Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya

Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya

Tulisan tentang “Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafidzahumullahu Ta’ala.

Sebelumnya: Penjelasan Lengkap Ibadah Menyembelih dan Nadzar

Kajian Tentang Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya

Bismillahirrahmanirrahim.. Alhamdulillah.. Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga kepada seluruh sahabatnya tanpa terkecuali.

Para pemirsa Radio Rodja dan juga TV Rodja di manapun Anda berada, kita lanjutkan pembahasan kita dari Al-Ushul Ats-Tsalatsah. Di sini Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala berkata:

الأصل الثاني

“Pokok yang kedua.”

معرفة دين الإسلام بالأدلة، وهو الاستسلام لله بالتوحيد، والانقياد له بالطاعة، والبراءة من الشرك وأهله.

“Mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya. Yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkanNya, dan tunduk kepadaNya dengan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berlepas diri dari kesyirikan dan juga dari para pelaku kesyirikan.”

وهو ثلاث مراتب: الإسلام والإيمان والإحسان. وكل مرتبة لها أركان.

“Agama Islam dibangun di atas tiga tingkatan: Yaitu Islam, iman dan ihsan. Dan masing-masing tingkatan ada rukun-rukunnya.”

فأركان الإسلام خمسة: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج بيت الله الحرام.

“Adapun rukun-rukun Islam ada lima; syahdat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, berhaji menuju ke Ka’bah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Para pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, di sini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala mulai menjelaskan tentang pokok yang kedua, yaitu mengenal Islam dengan dalil-dalilnya. Kita telah selesai dari pokok yang pertama, dan kita masuk pada pembahasan baru yaitu pokok yang kedua.

Agama Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-hambaNya. Allah telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan atas kalian nikmatKu. Dan Aku ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 3)

Dan dialah agama satu-satunya yang hanya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah tidak menerima agama yang lain. Allah berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 185)

Dan agama Islam adalah agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah hanya Islam.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 19)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk masuk ke dalam agama ini secara keseluruhan, secara totalitas. Bukan seorang masuk dalam perkara-perkara Islam hanya sekedar milih yang dia sukai, diambil perkara agama yang dia sukai, kalau dia tidak sukai maka dia tinggalkan, maka ini tidak boleh. Seorang kalau masuk Islam harus secara kaffah (secara totalitas). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian dalam Islam secara kaffah (secara totalitas)” (QS. Al-Baqarah[2]: 208)

Oleh karenanya hal ini mengharuskan seorang hamba untuk mengenal Islam secara totalitas, secara kaffah. Mengenal Islam, mengenal syariat-syariatnya, mengenal bangunan-bangunannya, apa yang berkaitan dengan hukum-hukumnya. Hal ini agar dia bisa bersungguh dalam kehidupan ini, sehingga dia bisa menjadi penganut agama Islam yang sungguh-sungguh dan benar-benar dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada pokok yang kedua ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala ingin menjelaskan kepada kita tentang Islam yang dia merupakan agama Allah yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-hambaNya. Makanya beliau berkata: “Mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya.”

Mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya

Pokok yang kedua ini adalah menganal Islam dengan dalil-dalilnya. Di sini perlu kita perhatikan bahwa perkara-perkara agama secara umum, baik aqidah, baik ibadah, sesungguhnya perkara-perkara agama itu adalah ibarat dari perkara-perkara beserta dalil-dalilnya. Oleh karenanya dalam Islam banyak perkara-perkara dan juga banyak syariat-syariat yang beraneka ragam yang semuanya dibangun di atas dalil.

Jadi agama Islam itu perkara-perkara yang dibangung di atas dalil. Dan dalil adalah firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, inilah Islam.

Oleh karenanya Islam adalah syariat-syariat dan amalan-amalan yang dibangun di atas dalil. Dan dalil adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karenanya seorang hamba dituntut untuk mengenal agama ini dengan dalil, dia harus mengenal agama ini dengan dalil. Bukan pengenalannya terhadap agama ini dibangun di atas hawa nafsunya. Tidak boleh juga dia mengenal agama ini dibangun di atas pendapat-pendapat, pengalaman-pengalaman, mimpi-mimpi, cerita-cerita atau yang lainnya.

Ini merupakan perkara-perkara yang sangat menyedihkan yang kita lihat di masyarakat. Karena di masyarakat ada sebagian orang yang beragama dan mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perkara-perkara yang bukan dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia melakukan kegiatan-kegiatan, melakukan amalan-amalan ibadah, tetapi tidak di dalam Al-Qur’an dan tidak ada juga dalam sunnah. Tetapi perkara-perkara tersebut yang mereka lakukan dibangun di atas mimpi yang dia lihat atau pengalaman yang pernah dia lakukan atau cerita yang pernah dia dengar atau ada pendapat yang dia suka dengan pendapat tersebut atau sebuah kisah yang disebutkan padannya dan yang semisalnya yang hal ini dijadikan sebagai masdar (sumber) untuk berdalil oleh sebagian manusia dalam perkara-perkara agama. Padahal ini merupakan perkara yang sangat salah. Agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu agama Islam sumbernya adalah dalil. Dan dalil itu adalah firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Oleh karenanya Ibnu Taimiyah Rahimahullah, beliau adalah seorang imam yang mulia, sering beliau berkata:

من فارق الدليل ضلّ السبيل, ولا دليل إلا بما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang meninggalkan dalil, maka dia akan tersesat. Dan tidak ada dalil kecuali apa yang didatangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Perhatikan, ini kalimat yang sangat agung. Beliau berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan dalil, maka dia akan tersesat. Dan dalil itu adalah apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Kemudian juga Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi Rahimahullahu Ta’ala juga pernah berkata:

كيف يُرامُ الوصولُ إلى علمِ الأصول بغير اتّباعِ ما جاء به الرسول ؟!

“Bagaimana seseorang bisa sampai kepada perkara-perkara yang pokok sementara dia tidak melalui apa yang didatangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!”

Maka hal ini tidak mungkin, bagaimana seseorang bisa sampai pada perkara-perkara yang pokok tanpa melalui apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka agama Allah dan syariatNya adalah perkara-perkara agama yang dibangun di atas dalil. Dan dalil-dalil yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka seseorang harus mengerti dan harus perhatian tentang hal ini.

Kita kasih contoh, misalnya kalau ada seorang datang kemudian berkata kepada kita: “Dzikir ini bagus sekali, doa ini doa yang bagus, ini adalah ibadah yang bagus,” misalnya dia punya dzikir tertentu, doa tertentu, model ibadah tertentu. Maka kita bilang sama dia: “Mana dalilnya?” Kemudian dia berkata: “Dalilnya tadi malam saya tidur kemudian saya mimpi, saya lihat dalam mimpi saya begini dan begini.”

Maka kita katakan pada dia: “Tinggalkan mimpi-mimpimu. Kalau engkau punya dalil, punya ayat dari Al-Qur’an, punya hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita terima, ahlan wa sahlan.” Adapun kalau hanya sekedar mimpi atau cerita atau pengalaman, Si Fulan telah mencoba, Si Fulan telah mencoba, guru-guru kami telah mencobanya, kami dan sahabat-sahabat kami telah mencobanya, maka perkara-perkara ini tidak bisa dibangun agama di atasnya. Agama tidak boleh dibangun di atas mimpi, cerita, percobaan, pengalaman. Tetapi agama itu harus dibangun di atas dalil dan dalil itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Karenanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala memulai dengan hal ini. Dia memfokuskan hal ini tentang perkara agama. Bahwasanya agama itu harus dibangun di atas dalil. Karena kalau perkaranya tidak diketahui dengan baik, maka seorang akan tersesat dari jalan yang lurus dan dia akan mengambil dalil dari sana, sumbernya sini, sumbernya sana, dan dia akan terjerumus dalam berbagai banyak penyimpangan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ…

Ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain selain jalanKu, kalian akan terpisah dari jalan yang benar.” (QS. Al-An’am[6]: 153)

Oleh karenanya barangsiapa yang tidak berpegang teguh dengan dalil, yaitu tidak berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dia pasti akan terpisah dari jalan yang lurus, mau tidak mau dia akan terpental dari jalan yang lurus. Karena keselamatan, keamanan dan ketepatan yaitu jika bersama dalil, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Oleh karenanya kita lihat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala sebagaimana kita lihat dalam kitab ini, demikian juga dalam buku-buku yang ditulisnya, seluruhnya cara beliau menulis buku satu model, yaitu model yang telah ditempuh oleh Ahlus Sunnah seluruhnya dari sejak dahulu sampai sekarang.

Caranya bagaimana? Yaitu menyebutkan permasalahan agama disertai dengan dalil, itu caranya Ahlus Sunnah. Beliau berkata: “Boleh begini, dalilnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Boleh begini karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda.” Atau dia berkata: “Haram, tidak boleh begini karena Allah berfirman. Tidak boleh begini karena dalam hadits begini-begini, dalilnya ada.” Inilah cara beliau menulis buku-buku beliau. Dan demikian juga cara Ahlus Sunnah dalam menulis buku-buku mereka. Mereka menyebutkan permasalahan agama atau menyebutkan suatu hukum permasalah agama disertai dengan dalil.

Lihatlah buku yang sedang kita baca ini, kitab Ushul Tsalatsah, kitabnya kecil. Meskipun kitab ini kecil, tetapi dalil yang dimasukkan ke dalam kitab ini banyak, sampai-sampai ada sekitar 60 dalil dari Al-Qur’an maupun sunnah. Setiap kali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan suatu perkara, maka disertai langsung dengan firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setiap hukum yang beliau sebutkan dalam kitab ini atau taqrir atau penetapan suatu hukum yang beliau sebutkan, selalu beliau sertakan dengan dalil.

Dari sini kita mengetahui perbedaan antara dai-dai yang menyeru pada kebenaran dan dai-dai yang menyeru kepada kesesatan. Dari sini kita bisa mengetahui perbedaan antara buku-buku Ahlus Sunnah dan buku-buku Ahlul Bid’ah. Engkau lihat dalam buku-buku Ahlul Bid’ah, mereka berdalil dengan selain Al-Qur’an dan sunnah. Kadang mereka berdalil dengan akal, kadang berdalil dengan pengalaman, kadang berdalil dengan mimpi-mimpi, kadang berdalil dengan hikayat-hikayat, dengan kisah-kisah dan sumber-sumber pendalilan yang aneh-aneh yang banyak yang semuanya adalah bentuk penyimpangan dari jalan yang lurus.

Oleh karenanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala dalam buku ini dari pertama beliau menekankan tentang pokok ini: “Mengenal agama Islam dengan dalil.” Jadi agama Islam ini harus dengan dalil, bukan dengan mimpi, dengan pengalaman dan yang lainnya.

Yang dimaksud dengan dalil menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan juga menurut ulama-ulama sunnah yang lainnya yaitu ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, inilah dalil.

Oleh karenanya buku ini kalau kita perhatikan isinya demikian metodenya. Yaitu berdalil dengan ayat atau berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Definisi Islam

Para pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Kemudian penulis Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala berkata tentang Islam:

وهو الاستسلام لله بالتوحيد، والانقياد له بالطاعة، والبراءة من الشرك وأهله

“Yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkanNya, dan tunduk kepadaNya dengan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berlepas diri dari kesyirikan dan juga berlepas diri dari penganut-penganut kesyirikan.”

Definisi ini adalah definisi yang harus kita berusaha untuk menghafalkannya. Karena ini adalah merupakan definisi yang agung. Definisinya sangat komprehensif dan dia merupakan definisi yang terbaik yang menjelaskan tentang makna Islam.

Perhatikan definisi ini, kita akan mendapati faedah yang sangat agung tentang penjelasan hakikat Islam. Karena para ulama telah menjelaskan bahwa dari sisi asalnya, kata “Islam” itu mencakup dua perkara, yaitu:  الاستسلام (penyerahan diri) dan السلامة (keselamatan). Oleh karenanya dua perkara ini telah terkandung dalam definisi yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala.

Penyerahan diri

Adapun الاستسلام yaitu dari perkataannya: “Menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkanNya.” Maknanya bahwasanya agamamu, ibadahmu, hendaknya selamat dari kesyirikan, harus murni, bersih, suci, tidak boleh kau melakukan ibadah apapun kecuali karena mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amalanmu harus bersih, harus selamat dari segala perkara-perkara yang bisa membatalkan amalanmu dan bisa merusaknya.

Oleh karenanya sifat amalanmu harus bersih, suci, tidak boleh engkau lakukan kecuali mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian engkau telah menyerahkan dirimu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mentauhidkanNya. Allah berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

Kembalilah kalian kepada Rabb kalian dan Islamlah kalian kepada Rabb kalian,” yaitu serahkanlah diri kalian dengan mentauhidkannya, memurnikan ibadah, tidak boleh diserahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karenanya jika ada seorang melakukan syariat Islam seperti dia melakukan shalat atau dia melakukan puasa atau dia bersedekah atau dia berdoa atau dia menyembelih, namun dia mengerjakannya dalam niatnya dia ingin menyerahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kalau perkaranya demikian berarti Islamnya bukan kepada Allah, berarti Islamnya dan istislamnya tidak mentauhidkan Allah, berarti dia menyerahkan perkaranya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti dia telah mengambil sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia telah keluar dari keselamatan. Karena tadi telah kita jelaskan Islam itu dibangun di atas keselamatan, yaitu selamat dari kesyirikan, dari perkara-perkara yang bisa membatalkan amal, perkara-perkara yang bisa merobohkan agama. Maka seseorang harus selamat dari ini semua, harus selamat dari perkara-perkara yang bisa membatalkan amalnya. Sehingga dia mendatangkan amalan dengan amal yang bersih, yang suci, yang murni, yang hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk sekutuNya sama sekali.

Islam adalah menyerahkan diri hanya kepada Allah dengan mentauhidkanNya

Perhatikan di sini, tatkala Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala memulai dengan ta’rifnya, dia mengatakan: “Islam adalah menyerahkan diri hanya kepada Allah dengan mentauhidkanNya.” Dan makna dari menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkanNya yaitu engkau memurnikan agamamu seluruhnya hanya untuk Allah, kau tidak menjadikan tandingan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara apapun, baik perkara sedikit maupun perkara yang banyak. Karena agama ini seluruhnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kau hanya menyerahkan diri kepada Allah dan tidak boleh menyerahkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa? Karena agamamu seluruhnya adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah mereka, memurnikan agama mereka hanya untuk Allah.” (QS. Al-Bayyinah[98]: 5)

Allah berfirman:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Hanya untuk Allah agama yang murni.” (QS. Az-Zumar[39]: 3)

Kalau seandainya agamamu tidak seperti ini (tidak murni, tidak suci) dan kau tidak mengharap kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti sesungguhnya engkau tidak diterima amalannya. Kenapa? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima amalanmu kecuali yang murni. Sebagaimana dalam satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda bahwasannya Allah berfirman dalam hadits Qudsi:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan syarikat. Maka barangsiapa yang mengerjakan amalan ternyata dia mengambil sekutu selainKu, maka Aku akan tinggalkan dia dengan kesyirikannya (yaitu amalannya ditolak).” (HR. Muslim)

Karenanya, hakikat Islam yaitu engkau menyerahkan dirimu hanya kepada Allah saja dengan mentauhidkannya. Artinya apa? Seluruh amalanmu kau kerjakan dengan bertauhid, bukan kau berbuat syirik, engkau memurnikan agama hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau tidak berharap dengan amalanmu kecuali mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah Islam yang benar, yaitu menyerahkan diri hanya kepada Allah dengan mentauhidkanNya.

Islam yaitu engkau tunduk kepada Allah dengan mentaatiNya

Sebagaimana Islam adalah ikhlas dan tauhid, Islam juga adalah ketundukan lillah, menjalankan perintahNya dan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Barangsiapa yang taat kepada Rasulullah, maka dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa'[4]: 80)

Ini adalah sisi lain dari makna Islam. Yaitu engkau menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makna engkau tunduk kepadaNya, tunduk pada perintahNya, engkau tidak bermaksiat kepadaNya. Dan hendaknya perkaramu sebagaimana yang Allah sifatkan terhadap orang-orang ahli iman dalam surat Al-Baqarah, bagaimana sifat mereka?

وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

Mereka berkata: ‘Kami mendengar dan kami taat.’” (QS. Al-Baqarah[2]: 285)

Inilah sifat orang Islam yang benar, inilah muslim yang sesungguhnya. Dia mendengar, dia taat dan dia tunduk menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau berkata: “Islam artinya tunduk kepada Allah dengan mentauhidkanNya dan tunduk kepadaNya dengan taat kepadaNya,” maka hendaknya engkau menjadi seorang hamba yang taat yang menjalankan perintah-perintah Rabbmu.

Islam adalah berlepas diri dari kesyirikan dan pemeluknya

Seorang muslim, tidaklah dikatakan dia seorang muslim yang benar kecuali kalau dia berlepas diri dari kesyirikan dan juga berlepas diri dari pemeluk kesyirikan. Kalau tidak demikian, maka dia tidak termasuk dari orang yang selamat. Kalau dia tidak berlepas dari dari kesyirikan dan tidak terlepas dari dari pemeluk kesyirikan, maka dia bukan dari orang yang selamat, bukan dari orang Islam yang sesungguhnya. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

Telah ada teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Tatkala mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,”

كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Kami kufur kepada kalian dan telah nampak permusuhan antara kami dengan kalian dan kebencian selamanya sampai kalian beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.” (QS. Al-Mumtahanah[60]: 4)

Ini merupakan pengumuman tentang sikap berlepas diri dari dua perkara. Berlepas diri dari kesyirikan dan berlepas diri dari pemeluk kesyirikan. Oleh karenanya seorang berlepas diri dari kesyirikan dan seorang muslim berlepas diri dari pemeluk kesyirikan yang telah menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah dan telah mengambil sekutu-sekutu bagi Allah.

Dari sini kita tahu barangsiapa yang tidak terlepas dari kesyirikan dan tidak berlepas diri dari pemeluk kesyirikan, maka dia bukan pemeluk Islam yang sesungguhnya. Karena pemeluk Islam yang sesungguhnya adalah engkau berlepas diri dari kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله دخل الجنه

“Barangsiapa yang berkata: ‘tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah,’ (dia sudah mengucapkan Laa Illaha Illallah, tapi ada syarat berikutnya) dan dia kufur dengan apa yang disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”

Lihat dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyaratkan harus kufur terhadap apa yang disembah selain Allah. Oleh karenanya berlepas diri dari kesyirikan dan berlepas diri dari pemeluk kesyirikan termasuk dari keIslaman, bahkan termasuk dari hakikat Islam.

Inilah definisi Islam dan ini adalah definisi yang komprehensif, definisi yang agung yang setiap muslim hendaknya berusaha menghafalkannya dan berusaha untuk menjaganya dan berusaha untuk mengamalkannya.

Perhatikan kata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah: “Islam itu adalah pasrah kepada Allah dengan mentauhidkanNya semata, kemudian tunduk kepada Allah dengan taat kepadaNya, dan berpuas diri dari kesyirikan dan pemeluk kesyirikan.”

Oleh karenanya definisi ini mencakup tiga rangkaian perkara; perkara yang pertama menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkanNya, perkara yang kedua tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, perkara yang ketiga berlepas diri dari kesyirikan dan pemeluknya.

Demikianlah para pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala kajian kita pada kesempatan kali ini, insyaAllah kita lanjutkan lagi besok dengan izin Allah lanjutan dari dars (pelajaran) kita tentang Syarah Al-Ushul Ats-Tshalatsah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala.

Selanjutnya: Penjelasan Islam, Iman dan Ihsan dari Hadits Jibril

Baca dari awal yuk: Mukadimah Kajian Al-Ushul Ats-Tsalatsah

Mp3 Kajian Tentang Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya

Sumber audio: radiorodja.com

Mari turut menyebarkan catatan kajian “Mengenal Agama Islam dengan Dalil-Dalilnya” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: