-Hati Dalam Urusan Agama

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,

Pada hari yang mulia ini, hari terbaik terbitnya matahari, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kita umur. Masih memberikan kita kesempatan. Maka manfaatkanlah umur dan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Karena ingatlah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kita jatah dalam kehidupan ini dengan jatah yang tidak lama. Dan Allah ‘Azza wa Jalla tidak enggan, melainkan Dia menjadikan negeri akhirat itu negeri yang abadi.

Adapun negeri dunia ini, maka tak ubahnya ibarat satu hari atau setengah hari di hadapan Rabbul ‘Alamin Tabaraka wa Ta’ala. Maka as-sa’id (orang-orang yang berbahagia) adalah yang mengisi setiap saat dari waktunya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam;

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dia menghabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana dia memperolehnya dan ke mana dia membelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa dia menggunakannya.” (HR. Tirmidzi 2417, ad-Darimi 537)[1]

Hadirin rahimakumullah,

Di hari yang mulia ini, tidak lupa kita memperbanyak shalawat dan salam bagi Rasul kita yang mulia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Bahayanya Ruwaibidhah

Hadirin rahimakumullah,

Satu tema yang kita angkat pada khutbah yang mulia ini adalah berhati-hati dalam beragama. Kehati-hatian dalam agama bukanlah bentuk sikap ekstremis. Bukan pula sikap was-was. Tetapi dia adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang yang menghendaki keselamatan dunia dan akhirat.

Di antara tanda dari tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 1400 tahun yang lalu adalah beliau sudah berbicara dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan juga Imam Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا اْلأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيلَ: وَمَـا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.

“Sesungguhnya akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan, seorang pembohong dibenarkan dan seorang yang jujur dianggap berbohong, seorang pengkhianat dipercaya dan seseorang yang dipercaya dianggap khianat, dan saat itu Ruwaibidhah akan berbicara.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang bodoh (dalam perkara agama) yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat).” (HR. Ahmad)[2]

Dan Ini bukti nyata dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Betapa banyak orang yang berbicara tentang urusan agama namun dia belum berhak untuk berbicara tentang urusan agama. Sehingga akibatnya yang haq dia katakan bathil. Yang syubhat dikatakan terang, yang sunnah dikatakan bid’ah dan yang bid’ah dikatakan sunnah. Lalu yang tauhid dikatakan syirik dan yang sirik dikatakan tauhid. Sebab tidak punya ilmu lantas berani berbicara hanya modal percaya diri dan modal memiliki follower yang banyak. Sehingga akibatnya adalah sesat dan menyesatkan. Wal iyyadzubillah.

Tiga Bagian Ilmu

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Sumber ilmu di dalam Islam sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma;

العلم ثلاثة: كتاب ناطق و سنة ماضية ولا أدري

“Ilmu itu ada tiga; Al-Qur’anul Karim, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengatakan terhadap sesuatu yang kita ketahui dengan ‘Saya tidak tahu’.” (HR. Thabrani fil Ausath)[3]

Bukan suatu cela dan cacat bagi seorang ‘alim ketika dia mengatakan “Aku tidak tahu, aku tidak bisa, aku belum menguasai.” Bahkan suatu cela dan cacat adalah ketika orang yang memiliki ilmu ketika ditanya lantas dia tidak tahu namun dia tidak berani mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Al-Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala berkata;

اذا أخطأ العالم “لا ادري” فقط اُصيبت ما قَاتِلُهُ هو كما قال رحم الله تعالى.

“Ketika orang berilmu sudah tidak bisa lagi mengatakan kata-kata ‘Aku tidak tahu’ maka berbahayalah posisinya.”

Khutbah Kedua

Ma’asyiral muslimin rahimani wa iyyakum,

Ketika orang jahil berbicara tentang agama, maka hancurlah Islam. Belajar dengan cara yang tidak benar saja, maka dia akan menghancurkan hukum agama. Sebagaimana Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala mengatakan;

من تفقه من بطون الكتب ضيع الاحكام

“Barang siapa yang hanya belajar dari perut kitab tanpa bimbingan orang ‘alim, maka dia akan menghancurkan hukum agama.”

Apalagi kita akan berbicara tentang agama di hadapan orang banyak tanpa ilmu. Sudah cukup bagi kita pelajaran-pelajaran dari pendahulu-pendahulu kita. Ketika mereka berbicara tanpa ilmu, maka petaka mereka terima di dunia sebelum di akhirat.

Ambil contoh tentang seseorang dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Lantas dia ingin bertaubat kepada Rabbul ‘Alamin Tabaraka wa Ta’ala. Dia bertanya, “Siapa penduduk bumi yang paling ‘alim?”

فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ

“Ternyata dia ditunjukkan kepada seorang rahib (ahli ibadah).”

Bicara Tanpa Ilmu

Kemudian dia mengatakan kepada rahib, “Aku sudah membunuh 99 nyawa. Adakah jalan taubat bagiku?” Si jahil menjawab, yang dia hanya bermodalkan ahli dalam ibadah, “Dosamu terlalu banyak. Bagaimana mungkin Rabbul ‘Alamin Tabaraka wa Ta’ala akan mengampuni dosamu?”

Dan marahlah si penanya, “Saya sudah mau baik. Kok, dia tidak menunjukkan jalan untuk menempuh kebaikan?”

فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً

“Seketika itu dia membunuh sang rahib. Maka dia telah menggenapkan membunuh 100 nyawa.”

Ini petaka yang orang berfatwa tanpa ilmu terima. Berbicara tanpa ilmu. Sebelum dia mencelakai orang lain, dia sudah celaka di dunia ini. Lalu begitu dia bertanya, mana orang paling ‘alim di dunia ini?

فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ

“Lalu ditunjukkanlah dia kepada seseorang yang berilmu.”

Kemudian orang ‘alim itu menjawab pertanyaannya, “Apa yang menghalangimu untuk bertaubat? Selama matahari belum terbit dari barat, selama nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu taubat terbuka lebar. Tetapi wahai saudaraku, engkau berada di negeri yang jahat. Silahkan engkau pindah ke negeri yang bertauhid yang penduduknya beribadah kepada Rabbul ‘Alamin Tabaraka wa Ta’ala.”

Lalu berhijrahlah dia. Hijrah amalan dan hijrah negeri. Maka dia pun berjalan.Sampai di tengah jalan, Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan dia. Berselisihlah Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab. Malaikat Adzab mengatakan dia belum berbuat kebaikan sama sekali. Malaikat Rahmat mengatakan dia sudah bertaubat, dia menuju kebaikan. Maka mereka mengukur jarak mana yang terdekat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala dekatkan dia ke negeri tauhid. Maka Rabbul ‘Alamin Tabaraka wa Ta’ala pun mengampuninya.

Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kita semua taufik. Berhati-hati dalam urusan beragama itu adalah bentuk keharusan untuk menyelamatkan iman, diri kita, dan menyelamatkan surga kita.

Video Khutbah Jumat: Hati-Hati Dalam Urusan Agama

Sumber Video Khutbah Jumat: Rinjani TV

Mari turut menyebarkan Khutbah Jumat Tentang Hati-Hati Dalam Urusan Agama di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Referensi:
[1] https://konsultasisyariah.com/30715-memahami-konsep-rezeki-dalam-islam-bag-02.html
[2] https://almanhaj.or.id/3171-32-34-lenyapnya-orang-orang-shalih-orang-orang-hina-diangkat-sebagai-pemimpin.html
[3] https://www.alukah.net/sharia/0/75623/#_ftn2

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: