Berikut khutbah idul fitri “Pelajaran dari Pendidikan Ramadhan” yang disampaikan Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullahu Ta’ala.
Navigasi Catatan:
Khutbah Idul Fitri tentang Pelajaran dari Pendidikan Ramadhan
Ummatal Islam,
Segala puji bagi Allah yang memberikan kepada kita kenikmatan yang besar, dimana Allah memberikan kepada kita kemudahan untuk melaksanakan sebuah ibadah yang besar, ibadah yang agung, yaitu bulan Ramadhan, bulan yang diturunkan padanya Al-Qur’an, bulan yang sangat istimewa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diturunkan padanya Al-Qur’an, di dalamnya sebuah malam yang lebih baik daripada 1000 bulan.
Saudara-saudaraku sekalian,
Bulan Ramadhan Allah syariatkan kepada kita, tiada lain adalah untuk kebaikan diri kita. Allah ingin mendidik kita dengan bulan Ramadhan. Tidak ada sekolah yang lebih baik daripada sekolah Ramadhan, karena disanalah ditempa keimanan kita, ditempa kesabaran kita, ditempa dengan ketaatan-ketaatan.
1. Pendidikan sabar
Ketika kita berpuasa, kita diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah pendidikan agar kita bersabar dengan tiga derajatnya; yang pertama yaitu sabar di atas ketaatan yang merupakan tingkat kesabaran yang paling tinggi. Kita berusaha untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kita berpuasa, menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa.
Yang kedua, kita dididik untuk sabar untuk meninggalkan kemaksiatan, bahkan perkara yang mubah, yang sia-sia, yang tidak bermanfaat, sangat dianjurkan kita untuk meninggalkannya dibulan Ramadhan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ
“Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum,”
إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Akan tetapi hakikat puasa itu dari perbuatan yang sia-sia dan ucapan yang tidak baik.”
Maka ketika seseorang sabar untuk meninggalkan kemaksiatan, sungguh sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya, disaat ia diberikan oleh Allah untuk meninggalkan kemaksiatan.
Yang ketiga, kesabaran menghadapi musibah. Musibah lapar, musibah kehausan, itu adalah merupakan musibah yang menimpa kita disaat kita berpuasa.
Maka tiga derajat kesabaran ini Allah berikan kepada kita agar menjadi suatu bekal yang kita senantiasa pegang setelah bulan Ramadhan. Kita berusaha untuk sabar setelah itu dengan shalat kita, dengan bacaan Al-Qur’an kita, dengan shalat malam kita, dengan pauasa kita.
Ketika seseorang istiqamah setelah Ramadhan di atas ketaatan, sungguh dia telah merasakan Ied yang sebenarnya. Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Lathaiful Ma’arif berkata:
ليس العيد لمن لبس الجديد
“Bukanlah hari raya itu bagi orang yang memakai pakaian baru,”
إنما العيد لمن طاعاته تزيد
“Akan tetapi bagi orang yang ketaatannya bertambah.”
Setelah Ramadhan semakin bertambah ketaatan dia kepada Allah. Sebelum Ramadhan mungkin ia jarang shalat tahajud, setelah Ramadhan semakin ia rajin shalat tahajud. Sebelum Ramadhan mungkin ia kurang membaca Al-Qur’an, kurang untuk melaksanakan shalat sunnah, tapi setelah Ramadhan semakin bertambah ketaatan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah saudaraku.. Tanda orang yang diterima ibadahnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena hakikat ibadah puasa adalah untuk menimbulkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 183)
Inilah tujuan yang Allah inginkan dari puasa, yaitu ketakwaan. Dimana hakikat ketakwaan adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya.
Ketika seorang hamba setelah Ramadhan, kuat ia untuk menaati Allah, menjauhi kemaksiatan, demi Allah itu tanda bahwasanya Ramadhannya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi ketika setelah Ramadhan tidak ada perubahan, setelah Ramadhan ia kembali kepada perbuatan maksiatnya yang dulu, setelah Ramadhan ternyata sama sekali tidak menjadi sesuatu yang menjadi perisai dia daripada perbuatan maksiat, itu tanda bahwasanya puasanya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ummatal Islam,
Sesunguhnya tidak ada nikmat yang paling besar yang Allah berikan kepada seorang hamba kecuali ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah karunia terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba, melebihi karunia berupa nikmat di dunia. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: ‘dengan karunia Allah dan rahmatNya, yaitu berupa hidayah taufiq dan demikian pula hidayah ilmu, dengan karunia Allah dan rahmatNya hendaklah mereka bergembira, itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan berupa kehidupan dunia.’” (QS. Yunus[10]: 58)
Saudara-saudaraku sekalian,
Ini adalah merupakan pendidikan pertama yang Allah ingin didik kita di atasnya, mendidik kita tentang kesabaran. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaran kalian, dan berjagalah di tapal batas, dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian menjadi orang-orang yang beruntung.”
2. Pendidikan keikhlasan dan tauhid
Pendidikan kedua yang Allah inginkan daripada bulan Ramadhan, mendidik keikhlasan kita, tauhid kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika kita di bulan Ramadhan, kita berusaha untuk mengikhlaskan amal ibadah kita karena Allah. Doa kita hanya kita panjatkan kepada Allah, tawakal kita berikan hanya kepada Allah, sujud kita, rukuk kita, bahkan semua ibadah kita hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berapa banyak, saudaraku, di bulan Ramadhan air mata yang berlinang karena mengharapkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala di malam Lailatul Qadar. Berapa banyak dahi-dahi yang diletakkan di tanah dan di lantai untuk bersujud kepada Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalah, untuk mengagungkan Dia sebagai satu-satunya Raja Diraja, pencipta langit dan bumi.
Berapa banyak, saudaraku, pengharapan-pengharapan yang digantungkan kepada Allah penciptanya? Karena ia yakin bahwasanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.
Sungguh itu adalah merupakan tujuan yang teragung Allah ciptakan manusia.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu saja (kata Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56)
Ummatal Islam,
Adakah yang teragung bagi seorang hamba ketika dia menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Demi Allah, status yang paling agung di mata Allah dari seorang manusia adalah dia sebagai seorang hamba. Makanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan menyebut beliau sebagai hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ…
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya…”
Allah menyebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai hambaNya karena itulah predikat yang paling tinggi bagi seorang manusia. Ketika manusia menghambakan dirinya hanya kepada Allah, maka ia menjadi hamba yang sempurna. Tapi ketika seorang manusia menghambakan dirinya kepada kedudukan, menghambakan dirinya kepada uang dan jabatan, ketika seorang hamba menghambakan dirinya kepada hawa nafsu, semua itu menjadikan seorang manusia sampai kepada derajat yang paling rendah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling bagus.” (QS. At-Tin[95]: 4)
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“Kemudian Kami kembalikan dia ke dalam derajat yang paling rendah akibat dia mengikuti hawa nafsunya.” (QS. At-Tin[95]: 5)
Maka Ummatal Islam, seorang hamba tidak boleh rela untuk menggambarkan dirinya kepada hawa nafsu diri, tidak boleh ia rela untuk menghambakan dirinya kepada harta dan kedudukannya, tapi hambakan dirinya kepada Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalah. Sehingga dia pun menjadi hamba-hamba yang diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidakkah Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menyebut mereka sebagai hamba-hambaNya? Allah berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Dan hamba-hamba Ar-Rahman…”
Siapa mereka?
“Mereka yang berjalan di muka bumi dengan penuh tawadhu’, dengan penuh rasa rendah hati.” (QS. Al-Furqan[25]: 63)
Subhanallah.. Pelajaran yang sangat agung yang Allah inginkan dari kita, agar kita betul-betul menjadi hamba yang benar, yang betul-betul menghambakan diri kita dan hati kita kepada Allah, yang hati kita membesarkan Allah, mengagungkanNya.
Oleh karena itulah saudarakau, setelah selesai dari bulan Ramadhan, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertakbir. Allah berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
“Agar kalian menyempurnakan jumlah bilangan bulan Ramadhan dan agar kalian membesarkan Allah.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)
Maka kita ucapkan:
الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Namun tentunya saudaraku, pembesaran Allah bukan hanya di lisan, hakikatnya adalah di hati kita. Ketika seorang hamba hanya membesarkan Allah, tidak ada yang lebih besar di hatinya kecuali Allah, ia pasti menjadi hamba yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia pasti menjadi hamba yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti dia menjadi hamba yang patuh.
Semua yang diperintahkan oleh Allah maka dia akan berkata: “Sami’na wa atha’na“, semua yang dilarang oleh Allah, dia akan berkata “Sami’na wa atha’na“. Itulah orang-orang yang membesarkan Allah, itulah orang-orang yang berterima kasih kepada penciptanya, itulah orang-orang yang sadar siapa dirinya, sebagai seorang manusia yang lemah yang sangat membutuhkan kenikmatan Rabbnya, rahmat dan kasih sayangNya.
Ummatal Islam,
Pendidikan yang sangat agung dari bulan Ramadhan. Kita senantiasa berharap rahmat dan kasih sayang Allah, kita senantiasa berharap akan ampunan Allah. Di bulan Ramadhan, berapa banyak hamba-hamba yang dimerdekakan oleh Allah dari api neraka? Namun kita tidak tahu apakah kita termasuk orang-orang yang dimerdekakan atau tidak? Kita hanya bisa berharap kepada Allah, kita hanya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah mengampuni diri-diri kita dan memerdekakan kita dari api neraka.
Ummatal Islam,
3. Pendidikan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pelajaran ketiga yang Allah inginkan dari sebuah pendidikan di bulan Ramadhan ini, yaitu agar kita menjadi seorang hamba yang betul-betul memurnikan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bukankah orang yang berpuasa tapi tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah orang yang membuat ibadah dan ternyata tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ…
“Katakan: ‘Jika kalian memang mencintai Allah, ikuti aku (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), niscaya Allah akan mengampuni dosa kalian dan Allah akan cintai kalian.’” (QS. Ali ‘Imran[3]: 31)
Demi Allah, saudaraku.. Tidak sempurna iman kita sampai kita menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai hakim dalam hidup kita. Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ…
“Tidak, demi Rabbmu..”
لَا يُؤْمِنُونَ
“Mereka tidak beriman.”
Sampai kapan?
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Sampai mereka menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang diperselisihkan oleh mereka.”
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
“Kemudian mereka tidak mendapatkan dalam hati mereka rasa berat untuk menerima keputusanmu.”
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Kemudian ia pun taslim (menyerahkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya taslim)” (QS. An-Nisa'[4]: 65)
Saudaraku, ketika kita tahu bahwa Rasulullah memerintahkan ini, segera kita katakan: “Sami’na wa atha’na”. Ketika kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang itu, jangan kita berkata: “Apakah ini menguntungkan diri kita atau tidak?” Karena sesungguhnya keuntungan yang terbesar adalah mengikuti Allah dan RasulNya.
Ini dia Rafi’ bin Khadij berkata:
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ وَهُوَ نَافِعٌ لَنَا، وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami untuk meng-kiraa’ tanah dan itu bermanfaat buat kami, akan te tapi menaati Allah dan RasulNya lebih bermanfaat untuk kami.”
Subhanallah.. Itu keimanan, saudaraku.. Meyakini seyakin-yakinnya bahwasanya menaati Rasulullah itulah pangkal kesuksesan dalam hidup kita, di dunia dan di akhirat kita. Tapi siapa yang berpaling dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jangan dia salahkan dan menyalahkan kecuali dirinya sendiri a pabila Allah berikan kepada dia sesuatu yang dia tidak inginkan. Allah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah waspada orang-orang yang sengaja menyelisihi perintah Rasulullah untuk ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nur[24]: 63)
Mereka-mereka yang menyelisihi perintah Rasulullah diancam oleh Allah dengan salah satu dari dua, dan dua-duanya pahit, saudaraku.
Allah mengatakan: “Hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah untuk ditimpa fitnah.” Apa yang dimaksud dengan fitnah? Imam Ahmad mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fitnah di sini syirik. Sseorang sengaja menyelisihi perintah Rasulullah kemudian Allah jadikan hatinya condong kepada kesyirikan, condong kepada kekafiran. Na’udzubillah..
Kemudian Allah mengatakan: “Atau ditimpa adzab yang pedih.” Silahkan wahai orang-orang yang menyelisihi dan memaksiati Rasul, silahkan pilih antara dua ini. Ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. Apabila kita tidak menginginkan dua-duanya, tidak ada jalan kecuali satu jalan, yaitu menaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mempelajari bagaimana sunnah beliau, menghidupkan bagaimana sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Saudaraku, cinta Rasul bukan hanya sebatas di lisan, cinta Rasul hakikatnya betul-betul terealisasi dalam badan, dalam shalatnya, dalam ibadahnya, dalam ucapannya, dalam pandangan matanya, banhkan dalam seluruh tingkah lakunya dia berusaha sekuat tenaga mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sesuai dengan kemampuannya.
Subhanallah.. saudaraku..
Betapa agungnya orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan umat Islam ketika menyelisihi perintah Rasulullah, mereka akan ditimpa kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum mereka adalah banyak bertanya dan banyak menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihat juga: Hadits Arbain ke-9 : Kerjakan Perintah Semampunya dan Jangan Banyak Bertanya
Lihat oleh kita di perang Uhud, Rasulullah dan para sahabatnya kalah akibat sebagian pasukan pemanah memaksiati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah menyuruh mereka jangan turun baik menanga atau kalau. Tapi mereka kemudian turun, akhirnya Allah berikan kepada mereka kehinaan.
Subhanallah.. Saudaraku..
Di perang Hunain, Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kekalahan karena sebagian mereka merasa ‘ujub dengan jumlah mereka yang banyak. Bukan seluruh sahabat, tidak. Sebagian mereka mengira bahwa jumlah mereka banyak, pada waktu pasukan kaum muslimin 12.000 orang dan pasukan kaum musyrikin 4000 orang, kemudian sebagian kaum muslimin berkata:
لن نُغلب من قلة
“Kita tidak mungkin kalah, jumlah kita lebih besar.”
Tapi apa yang terjadi? Ketika terjadi perang Hunain, di putaran pertama kaum muslimin kalah.
Subhanallah.. saudaraku.. Allah abadikan dalam surat At-Taubah tentang kejadian itu untuk menjadi pelajaran bagi kita semuanya bahwasanya merasa bangga dengan jumlah yang banyak tidak ada manfaatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemenangan bukan dengan banyaknya jumlah, tapi dengan ketakwaan kepada Allah, dengan mengikuti perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi ketika umat Islam tidak peduli dengan perintah Allah dan RasulNya, Allah berikan keapda mereka kehinaan dan kebinasaan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa menaati Allah dan RasulNya. Semoga kita termasuk orang-orang yang diterima oleh Allah amal ibadah kita di bulan puasa ini. Semoga kita termasuk manusia-manusia yang mendapatkan pemerdekaan dari api neraka.
Mp3 Khutbah Idul Fitri Tentang Pelajaran dari Pendidikan Ramadhan
Podcast: Download (Duration: 22:11 — 5.1MB)
Sumber video: Radio Rodja
Mari turut menyebarkan transkrip khutbah idul fitri “Pelajaran dari Pendidikan Ramadhan” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Komentar