Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa ini merupakan transkrip kajian yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

Lihat sebelumnya: Meraih Kemenangan di Bulan Ramadhan

Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Menit ke-30:28 Orang yang wajib berpuasa adalah orang yang terpenuhi padanya enam syarat;

1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Mampu untuk melakukan puasa
5. Muqim (lawan dari safar)
6. Tidak ada penghalang (khusus bagi wanita yaitu haidh dan nifas)

Jika sudah terkumpul padanya enam perkara ini, maka hukumnya adalah wajib.

1. Islam

Orang kafir tidak wajib untuk berpuasa. Seandainya dia nekat berpuasa, maka puasanya tidak akan diterima sampai dia masuk Islam. Kalau dia masuk Islam dan terpenuhi syarat wajib yang lain, maka baru diwajibkan untuk berpuasa.

Dan secara umum, orang yang masih dalam keadaan kufur (belum masuk Islam) maka belum diterima amal shalihnya. Baik itu sedekahnya, karena ada sebagian dari mereka yang bersedekah untuk anak yatim, memberi makan untuk orang miskin, bahkan ada di antara mereka membangun masjid untuk kaum Muslimin, serta ada di antara mereka yang menghajikan/ mengumrahkan orang Islam yang mungkin bekerja di perusahaannya.

Apabila mereka belum masuk Islam, maka amal shalih tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَـٰتُهُمْ إِلَّآ أَنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِ…

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. At-Taubah[9]: 54)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍۢ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًا

“Dan Kami akan mendatangi amalan-amalan mereka (di hari kiamat), kemudian Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan[25]: 23)

Meskipun amalan tersebut sebesar gunung, tetapi jika dilakukan dalam keadaan dia masih kafir, maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sedikit pun dari amal shalihnya.

Dan para ulama menyepakati syarat Islam ini.

▪︎Ada beberapa permasalah :

Orang yang kafir, apakah dia berdosa karena dia meninggalkan puasa, shalat, dan kewajiban yang lain? Yang benar adalah bahwasanya dia berdosa. Pertama karena kekafirannya, dan kedua karena meninggalkan kewajiban.

Jadi orang yang kafir kelak di hari kiamat, selain mendapat adzab karena kekafirannya, mereka juga akan mendapat adzab karena sebab dia meninggalkan shalat, puasa di bulan Ramadhan, dan zakat kalau memang dia wajib untuk zakat.

Mengapa demikian? Karena di dalam surat Al-Muddatsir, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang percakapan antara penduduk Surga dengan penduduk Neraka.

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ . قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat…” (QS. Al-Muddassir[74]: 42-43)

Para ulama menjelaskan bahwasanya orang kafir kelak di hari kiamat selain diadzab karena sebab kekafiran mereka, mereka juga mendapat adzab karena mereka meninggalkan kewajiban, di antaranya adalah shalat lima waktu.

Orang kafir yang masuk Islam, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

الإسلام – يعني التوحيد – يجب ما قبله، والهجرة تجب ما قبلها

”Islam (yakni tauhid) akan menghapus (dosa) yang sebelumnya. Dan hijrah juga akan menghapus (dosa) yang sebelumnya.” (HR. Muslim) [1]

Dahulu sebagian sahabat ada yang mereka melakukan sebuah kesalahan, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan tentang besarnya kesalahan tadi. Maka mereka mengatakan, “Seandainya aku baru masuk Islam sekarang”.

Jadi seseorang yang kafir jika dia masuk Islam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Maka hendaklah dia melakukan kewajiban sebagai seorang muslim dan tidak ada kewajiban untuk meng-qadha ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama dia kafir.

Karena dahulu di zaman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam banyak orang yang baru masuk Islam dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk meng-qadha puasa maupun shalatnya.

Kalau ada orang kafir yang masuk Islam di siang hari di bulan Ramadhan, maka dia harus menahan diri. Tidak boleh makan. Jadi semenjak dia masuk Islam, dia menahan diri dan tidak mengqadhanya.

2. Baligh

Baligh adalah dewasa. Tanda-tandanya bagi laki-laki ada tiga dan bagi wanita ada empat.

a. Berumur 15 tahun (dihitung dengan penanggalan hijriyyah).

Karena penanggalan hijriyyah lebih sedikit dari pada penanggalan masehi. Penanggalan hijriyyah 354 hari, sedangkan penanggalan masehi berjumlah 365 hari.

Jika sudah berusia 15 tahun, maka dia sudah baligh. Dalilnya adalah hadits dari Abdullāh Ibnu Umar yang mengatakan bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menawarkan/ menampakkan dia pada saat Perang Uhud. Ketika itu Ibnu Umar berumur 14 tahun yang mana saat itu beliau sudah ada keinginan untuk berjihad. Tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memperbolehkan Ibnu Umar untuk ikut jihad.

Kemudian pada tahun ke-5 Hijriyyah, Ibnu Umar menawarkan diri lagi untuk ikut Perang Khandaq. Ketika itu umurnya 15 tahun. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan Ibnu Umar untuk ikut dalam Perang Khandaq. Usia 15 Tahun sudah dianggap dewasa. Berarti tanda kedewasaan itu apabila sudah berumur 15 tahun.

Berkata Umar bin Abdul Aziz, “Usia 15 tahun adalah batas antara anak kecil dengan orang dewasa.”

b. Tumbuh rambut kemaluan

Kalau sudah tumbuh rambut kemaluan, berarti dia sudah dewasa meskipun belum berumur 15 tahun.

Dalīlnya dari Athiyyah Al-Khuradiy, beliau mengatakan, “Kami diperlihatkan kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pada hari Khuraidzah (kabilah Yahudi yang mengkhianati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat ketika perang Khandaq). Setelah terjadinya Perang Khandaq, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegakkan hukum pancung bagi Bani Khuraidzah. Yaitu kaum laki-laki dibunuh semuanya yang mana jumlahnya ratusan saat itu sesuai dengan perjanjian. Dan di wadi/ lembah dibuatkan kuburan untuk mereka.

Saat itu Nabi membedakan antara yang sudah dewasa dengan yang belum dewasa. Disebutkan, saat itu orang yang sudah keluar rambut kemaluannya dibunuh. Adapun yang belum keluar rambut kemaluannya dibiarkan karena dianggap dia belum dewasa.”

Athiyyah menceritakan, “Maka aku termasuk orang yang belum keluar rambut kemaluannya saat itu. Sehingga aku dibiarkan (tidak dibunuh).”

c. Keluar air mani

Kalau sudah keluar air mani (dalam keadaan tidur atau bangun), meskipun belum berumur 15 tahun atau belum keluar rambut kemaluannya, maka sudah diwajibkan untuk berpuasa.

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.”[2]

Kalau salah satu dari tiga tanda tanda sudah ada pada anak laki-laki maka dia sudah dewasa.

d. Haid

Kalau untuk anak wanita yaitu datang haid. Dalilnya adalah ucapan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, “Allah tidak menerima shalatnya wanita yang sudah haid kecuali apabila dia menutup auratnya.”

Hadits ini menunjukan bahwasanya di antara syarat sahnya shalat seorang wanita apabila dia shalat adalah dalam keadaan auratnya tertutup.

Itu adalah syarat atau tanda  seseorang dinamakan baligh. Dan para salaf bukan berarti mereka menyuruh anaknya ketika baligh saja, bahkan semenjak sebelum baligh sudah dibiasakan dengan amal shalih.

Sebelum baligh sudah kita biasakan/latih mereka untuk berpuasa. Hari yang pertama misalnya kita suruh berpuasa sampai seperempat hari. Misalnya kita katakan: “Kalau bisa sampai jam 10 akan dikasih uang.” Dan seterusnya meningkat sehingga dia terbiasa melakukan puasa selama satu hari.

3. Berakal

Di antara syarat wajib puasa adalah berakal, orang yang kehilangan akalnya tidak berkewajiban untuk berpuasa saat itu, kalau dia berpuasa maka tidak diterima puasanya. Karena puasa perlu niat.

Nabi mengatakan : “Barangsiapa yang tidak membiarkan puasa dari malam hari maka puasanya tidak sah.”

Menunjukkan puasa harus dilakukan oleh yang berakal karena puasa harus dengan niat.

Dan di dalam hadits,”Pena diangkat dari tiga golongan di antaranya adalah dari orang gila sampai dia berakal”, artinya orang yang gila sampai dia melakukan puasa tidak akan diterima puasa tidak akan ditulis oleh malaikat.

▪︎Ada beberapa permasalah :

⑴ Contoh orang yang tidak berakal seperti orang gila, demikian pula orang yang sudah pikun (sudah tidak berakal). Terkadang nama anaknya sendiri dia lupa, atau dia tidak ingat apakah sudah makan atau belum.

Maka orang yang demikian bukan termasuk orang yang gila tetapi termasuk orang yang sudah kehilangan akalnya. Orang yang pikun tidak diwajibkan untuk berpuasa karena kehilangan satu syarat.

⑵ Orang-orang yang tidak berakal di atas tidak berkewajiban menggqadha puasa dan tidak membayar fidyah.

⑶ Orang yang gila yang sadar di siang hari di bulan Ramadhan maka dia berkewajiban untuk menahan diri yaitu menahan diri sampai sore dan dia tidak diwajibkan untuk menggadha hari tersebut tapi hari selanjutnya dia diwajibkan untuk berpuasa karena dia sudah sadar.

⑷ Orang yang pingsan sebelum fajar kemudian setelah shalat subuh dia baru sadar maka dia diharuskan untuk menggadha puasa pada hari tersebut. Karena kita diharuskan untuk niat sebelum subuh. Puasa yang wajib diharuskan niat sebelum subuh.

⑸ Orang yang tidur sebelum subuh kemudian bangun setelah shalat subuh puasanya tetap sah apabila dia sudah meniatkan untuk puasa di malam harinya.

4. Mampu untuk melakukan puasa

Orang yang tidak mampu untuk berpuasa maka boleh dia berbuka, bahkan dalam sebagian keadaan wajib hukumnya untuk berbuka.

Dan ketidakmampuan orang dalam berpuasa terbagi menjadi dua :

⑴ Tidak mampu sementara artinya diharapkan dia punya pengharapan bahwa ketidak mampuan tadi akan selesai maka dia diwajibkan untuk mengqadha.

Seperti :

√ Orang yang  sakit dan diharapkan kesembuhannya.
√ Orang yang hamil dan menyusui maka dia ada harapan untuk punya kesempatan dalam berpuasa.

Nabi mengatakan, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari orang yang safar kewajiban puasa dan setengah shalat dan menggugurkan dari orang yang hamil atau menyusui kewajiban puasa.”

Jadi musafir digugurkan kewajiban berpuasa. Dan didalam Al-Qur’an Allah mengatakan :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah[2]:184)

Demikian pula seorang yang hamil dan wanita yang menyusui juga digugurkan kewajiban berpuasa artinya boleh bagi ibu yang hamil dan menyusui untuk meninggalkan puasa apabila memang dia tidak kuat.

⑵ Ada di sana ketidakmampuan yang selamanya bukan sementara.

Contohnya adalah:

√ Orang yang sakit dan tidak diharapkan kesembuhannya (sakit yang parah). Maka orang yang demikian kita tidak bisa mewajibkan mereka untuk mengqadha karena dia tidak mampu untuk berpuasa di bulan Ramadhan dan juga di bulan selain Ramadhan.

Maka kewajiban orang yang demikian adalah membayar fidyah.

√ Orang yang sudah tua maka ini adalah udzur ketidakmampuan yang selamanya karena orang yang sudah tua tidak mungkin kembali lagi muda.

Maka orang yang demikian diwajibkan untuk membayar fidyah tidak diwajibkan untuk mengqadha puasa.

Dalilnya adalah firman Allah:

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ

“Dan bagi orang yang susah payah untuk melakukan puasa maka dia diwajibkan untuk membayar fidyah (memberi makan orang miskin).” (QS. Al-Baqarah[2]:184)

Berkata Salamah ibni Aqwa ketika turun firman Allah وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ dahulu orang yang ingin berbuka dan dia ingin membayar fidyah sampai turun ayat yang setelahnya kemudian dia menghapuskan ayat ini.

Dahulu di awal disyari’atkan puasa, orang yang memiliki kemampuan diberikan pilihan antara membayar fidyah dengan berpuasa. Setelah itu dihapus dengan ayat yang lain sehingga semuanya diwajibkan, tidak ada pemberian pilihan.

Kemudian orang yang benar-benar tidak mampu dan udzurnya adalah selamanya (seperti orang yang sudah tua baik laki-laki maupun wanita), maka dia diwajibkan untuk membayar fidyah.

Perhatikan ucapan Abdullah ibnu Abbas mengatakan: Ayat ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ bukan ayat yang dihapus karena yang dimaksud adalah seorang laki-laki dan wanita yang sudah tua yang tidak kuat berpuasa, maka dia harus memberi makan dari setiap hari yang ditinggalkan satu orang miskin.

Kalau puasanya 29 hari, maka boleh kita mengumpulkan 29 orang miskin. Kemudian kita berikan makan kepada mereka.

▪︎Ada beberapa permasalah :

Orang yang sakit terbagi menjadi 3 macam:

⑴ Orang yang sakit kalau dia berpuasa akan termudharati atau tambah parah bahkan bisa menyebabkan kematian. Maka orang yang demikian wajib untuk berbuka puasa dan haram berpuasa. Kalau dia tetap berpuasa dan dia tahu puasa akan memudharatinya maka dia berdosa.

Dalilnya Allah mengatakan :

وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah[2]: 195)

Dan Nabi mengatakan, “Tidak boleh memudharati diri sendiri dan juga tidak boleh memudharati orang lain.”

⑵ Orang yang sakit yang jika dia berpuasa akan menyebabkan dia berat tapi tidak sampai memudharati, artinya lebih baik dari yang pertama. Maka lebih afdhalnya dia berbuka puasa. Jika dia tetap berpuasa maka hukumnya sah.

⑶ Orang yang sakitnya tidak menganggu puasanya, contohnya seperti flu ringan. Seandainya dia puasa maka ini tidak masalah. Maka sakit yang ringan seperti ini tidak boleh dia berbuka.

Jadi sakit yang dimaksud dalam ayat فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا adalah sakit yang membuat dia payah, membuat dia berat untuk berpuasa.

▪︎ Bagaimana mengetahui sakitnya ini memudharati atau tidak?

Di antaranya:

⑴ Dengan dirasakan kebiasaan kemarin bagaimana. Misalnya kalau telat makan bisa menambah parah. Maka dari pengalaman yang bisa dirasakan oleh orang sakit tadi kita tahu bahwa ini termudharati.
⑵  Dengan bertanya kepada dokter atau ahli kesehatan yang terpercaya yang mereka mengetahui bahwasanya kalau sampai telat makan maka bisa tambah parah.

▪︎ Beberapa perkara yang berkaitan dengan ibu hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui yang boleh berbuka adalah yang takut mudharat atas dirinya dan juga anaknya. Yaitu memiliki kekhawatiran kalau saya berpuasa janin saya bisa termudharati. Atau kalau saya berpuasa air susu saya tidak keluar, sehingga anaks aya tidak bisa minum. Atau kalau saya berpuasa maka saya akan sakit. Orang yang demikian boleh dia untuk tidak berpuasa.

Adapun seorang wanita yang hamil atau menyusui dan dia dalam keadaan sehat, maka orang yang demikian wajib untuk berpuasa.

▪︎ Kewajiban orang yang hamil dan menyusui dan dia berbuka.

Pertama, kalau dia berbuka puasa di bulan Ramadhan, maka kewajibannya adalah dia harus mengqadha. Karena telah disampaikan kalau udzurnya sementara harus menggadha. Dan ibu hamil dan menyusui termasuk yang udzurnya sementara.

Kedua, apakah dia khawatir dirinya sendiri atau khawatir akan anaknya? Kalau dia khawatir untuk dirinya sendiri, karena dia merasa sakit atau merasa lemas, maka ini diqiyaskan (disamakan) dengan orang yang sakit. Orang yang sakit hanya mengqadha puasa saja. “Maka dia mengganti para hari-hari yang lain.”

Tetapi kalau  dia tidak berpuasa karena khawatir dengan kondisi anaknya, maka dalam keadaan demikian selain dia mengqadha puasa dia juga diharuskan membayar fidyah dari setiap hari puasa yang dia tinggalkan membayar dengan memberi makan satu orang miskin.

Bagaimana seandainya dia meninggalkan puasa tadi karena 2 sebab sekaligus. Yaitu karena dia sendiri sakit dan dia khawatir anaknya termudharati. Dalam keadaan demikian maka dia hanya mengqadha saja tanpa membayar fidyah.

▪︎ Permasalahan yang berkaitan dengan orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.

Orang yang sudah tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan dan orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya maka dia harus membayar fidyah dan tidak berkewajiban untuk mengqadha.

Cara membayar fidyahnya adalah dengan memberi makan satu orang miskin dari setiap hari yang dia tinggalkan. Jika 30 hari dia tidak berpuasa maka dia harus memberi makan 30 orang miskin.

Ukurannya adalah satu orang miskin diberikan 1/2 sha’ makanan pokok mentah, 1/2 sha’ jika diukur dengan kilogram kurang lebih sama dengan 1 1/2 Kg beras. Karena ini diqiyaskan dengan fidyah haji ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan : “Setiap satu orang miskin 1/2 sha’.”

Jika ingin memberikan mentahnya maka kita harus memberikan 1 1/2 Kg beras. Jika akan memberikan dalam bentuk makanan matang pun bisa diberikan 1 porsi cukup untuk satu orang, apalagi ditambah lauknya, maka ini boleh.

Dahulu Anas bin Mālik sahabat Nabi beliau mengumpulkan 30 orang faqir. Karena beliau sudah tua, di akhir Ramadhan beliau kumpulkan 30 orang miskin kemudian memberi makan mereka. Berarti fidyah itu boleh makanan matang boleh juga makanan mentah.

Makanan pokok yang dibagikan mentah bisa diberikan kepada satu orang miskin, tidak boleh diganti dengan uang, tetapi harus berupa makanan pokok. Karena beliau mengatakan, “Memberi makan orang miskin (bukan memberi uang orang miskin).” Padahal dizaman Nabi sudah ada uang.

Boleh memberi makan di akhir Ramadhan dengan dikumpulkan atau secara terpisah-pisah per hari. Yang lebih afdhal adalah memberi makan setiap hari karena melaksanakan kewajiban itu lebih cepat lebih baik. Hari ini kita tidak puasa, langsung sorenya memberi satu orang miskin.

5. Muqim (lawan dari safar)

Muqim adalah syarat wajib puasa, karena Allah mengatakan :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa dalam keadaan muqim (sehat dan mampu) maka hendaklah dia berpuasa” (QS. Al-Baqarah [2]:185)

Menunjukkan kalau dia tidak dalam keadaan muqim atau sedang dalam keadaan safar maka dia tidak wajib untuk berpuasa.

▪︎Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan masalah muqim

Orang musafir yang diperbolehkan berbuka adalah orang yang diperbolehkan mengqashar shalat. Jumhur ulama mengatakan seseorang dikatakan safar apabila jarak tempuhnya adalah 80 Km atau lebih. Kalau 79 Km belum diperbolehkan untuk berbuka puasa.

Orang yang musafir boleh berbuka ketika sudah meninggalkan rumah-rumah di daerah tempat dia tinggal. Kalau masih di sekitar rumahnya atau belum meninggalkan rumahnya, maka dia belum boleh untuk berbuka. Tapi kalau sudah meninggalkan rumah yang terakhir di daerahnya, maka dia boleh untuk berbuka.

Orang yang safar boleh berbuka boleh juga tidak. Seandainya dia ingin berpuasa boleh, seandainya dia ingin berbuka pun juga boleh.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya seorang sahahabat Hamzah bin Amr (dia adalah orang kuat untuk berpuasa) dia bertanya, “Apakah aku boleh berpuasa ketika dalam keadaan safar?”

Kemudian beliau mengatakan,” Kalau engkau ingin, maka hendaklah engkau berpuasa dan seandainya engkau ingin maka hendaklah berbuka.” Artinya beliau memberikan pilihan silahkan berpuasa atau berbuka.

Pertanyaannya mana yang lebuh afdhal?

Ada ulama yang mengatakan afdhalnya adalah berpuasa dan ada di antara ulama yang mengatakan afdhalnya berbuka. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang memperinci.

Bagaimana perinciannya?

Kalau safarnya melelahkan (memberatkan) maka afdhalnya berbuka (tidak berpuasa) karena Nabi mengatakan, “Bukan termasuk kebaikan orang yang berpuasa ketika bepergian.” Ini diucapkan oleh Nabi karena ketika beliau sedang bepergian ada orang sedang berkerumun ternyata di situ ada orang yang sedang tergeletak (lemas).

Kemudian nabi bertanya, “Ada apa dengan dia?” mereka mengatakan,”Orang ini sedang berpuasa” Kemudian Nabi mengatakan, “Bukan termasuk kebaikan orang yang berpuasa ketika dalam keadaan bepergian” Maksudnya adalah orang yang tidak kuat berpuasa maka jangan memaksakan diri untuk berpuasa.

Kalau safarnya tidak melelahkan, maka afdhalnya tetap berpuasa.

Kenapa afdhalnya berpuasa?

⑴ Kita lebih cepat mengerjakan kewajiban lebih baik daripada harus menunda.
⑵ Jika saat itu dia berpuasa maka dia menemukan waktu yang utama karena dia berpuasa di bulan Ramadhan. Dan beramal shalih di bulan Ramadhan lain nilainya daripada beramal shalih dibulan lain.
⑶ Lebih mudah. Hal ini karena kita berpuasa sama-sama dengan yang lain. Mengerjakan ibadah ramai-ramai lebih ringan daripada mengerjakan ibadah sendiri.

Orang yang lelah dalam keadaan safar kemudian dia memaksa dirinya untuk berpuasa maka puasanya sah namun dia melakukan perkara yang tidak afdhal karena afdhalnya dia berbuka.

Terkadang berbuka puasa ketika dalam keadaan bepergian menjadi wajib untuk berbuka. Yaitu apabila dia berpuasa kemudian memudharati dia, maka dalam keadaan seperti ini dia wajib untuk berbuka.

Orang yang bepergian dan berbuka bolehkan mendatangi istrinya? Jawabannya boleh, karena dia tidak sedang dalam keadaan berpuasa.

Orang yang sering bepergian sepanjang tahun seperti supir bus, dibulan Ramadhan dia tetap bekerja. Atau dia seorang nahkoda (supir kapal), apakah boleh dia berbuka? Jawabannya boleh dia berbuka. Karena keumuman firman Allah “Barangsiapa di antara kalian yang safar…” maka boleh dia berbuka meskipun  dia terus melakukan safar. Dan hendaklah dia mengqadha pada hari lain, yaitu ketika dia pulang kerumahnya.

6. Bebas dari penghalang (khusus bagi wanita yaitu haidh dan nifas)

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Bukankah wanita apabila haidh dia tidak shalat dan tidak berpuasa.”

Berarti wanita haidh tidak shalat dan tidak berpuasa dan ini adalah Ijma.

Kata Imam At-Tirmidzī, “Kesepakatan para ulama bahwasanya wanita yang haidh mengqadha puasanya dan tidak mengqadha shalatnya.”

▪︎ Beberapa permasalahan wanita haidh dan nifas

Wanita haidh dan nifas hanya berkewajiban mengqadha puasa saja tidak ada fidyah.

Orang yang haidh dan nifas kalau dia berpuasa maka tidak sah puasanya, bahkan dia berdosa. Karena ini termasuk penghinaan terhadap syari’at. Seperti seorang wanita yang shalat dalam keadaan haidh, selain shalatnya tidak sah dia juga berdosa.

Bahkan sebagian syaithan dan jinn yang mereka bekerja sama dengan dukun dan tukang sihir, di antara syaratnya adalah menyuruh seseorang untuk shalat dalan keadaan haidh. Hal ini karena dia senang sesuatu yang menghina syari’at.

Wanita yang berhenti darahnya menjelang Subuh, maka dia wajib berpuasa meskipun belum mandi. Misalnya 1/2 menit sebelum adzan dia baru berhenti darahnya, maka dia wajib berpuasa meskipun belum mandi.

Jika seorang  wanita suci di siang hari, maka dia meneruskan bukanya sampai sore hari dan mengqadha hari tersebut.

Boleh bagi wanita untuk menggunakan obat penahan haidh. Kalau tidak memudharati, maka seorang wanita boleh untuk meminum obat penahan haidh. Tapi yang afdhal adalah jangan meminum obat penahan haidh. Hendaklah dia sesuai dengan keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah bagi para wanita, maka jangan kita memakai obat penahan haidh kalau tidak ada keperluan.

Kalau datang haidh di siang hari meskipun sebentar sebelum maghrib wajib maka wajib mengqadha hari tersebut.

Lain-lain

Orang yang berkewajiban mengqadha maka hendaklah dia segera mengqadha, jangan ditunda-tunda. Kalau bisa diqadha dibulan Syawal maka lakukan.

Orang yang mengakhirkan qadha sampai datang Ramadhan berikutnya, kalau dia menundanya karena udzur maka dia tidak punya kewajiban kecuali mengqadha saja.

Tetapi jika alasannya tidak syar’i (karena malas misalnya) maka orang yang demikian selain dia mengqadha maka dia juga diharuskan membayar fidyah memberi makan satu orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan.

Kalau dia tidak mampu membayar fidyah (1/2 sha’ ) maka sebagian ulama berfatwa maka gugur kewajibannya dan cukup bagi dia untuk mengqadha.

Orang yang memiliki pekerjaan yang berat (kuli bangunan misalnya) Syaikh Muhammad Shālih bin Utsaimin mengatakan : “Orang yang punya pekerjaan berat tidak boleh berbuka kecuali dalam keadaan darurat. Seharusnya dia mengambil hari libur di bulan Ramadhan (karena ini kewajiban dan termasuk rukun Islam). Atau diganti di malam hari agar siangnya dia tetap bisa berpuasa, atau mencari pekerjaan yang lain, atau pindah ke negara lain. Jika semua itu tidak mungkin maka boleh dia makan dan minum sekedarnya kemudian menahan sampai tenggelam matahari dan mengqadha pada hari yang lain.”

Video Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Mari turut menyebarkan “Syarat Wajib Puasa dan Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berupasa ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

[1] Lihat https://muslim.or.id/45907-tauhid-sebagai-sebab-penggugur-dosa-bag-2.html

[2] Lihat https://almanhaj.or.id/1636-kepada-siapa-puasa-diwajibkan.html

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: