Kesimpulan Ciri Seorang Wali Allah dan Penyimpangannya ini adalah apa yang bisa kami ketik dari tabligh akbar yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafidzahumullahu Ta’ala.
Lihat sebelumnya:
A. Mencintai Wali-Wali Allah
B. Bagaimana cara mencintai wali-wali Allah?
C. Siapakah wali-wali Allah?
D. Pengertian dan Kriteria Wali Allah
F. Level wali-wali Allah
Navigasi Catatan:
G. Kesimpulan ciri seorang wali Allah dan penyimpangannya
Menit-1:08:36 Jadi, ciri utama seorang wali adalah ketika dia senantiasa menjaga kewajiban-kewajiban agama, dia melakukan apa yang diwajibkan oleh Allah dan menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan diantara kewajiban terbesar yang diwajibkan oleh Allah atas umat ini adalah shalat lima waktu. Dan shalat lima waktu adalah merupakan barometer harian seorang wali.
Jadi, kalau ingin tahu wali itu seperti apa, pertama lihat shalatnya. Apakah dia shalat lima waktunya baik di masjid, sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau jarang kelihatan di masjid?
Seandainya dia jarang kelihatan di masjid, dia suka mengundur-undur waktu shalat, maka dia bukan wali. Wali Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang senantiasa menjalankan shalat lima waktu tepat pada waktunya dan di masjid-masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama bagi kaum pria.
Dan juga meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maksiat, perbuatan dosa. Seandainya orang mengaku wali akan tetapi dia melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, perbuatan maksiat dia lakukan, maka ini bukan wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, wali adalah orang yang senantiasa menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangannya.
Menit-1:13:25 Jadi, para wali adalah orang yang senantiasa menjalankan kewajiban agama dan menjauhi hal yang diharamkan oleh Allah. Maka dari sini kita mengetahui kekeliruan sebagian orang yang mengatakan bahwa kalau orang sudah sampai derajat wali, maka dia sudah tidak wajib lagi untuk menjalankan perintah agama dan sudah bebas untuk melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah sebuah pemahaman yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿٩٩﴾
“Beribadahlah kalian kepada Allah sampai datangnya al-yaqin.” (QS. Al-Hijr[15]: 99)
Sebagian dari mereka mengatakan “yaqin” ini adalah sebuah derajat ketika seseorang sudah sampai gugur dari kewajiban agama dan bebas melakukan larangan-larangan agama. Ini sebuah pemahaman yang keliru. Pemahaman yang benar, arti dari “yaqin” adalah kematian. Sehingga:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿٩٩﴾
“Beribadahlah kalian kepada Allah sampai datangnya ajal (kematian).” (QS. Al-Hijr[15]: 99)
Hal ini selaras dengan ayat Al-Qur’an:
… وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٠٢﴾
“Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali-Imran[3]: 102)
Sebelumnya Allah memerintahkan:
اتَّقُوا اللَّـهَ
“Bertakwalah kepada Allah.”
Jadi bertakwa kepada Allah sampai kita menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka contohlah para wali-wali Allah yang mulia, para Nabi, para Rasul, para sahabat Ridwanullah ‘Alaihim.
Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dihari beliau wafat, saat itu adalah waktu subuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena saking beratnya sakitnya beliau tidak bisa shalat di masjid. Akan tetapi ada sebuah jendela dari rumahnya yang dengannya beliau bisa melihat orang-orang yang sedang shalat di masjid.
Waktu itu shalat subuh. Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat -Subhanallah- para wali Allah, para sahabat berjejer rapi shalat berjamaah di masjid, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, itulah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi begitu melihat para sahabatnya rajin dan lurus shafnya, wajah beliau berseri-seri melihat wali-wali Allah. Inilah seharusnya wali-wali Allah.
Jadi bukan wali Allah yang mengatakan bahwa dirinya sudah tidak wajib lagi melakukan ini dan itu karena sudah gugur dari kewajiban, bukan. Apalagi ada di antara mereka yang kemudian mengatakan kalau orang sudah sampai derajat wali, maka tidak perlu dia pergi ke Ka’bah, Ka’bah yang datang kepada dia. Subhanallah.
Jadi kalau misalnya sudah sampai derajat wali tertentu, dia tidak perlu pergi ke Ka’bah, tidak perlu tawaf keliling Ka’bah, malah Ka’bah yang telah mengelilingi dia. Na’udzubillahi min dzalik. Ini adalah sebuah penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran islam yang benar yang dibangun diatas Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Berbicara kisah tentang Ka’bah yang pergi mengelilingi wali, ada sebuah buku yang menuliskan “Andaikan suatu saat Ka’bah pergi mendatangi wali Allah, kita ini shalat menghadap kemana?” Mereka mengatakan bahwa ini adalah masalah fiqih. Jadi kalau misalnya suatu saat Ka’bah ini lagi plesir, lagi bepergian untuk mendatangi wali, kita ini shalat kemana? Kata mereka, ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat yang pertama kita tetap shalat menghadap ke tempat aslinya Ka’bah, jadi ke arah Mekkah. Pendapat yang kedua adalah kita harus mencari Ka’bahnya dimana. Ini adalah sebuah khurafat yang dengannya jahil dan minim ilmu agamanya, mereka termakan dengan khurafat-khurafat yang seperti ini.
Maka seharusnya kita memperhatikan hal itu. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah mengingatkan, sesungguhnya golongan yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang-orang yang dijadikan panutan akan tetapi mereka menyimpang dari jalan Allah. Inilah orang yang paling ditakutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wali Allah tidak pernah menganggap dirinya suci
Menit ke-1:22:07 Diantara ciri wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa mereka tidak akan pernah menganggap dirinya suci, sebesar apapun amalan yang dia lakukan. Hal ini karena menjalankan perintah Allah adalah:
…فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ ﴿٣٢﴾
“Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Allah lebih tahu siapa yang bertakwa diantara kalian.” (QS. An-Najm[53]: 32)
Makanya perhatikan, para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, mereka tidak pernah menganggap diri mereka suci. Jadi tidak benar seandainya ada orang mengaku wali lalu dia membanggakan kewaliannya sehingga orang-orang datang kepadanya.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun, Allah Subhanahu wa Ta’ala bercerita tentang sifatnya orang-orang yang beriman, para wali Allah.
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Orang-orang yang senatiasa bersedekah, rajin membantu orang lain dari rezeki yang Allah berikan kepada mereka, dan hati mereka senantiasa merasa khawatir, merasa takut.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 60)
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ketika membaca ayat ini beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, siapakah orang ini? Sudah bersedekah tapi hatinya masih takut, apakah orang ini selain bersedekah dia juga berzina, dia mencuri, dia membunuh, sehingga dia takut?”
Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
ا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ ، وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا تُقْبَلَ مِنْهُمْ
“Bukan itu wahai putrinya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang senantiasa shalat, mereka orang-orang yang rajin berpuasa, mereka orang-orang yang rajin bersedekah, akan tetapi hatinya merasa khawatir jangan-jangan amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Kalau kita perhatikan, para wali-wali Allah dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para tabi’in, kita akan temukan mereka adalah orang-orang yang khawatir amalannya tidak diterima. Dari ‘Abdullah Ibnu Abi Mulaikah, salah seorang mengatakan: “Aku bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan semuanya takut termasuk golongan munafik.”
Subhanallah, sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam takut terjangkiti penyakit nifak, bagaimana dengan kita?
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau pernah mengatakan: “Andaikan aku tahu ada satu sujud saja yang aku lakukan diterima sama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya itu lebih aku cintai daripada dunia seisinya.”
Al-Hasan Al-Bashri, beliau mengatakan: “Orang yang beriman adalah orang yang menggabungkan antara perbuatan baik dan perasaan khawatir di dalam hati, taat kepada Allah tapi ada perasaan khawatir di hati. Sedangkan orang munafik adalah orang yang menggabungkan antara perbuatan maksiat dengan perasaan aman.”
Perhatikan bagaimana Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam ketika mendapatkan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membangun Ka’bah.
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Ingatlah ketika Nabi Ibrahim membangun Ka’bah beserta dengan putranya Ismail, beliau berkata: ‘Ya Allah terimalah amalan kami’” (QS. Al-Baqarah[2]: 127)
Para ulama mengatakan bahwa Nabi Ibrahim membaca doa ini setiap menaruh satu bongkah batu. Berapa ratus batu yang ada di Ka’bah? Makanya para ulama ketika membaca ayat ini, salah seorang ulama namanya Wuhaib bin Al-Ward, beliau menangis ketika membaca doa ini.
Subhanallah, Khalilurrahman, kekasihnya Allah, membangun rumahnya Allah, dengan perintah dari Allah, dia merasa takut amalannya tidak diterima. Bagaimana dengan kita?
H. Apakah wali Allah memiliki karomah?
Baca di sini: Karomah Wali Yang Terbesar
Mp3 Kajian Kesimpulan Ciri Seorang Wali Allah dan Penyimpangannya
Sumber video: Radio Rodja – Tabligh Akbar: Mencintai Wali-Wali Allah (Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq Al-Badr)
Mari turut menyebarkan kajian “Kesimpulan Ciri Seorang Wali Allah dan Penyimpangannya” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Barakallahu fiikum..
Komentar